Oleh: Defrizal, S. T., M. M.*
Indonesia telah melaksanakan Pemilihan umum secara langsung untuk eksekutif dan legislatif sejak tahun 2004 yang lalu, ini merupakan bentuk dari pengejawantahan demokrasi yang diperkenalkan semenjak reformasi, lebih satu dasawarsa yang lalu. Tentu, pelaksanaannya menjadi bentuk pesta demokrasi yang sangat meriah karena banyaknya bermunculan individu, figur dan tokoh yang mencalonkan untuk menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, maupun wakil-wakil rakyat di tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Data terakhir di tahun 2013 ini Indonesia memiliki total 542 daerah, yang terdiri dari 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota. Dengan demikian, maka pelaksanaan pesta demokrasi jelas memakan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar, apalagi bila pelaksanaan pemilukada ini tidak serentak, maka boleh dibilang setiap hari selalu disungguhi berita tentang pemilihan langsung (kepala daerah). Singkatnya demokrasi itu memang mahal, karena ratusan trilyun rupiah mengalir untuk pesta demokrasi yang diperlihatkan dari berbagai pemilihan legislatif dan eksekutif; sementara jumlah penduduk miskin terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pembiayaan pemilihan langsung untuk kandidat legislatif dan eksekutif dapat dipilah menjadi dua kelompok : (1) Pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan (2) Pembiayaan yang dikeluarkan oleh kandidat legislatif maupun eksekutif.
Pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah pusat; penyelenggaraan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009 yang lalu, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana untuk pelaksanaannya sebesar Rp. 47,5 trilyun yang diperuntukan bagi persiapan dan pelaksanaannya (tahun 2008 hingga 2009).
Pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah daerah; pelaksanaan pemilihan langsung para eksekutif daerah, pemerintah daerah juga harus mengalokasikan dana untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota. Biaya pemilihan di tingkat provinsi akan lebih besar bila dibandingkan dengan tingkat kabupaten dan /atau kota, hal ini dikarenakan besaran unit moneter yang harus dikeluarkan untuk biaya pemilukada didasarkan pada jumlah jiwa (mata pilih). Menurut Hipotetis Prof. Hari Susanto dari LIPI, alokasi total dana yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk pemilukada di 33 provinsi, dan 393 kabupaten, serta 96 kota menelan biaya sebesar Rp. 196,2 trilyun.
Pembiayaan yang dikeluarkan para kandidat : pengeluaran anggaran dari sisi para kandidat, pada dasarnya ada dua : yakni kandidat eksekutif dan kandidat legislatif. Kandidat eksekutif dan legislatif juga terbagi dalam dua kategori : (1) kandidat tingkat pusat dan (2) kandidat tingkat daerah.
Kandidat eksekutif: Untuk kandidat Presiden/Wakil Presiden, pada umumnya dapat menghabiskan dana lebih dari Rp. 10 trilyun, dan bahkan ada kandidat lebih dari 20 trilyun untuk biaya iklan, pemasangan baliho, komunikasi dan pembelian peralatan mobilitasnya serta biaya rapat-rapat (pengeluaran ini belum termasuk biaya kampanye).
Disamping itu, biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap kandidat eksekutif di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota juga berbeda-beda. Ada kandidat Gubernur/Wakil Gubernur yang harus mengeluarkan dananya diatas Rp. 1 trilyun, namun adapula kandidat Gubernur/Wakil Gubernur yang hanya mengeluarkan dananya kurang dari 2 milyar. Sementara itu, kandidat untuk setiap Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota berkisar antara Rp. 1 milyar hingga Rp. 10 milyar.
Kandidat Legislatif : sebagai ilustrasi, kita gunakan data pemilu tahun 2009, seandainya orang yang menginginkan untuk menduduki 1 (satu) kursi di tingkat DPR-RI (560 kursi), DPD-RI (132 kursi), dan DPRD Provinsi (1.998 kursi), serta DPRD Kabupaten/kota (16.270); mencapai 10 orang saja, dan setiap Calon Legislatif (Caleg) itu harus “merogoh koceknya” sebesar Rp. 200 juta dari proses tahap awal pendaftaran hingga tahap akhir kampanye. Tentu, total pengeluaran para Caleg akan mencapai besaran hampir Rp. 40,31 trilyun untuk menempatkan dirinya sebagai Caleg tersebut. Angka ini hampir menyamai biaya PEMILU yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Pemilu (KPU) di tahun 2009 lalu.
Sungguh luar biasa biaya para Caleg untuk berebut kursi sebagai wakil rakyat. Mereka mengeluarkan dana yang besar, tentu dengan adanya harapan uang itu akan kembali dalam beberapa bulan setelah duduk menjadi anggota legislatif dan mendapatkan berbagai fasilitas mewah dari negara, dan terkadang mereka lupa akan rakyat yang diwakilinya?!
Fenomena diatas menunjukan bahwa demokrasi ala pemilihan langsung sudah terbukti mahal. Disamping itu juga sudah banyak memakan korban jiwa dan kerugian materi akibat konflik horizontal antar pendukung serta akibat amukan massa. Sungguh ironi memang!, demokrasi yang kita bangun ternyata dalam perjalananya telah membawa kita pada demokrasi kapitalis. Sejatinya, demokrasi itu bertentangan dengan kapitalisme, karena demokrasi lebih menekankan pada kesetaraan (equal) sedangkan kapitalisme lebih menekankan pada kebebasan monopoli para kaum pemilik modal dalam meraih keuntungan yang sebesar-besarnya melalui sistem yang ada (pasar bebas).
Sebagai perbandingan negara serumpun tetangga kita Malaysia dan Singapura berhasil membangun raksasa perekonomiannya tanpa menjalankan demokrasi, bukan berarti domokrasi itu tidak penting?, tapi kita harus beranikan diri untuk mengubah keadaan agar demokrasi kita tidak harus mahal, lebih efektif dari sisi waktu dan tenaga, serta efisien dalam hal pengeluaran dana. Sehingga tujuan mulia dari para pendiri negara kita yakni masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Semoga!, Wasalam.
*Mahasiswa Program S3 (Doktoral) Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar