Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum.*
Ibu dalam kehidupan kita bukanlah sosok yang asing, karena kita sangat teramat dekat dengannya. Didalam rahim ibu, kita bersemayam dekat dengan detak jantungnya, oleh karena itu kita bisa mendapat makna kehidupan untuk menatap dunia ketika terlahir. Tak pernah lepas kemudian, ibu beserta segenap jiwa dan raganya memotivatori dan mengawal kita bertumbuh sebagai manusia yang merupakan bagian dari manusia lainnya, bagian dari pertumbuhan keluarga, masyarakat, bangsa dan juga negara.
Dalam kehidupan privat kita, ibu mempunyai peran disetiap celah kehidupan. Sebagaimana memori ingatan kita yang pertama kali dan utama dalam hidup ,kitapun menomersatukannya untuk berkomunikasi, mengadu, curhat, berkeluh kesah, berdialog, meminta nasehat, restu dan pendapat. Dibandingkan dengan ayah, tentunya itu semua lebih enjoy dilakukan dengan ibu bukan? Meskipun kita tahu bahwa dalam struktur ruang yang melampaui sisi privat kita, posisi ibu secara gender merupakan subordinat dari ayah, juga dari kuasa yang berlaku di sosial kehidupan kita bersama.
Dari hal ini kemudian kita tahu, bahwa ibu merupakan perwujudan bagaimana perempuan secara hirarkhis ditempatkan dalam piramida kekuasaan budaya dan peradaban yang melingkupi kita. Sejauh apa peran perempuan dan statusnya boleh diraih dalam piramida tersebut. Juga karena apa perempuan diketahui, dikenal dan disapa, serta dihargai maupun diakui kediriannya. Merunut kisah-kisah besar dalam peradaban timur kita, ibu adalah sebuah identitas final dan paripurna bagi perempuan. Setiap perempuan hanya punya cita-cita mulia, yaitu untuk menjadi seorang ibu. Maka untuk itu setiap perempuan di peradaban timur, berlomba-lomba untuk mencapainya.
Meskipun tersubordinat, posisi ibu disamping ayah sangat menentukan harga diri ibu, juga harga diri keluarganya, bahkan klan ataupun dinasti. Karena justru pada posisi ini, ibu adalah penentu generasi seperti apa yang akan dilahirkannya, dan strategi apa yang akan diterapkannya bagi kelangsungan keluarga, klan maupun dinasti. Emosi-emosi ibu, kehendak, cita-cita, ambisi, tujuan, disalurkan melalui upaya-upaya anak-anaknya yang digiring oleh strategi ibu, untuk meraih sesuatu, menjadi sesuatu, menduduki sesuatu, melawan sesuatu.
Kita juga masih tidak bisa menafikkan, bahwa meskipun subordinat ayah, posisi ibu disampingnya sebagai pendamping adalah identitas yang saling melengkapi. Ibu akan dikenal identitasnya karena ayah, dan identitas siapa ayah akan terlihat pada ibu. Begitu juga penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Lebih daripada itu, ibu beserta saran dan masukan terhadap peta strategi ayah dalam mewujudkan eksistensinya diruang kuasa peradaban, turut dipertimbangkan meskipun kadang tidak mendapat pengakuan bahwa ide orisinilnya berhasil memotivasi langkah-langkah yang akan diambil ayah.
Oleh karena itu, keberhasilan ibu dalam menerapkan strategi hidup kepada anak-anaknya adalah suatu harga diri final sekaligus monumen dalam sejarah kehidupannya yang akan dipandang secara berharga oleh masyarakat. Sebaliknya, jika gagal maka runtuhlah harga diri ibu berikut monumen yang akan diharapkannya untuk dipandang oleh masyarakat sebagai identitas kediriannya. Karena melalui jalan anak ini ibu bisa memasang standar, pedoman , dan patokan siapa dirinya dan bagaimana peradaban harus mengakuinya.
Secara tidak sadar kita adalah anak-anak yang membentuk peradaban dari spirit ibu. Berkebalikan dengan piramida kekuasaan peradaban, dalam spirit ibu justru berada dipuncak, membentuk falsafah kehidupan kita. Meskipun perannya hanya dihargai secara domestik dalam kehidupan sosial, tapi ibu ketika telah ditempatkan dalam falsafah kehidupan, adalah ideologi yang tidak pernah mati dan tergantikan dalam peradaban. Ibuisme kita dalam ranah privat ini, berkembang menjadi sesuatu yang memberdayakan kehidupan, mengalir dan bergulir bersama peradaban.
Tetapi ruang kekuasaan memahami hal ini secara berbeda, meskipun tetap pada kesamaan bahwa ibu bagi ruang kekuasaan juga sebuah ideologi. Pada puncak kehidupan tertinggi ruang kekuasaan yang bernama negara, ibu tetap diberikan wadah dengan tujuan agar posisi subordinatnya tetap langgeng, agar citra domestiknya tetap melekat, agar ibu tidak menuntut banyak bagi ruang publik yang telah mulai terbuka pada ideologi yang bernama ibu. Lebih daripada itu, ibuisme negara merupakan wujud bagaimana kekuasaan mengontrol ruang gerak perempuan, spirit perempuan agar tidak menjadi bola liar bagi kekuasaan.
Jika pada masa orde baru, ibuisme diberi ruang pada organisasi kewanitaan pendamping profesi ayah, seperti PKK, Dharmawanita, dan lain-lain. Pada masa kini setiap rezim yang telah dibantu dengan agen-agen kapitalisme dan industri, serta selalu berupaya mendegradasi pandangan kemanusiaan terhadap perempuan, dibarengi dengan segala program pencitraan bersifat konsumsi massal berjiwa hedonis, ibuisme diwadahi dengan seksama melalui pendekatan persuasif tiada henti. Wadah ibuisme negara yang bersatu dengan rezim kapitalisme industri adalah dengan cara membuka ruang sosialisasi sebanyak mungkin, sehingga ibuisme ada pada kedudukan puncak sosialita kemasyarakatan.
Organisasi ibuisme ala orde baru memang masih bertahan hingga kini, ragam organisasi sosialita yang disediakan kekuasaan bagi ibu menambah daftar panjang bagaimana ibu harus berbuat dan dicitrakan kepada masyarakat diera terbukanya ruang publik bagi perempuan. Ruang sosialita itu sekaligus menjadi pedoman, begitulah sampainya nanti jika ibu telah berhasil menduduki ruang publik. Gelamor, hedonis, punya banyak relasi, punya kekuasaan (tetapi masih terkungkung pada afiliasi ayah), tak lupa dampaknya adalah bagaimana keluarga dibawa ibu kepermukaan publik terlihat bersatu, namun rapuh didalam karena berbagai aspek permasalahan sosiologis ibuisme yang diwadahi kekuasaan diruang publik dan disediakan jaring sosialisasi hingga puncak.
Selamat hari ibu!
*Wakil Ketua II dan dosen tetap program studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, Anggota Pelanta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar