Oleh: Defrizal, S. T., M. T.*
Dilantiknya Walikota dan Wakil walikota Jambi SY Fasha dan Abdulllah Sani oleh Gubernur Jambi tanggal 4 November 2013 sehari menjelang penyambutan tahun baru hijriah, 1 Muharram 1435 H (5 November 2013) merupakan momentum bersejarah bagi masyarakat Kota Jambi. Namun berbagai tantangan tugas dan seabrek pekerjaan rumah telah menunggu di hadapan sang walikota terpilih ini, diantara nya adalah penyelesaian semua perizinan terkait rencana Pemerintah Provinsi Jambi melakukan pembangunan Jambi Bisnis Center (JBC) dan isu berikutnya yang tak kalah penting diawal kepemimpinan beliau adalah penyelesaian masalah lokalisasi Pucuk- Payosigadung secara simultan dan konfrehensif.
Seperti kita ketahui saat ini Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Prostitusi dan tindak asusila, masih dibahas di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jambi. Ranperda ini adalah inisiatif DPRD Kota Jambi dan rencananya dalam waktu dekat ini akan di syahkan menjadi Peraturan Daerah Kota Jambi.
Mencermati keberadaan lokalisasi Pucuk di Payosigadung selama ini yang sudah berlangsung selama puluhan tahun cukup menggelitik penulis, terutama terkait dengan aktivitas dan perijinan dari lokalisasi dimaksud. Tentunya keberadaan lokalisasi ini telah membawa dampak multidimensi terhadap warga Kota Jambi khususnya warga di sekitar lokalisasi (Payosigadung).
Pada awal tahun 1990-an, Sritua Arief telah mengangkat soal black ekonomy di Indonesia. Yang dimaksud black ekonomy disini adalah bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi informal. Akan tetapi, bentuk ekonomi bawah tanah ini melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku (illegal). Kegitan-kegiatan ekonomi informal tersebut terjadi disebabkan oleh berbagai faktor dan aktivitasnya tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional.
Underground economy juga sering disebut sebagai shadow economy, ekonomi informal, parallel economy atau juga hidden economy. Oleh karena ada aktivitas yang illegal underground economy, atau juga sering dikenal dengan sebutan black economy.
Dengan kata lain, underground economy sebenarnya mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak/retribusi bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak/retribusi. Oleh sebab itu, diyakini bahwa semakin besar underground economy maka semakin besar pula potensi penerimaan pajak/retribusi yang hilang.
Jim Walker ekonom kepala di Credit Lyonnais, mengestimasi underground economy di Indonesia, Filipina dan Thailand mencapai 30-40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan berkisar 20-30 persen. Hal ini sejalan dengan Schneider dan Enste, prosentase shadow economy dibandingkan dengan PDB resmi adalah 35-44 persen di negara berkembang, 21-30 persen di negara-negara yang sedang mengalami transisi, dan 14-16 persen di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan Perturan Pemerintah yang berlaku bahwa Dana Perimbangan yang disediakan oleh Pemeritah Pusat dalam APBN dapat dialokasi ke wilayah dalam 3 bentuk, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) baik dari pajak maupun sumberdaya alam, Dana ALokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Terlepas dari ada atau tidaknya kontrubusi lokalisasi pucuk terhadap pembangunan daerah jambi melalui pajak/retribusi?, sebaiknya Walikota terpilih di tahun baru Hijriah ini dapat mengambil momentum dan langkah yang tepat pasca Perda prostitusi dan tindak asusila ini ketuk palu. Semoga!. Wasalam
*Mahasiswa Program S3 (Doktoral) Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar