Oleh: Suadi Asyari*
Pada kenyataannya sebelum seorang anggota masyarakat biasa menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah masyarakatlah yang menentukan nasib mereka akan terpilih atau tidak. Jika kita mau mereka akan terpilih maka jadilah anggota masyarakat biasa sebagai bagian dari penentu dan partner Pemerintah dalam kurun tertentu, yaitu untuk lima tahun berikutnya. Sebalik jika anggota masyarakat tidak mau memilih seseorang karena alasan logis tertentu maka tetaplah seseorang itu sebagai anggota masyarakat biasa. Namun setelah mereka terpilih, maka anggota DPR/D-lah yang mengevaluasi dan memberikan pertimbangan rencana pembangunan sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi lembaga DPR/D, terlepas dari apakah masyarakat suka atau tidak. Secara de jure begitu.
Namun, belakangan ini sering kali kita dengar umpatan kekecewaan masyarakat terhadap oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D) tertentu karena melihat kwalitas respon mereka terhadap masalah tertentu yang tidak sesuai dengan harapan rakyat, keterlibatan dalam kasus mega korupsi, narkoba dan sebagainya. Seolah-olah anggota masyarakat ini tidak merasa bahwa sebagian dari kesalahan itu sesungguhnya bersumber dari mereka sendiri juga, yaitu salah memilih calon wakil mereka untuk menduduki kursi di gedung DPR/D itu. Sesungguhnya dengan tata demokrasi moderen tidak ada cerita bahwa seseorang dengan sim salabim bisa menjadi anggota DPR/D tanpa suara yang cukup dari masyarakat.
Sekarang dalam menghadapi Pemilu 2014 kita disuguhkan sejumlah daftar nama calon yang akan mewakili daerah kita masing-masing. Sebagai contoh di provinsi Jambi, jika kita lihat dari jumlah total calon tetap kita yaitu sebanyak 624 calon. Sementara jumlah kursi anggota DPRD provinsi Jambi untuk hasil Pemilu 2014 adalah 55 kursi yang mewakili lebih dari tiga juta orang masyarakat Jambi. Maka setiap calon hanya mempunyai kemungkinan kurang dari 9%. Artinya ada 91% kemungkinan setiap calon akan kalah. Sementara jika kita konsisten dengan semangat Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 dan Undang-undang nomor 10 2008, maka keterwakilan perempuan minimal 30% atau 16 orang dari 55.
Jika kita bandingkan jumlah yang mencalonkan diri dengan jumlah yang akan menjadi anggota DPRD terpilih, maka sesungguhnya persaingan cukup ketat. Terbuka peluang bagi kita untuk memilih yang terbaik di antara para calon itu.
Misalnya, jika dibandingkan dengan jumlah calon tetap perempuan sebanyak 207 orang, maka persentasi kemungkinan calon perempuan akan menang adalah 33%. Sedangkan presentasi kemungkinan calon laki-laki akan menang hanya 9%. Artinya peluang calon laki-laki baik bertarung sesama laki-laki atau secara keseluruhan tingkat kemungkinannya untuk menang lebih kurang sama, yaitu tidak sampai 10%. Perbandingan kedua kelompok calon laki-laki dan perempuan ini tetap memberikan peluang kepada rakyat untuk memilih calon terbaik. Kontribusi contrengan setiap masyarakat pemilih memberikan peluang sebanyak 90% sehingga menjadikan 9% atau 10% itu menjadi 100%. Artinya, peran masyakat pemilihlah yang paling menentukan seorang bakal jadi atau tidak.
Pemilih dan Calon Emosional v.s Rasional
Pada umumnya ada beberapa pertimbangan seorang anggota masyarakat mau mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Diantaranya (1) keinginan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat melalui peran dan fungsi Wakil Rakyat karena kemampuan yang dimiliki, sehingga anggaran daerah bisa bermamfaat bagi masyarkat luas dengan kualitas pembangunan yang maskimal, (2) mengisi waktu tua karena sudah pensiun dari pegawai negeri, (3) pekerjaan/jabatan alternatif atau mencari gengsi hidup (bukan mencari uang) karena sudah jenuh mengelola perusahaan mereka, (4) jalan untuk merubah nasib demi meningkatkan kwalitas hidup mereka, atau (5) sekedar iseng ikut-ikutan orang lain. Artinya hanya sebagian kecil demi kepentingan orang-orang yang meraka wakili dan karenanya mereka digaji dengan uang negara.
Jika setiap calon, termasuk tim suksesnya (baik keluarga, organisasi, pertemanan, atau pengusaha), berpikir emosional, maka ungkapan yang sering dipakai adalah "setiap calon sama-sama mempunyai peluang untuk menang". Berapa besar peluang itu, bagai mana hasil survey tentang calon Wakil Rakyat atau pandangan umum lainnya tidak termasuk aspek penting yang harus mereka pikirkan atau pertimbangkan, itulah emosional.
Akibatnya, maka sering kita melihat saudara kita yang hidupnya menjadi lebih susah setelah gagal terpilih. Mulai dari dililit hutang, keributan dalam rumah tangga, sampai perkara di Pengadilan. Terjual atau tergadainya kekayaan tentu kasus paling banyak.
Sebaliknya, calon rasional akan membaca situasi, respon masyarakat, hasil survey dan masukan serta pertimbangan lainnya sebelum melangkah lebih jauh. Jika dari berbagai sumber ini peluang tetap kecil meskipun ada upaya yang bisa dilakukan, maka mereka lebih memilih menang sebelum pemilihan. Memenangkan rasionalitas dengan cara tidak melanjutkan pencalonan, atau kalaupun tetap mencalonkan diri tetapi tidak dengan mengambil langkah emosional seperti menjual atau menggadaikan harta yang sudah dimiliki. Calon rasional cenderung memperhitungkan besaran kemungkinan untuk menang sebelum mengambil langkah lebih jauh.
Dasar Pertimbangan Penting
Idealnya calon wakil rakyat yang terpilih adalah karena keunggulan yang mereka miliki melebihi anggota masyarakat lainnya. Bukan setelah terpilih mereka belajar mencari keunggulan tertentu. Karena di tangan merekalah pertimbangan perencanaan pembangunan daerah ditentukan untuk lima tahun berikutnya. Mereka adalah partner Pemerintah dalam rangka membuat kelogisan maksimal terhadap perencanaan, pembelanjaan dan pelaksanaan keuangan daerah. Bukan bersikap asal beda dengan Pemerintah.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan penting ketika memperjuangkan, mendukung dan memilih seoarang warga masyarakat biasa menjadi warga terpilih sebagai wakil kita. Pertama, track record, apakah calon tersebut mempunyai catatan sangat atau baik yang diperlukan sebagai Wakil Rakyat, yaitu kesukaan dan kemampuan memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui Tupoksi DPR/D.
Kedua, calon mempunyai rekaman baik dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak tanpa diskriminasi, tidak mementingkan diri sendiri, keluarga, etnis atau primordialisme lainnya.
Ketiga, calon tidak mempunyai catatan kriminal sekecil apapun yang memugkinkannya menyalahgunakan wewenang yang begitu besar yang nantinya diberikan kepada mereka setelah terpilih.
Jika masyarakat tidak mau kecewa dengan anggota DPR/D yang menjadi wakil mereka untuk priode 2014/2019, maka pertimbangan di atas perlu dijadikan rujukan sebelum memutuskan nama atau photo siapa yang akan dicontreng dalam kotak suara pada April 2014 akan datang.
Bagi calon yang menurut keyakinannya sendiri tidak memenuhi persyaratan di atas, maka alangkah baik dan bijaksananya untuk mempertimbangkan berulang kali sebelum mengambil langkah lebih jauh, karena sesungguhnya hati kecil dan logika sehat para calon juga mengetahui apakah mereka mempunyai kemampuan tersebut dan akan mendapat dukungan yang cukup atau tidak. Ingat, dari beberapa Pemilu dan Pilkada masyarakat kita sudah semakin dewasa dalam memilih siapa calon terbaik mereka.
Dalam sebuah masyarakat yang demokratis, setiap warga negara dipersilakan menggunakan segala kamampuan untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif atau pimpinan eksekutif dalam rangka membahagiakan orang banyak. Akan tetapi menurut teori positive liberty versi Isaiah Berlin dinyatakan bahwa orang yang diberi kebebesan penuh itu adalah mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Sementara negative liberty adalah kebebasan yang diberikan kepada seseorang dalam pengertian bisa merugikan diri mereka sendiri atau orang banyak.
Karenanya, sebagai warga masyarakat biasa atau warga yang mencalonkan diri, marilah kita gunakan konsep positive liberty. Waktu masih lumayan panjang bagi kita untuk membuat pertimbangan untuk memilih siapa. Tetapi jika dengan informasi dan data yang ada sudah memungkinkan bagi kita untuk membuat pekutusan, maka lebih cepat lebih baik dan lebih arif. Sehingga kemungkinan terjadinya pemubaziran waktu, tenaga dan biaya dapat dihindari sedini mungkin. Ingatlah bahwa dalam agama prilaku mubazir tidak disukai Tuhan.
*Direkur Eksekutif Center for the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society (CSCIIS) Jambi & Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar