Oleh: Abd. Mukti, S. Ag.*
Gara-gara Edward Snowden, dunia politik internasional gempar. Mantan kontraktor National Security Agency (NSA) Amerika Serikat (AS), membocorkan rahasia pemantauan hubungan elektronik. Awalnya, yang dibocorkan bagaimana Amerika menyadap jutaan rakyatnya. Berikutnya, Snowden membocorkan bahwa Amerika juga menyadap komunikasi para kepala negara di dunia, termasuk Indonesia.
Mengutip laporan koran terkemuka Australia Sydney Morning Herald, Selasa (29/10), dari bocoran Snowden terungkap, fasilitas penyadapan AS sebanyak 90 titik yang tersebar di seluruh dunia. Untuk wilayah Asia Tenggara, berbagai alat penyadapan AS diduga terpasang di Kedutaan Besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon. Pada 13 Agustus 2010, sebuah peta tidak menunjukkan fasilitas penyadapan itu terpasang di Australia, Selandia Baru, Inggris, Jepang dan Singapura, yang semuanya diketahui sebagai sekutu terdekat AS.
Informasi penyadapan ini sebenarnya bukan informasi baru. Persoalannya menjadi ‘heboh’ karena informasi ini disampaikan oleh disitir NSA AS, sehingga seolah keakuratan informasinya bisa dipertanggung jawabkan, karena hal ini mengandung informasi ‘orang dalam’.
Dalam hubungan antar negara, notabene bagi AS sebagai negara adidaya yang memiliki kepentingan politik di level global, adalah ‘wajar’ bagi AS melakukan penyadapan terhadap informasi ‘rahasia’ negara lain, termasuk Indonesia yang dinilai strategis baik dari aspek politik, keamanan maupun ekonomi. Terlebih sepanjang sejarah diplomasinya, AS memang tidak punya etika dalam pergaulan dunia internasional.
Nampaknya AS tidak merasa cukup dengan informasi publik, maka dibutuhkan cara untuk mendapatkan informasi ‘rahasia’ (confidential/secret information). Dengan harapan dengan bekal informasi rahasia ini AS dapat bersikap kepada Indonesia dengan sikap yang lebih ‘tepat’.
Apa bahayanya bagi Indonesia ?. Tentu, bagi Indonesia sebagai negara yang disadap informasinya, berarti terbongkarlah rahasianya. Sesuatu yang semestinya bersifat terbatas, karena mungkin terkait dengan rahasia negara, strategi yang ‘top secret’, menjadi hilang maknanya karena diketahui pihak lain, apalagi AS adalah secara nyata sebagai negara imperialis,liberalis, ‘muhariban fi’lan’, musuh nyata bagi dunia Islam, termasuk Indonesia. Ini adalah sangat membahayakan bagi eksistensi negeri ini.
Kemudian, bagaimana normalnya bagi Indonesia sebagai negara yang telah disadap informasinya?. Reaksi normalnya adalah jelas marah, protes, terhadap tindakan penyadapan ini. Mengapa ? Karena tindakan penyadapan ini adalah tindakan ilegal. Mengambil informasi tidak dengan jalur resmi, secara diam-diam, bahkan bisa dipastikan dilakukan dengan tindakan kriminal seperti masuk suatu wilayah tanpa izin, menempelkan peralatan penyadapan pada barang milik orang lain dan sebagainya.
Tak Punya Nyali
Dengan pemberitaan yang gencar, Pemerintah Indonesia memang telah mengambil tindakan melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Marty telah melayangkan nota protes terhadap Dubes AS dan Australia atas tindakan penyadapan itu. Marty pun telah memanggil kuasa usaha AS di Jakarta dan Dubes Australia ke kantornya. Tujuannya adalah untuk minta klarifikasi. Apakah benar adanya penyadapan yang dilakukan oleh AS dan Australia terhadap informasi kerahasiaan Indonesia, khususnya menyangkut soal strategis yang tengah ditangani pemerintah Indonesia.
Namun, banyak pihak menilai Indonesia kurang tegas atas tindakan penyadapan yang dilakukan AS dan Australia itu. Sebagai sebuah negara besar, sayangnya sikap pemerintah Indonesia tidaklah bernyali besar.Karena ketergantungan yang begitu besar dengan AS, pemerintah seperti gagap menghadapi Amerika.
Direktur Indonesia Law Reform Institute Jeprri F Silalahi menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak berani untuk menyatakan keberatan atau protes terhadap dugaan penyadapan yang dilakukan AS dan Australia. "Sepertinya SBY tidak berani menyatakan protes keras kepada AS maupun Australia (terkait dugaan penyadapan)," katanya saat dihubungi Sindonews, Sabtu (9/11/2013).
Keraguan Jeppri muncul, setelah dirinya ingat dengan pidato SBY pada tahun 2004 setelah dua jam pelantikan SBY sebagai presiden. Kala itu SBY berkata dalam bahasa Inggris yang menyatakan Indonesia adalah negara pertama. "Amerika Serikat adalah negara kedua saya (SBY)," ungkap Jeppri.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menantang pemerintah yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk bertindak tegas soal penyadapan ini. Apalagi jika benar-benar AS dan Australia terbukti menyadap pemerintah Indonesia, ia meminta agar Presiden (SBY) bertindak tegas. "Kalau pemerintah punya bukti kuat bila terjadi pelanggaran internasional harus bertindak keras," jelas TB Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (6/11).
Purnawirawan jenderal bintang dua ini menjelaskan, dalam aturan internasional, tidak diperkenankan melakukan penyadapan antar-negara. Negara yang menjadi korban penyadapan, kata dia, berhak melakukan protes kepada negara yaang melakukan pelanggaran tersebut. "Dalam konvensi internasional memang antar-negara dilarang melakukan intervensi seperti itu, termasuk penyadapan. Itu bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Jadi tidak boleh ada pengintaian, penyelidikan, spionase. Tapi sebelum dibawa boleh negara yang bersangkutan melakukan tindakan diplomatik. Mulai dari pemanggilan, teguran ringan, teguran keras, sampai mengusir perwakilan atau duta besar, bisa diusir," tegas dia.
Politikus PDIP ini menantang keberanian pemerintah untuk bersikap. Dia memberi contoh, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno yang berani keluar dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) karena merasa dirugikan.
"Zaman Bung Karno pernah keluar dari PBB, dengan Malaysia memutuskan hubungan diplomatik pernah, dengan Amerika pernah juga kan, sekarang tinggal ada enggak keberanian, zaman Pak SBY seperti sekarang ini yang menganggap Amerika sebagai tanah leluhur kedua. Saya enggak tahu turunan dari mana itu," ujar dia.
Menurut dia, kasus penyadapan sudah menyangkut marwah bangsa. Dia juga menyindir sikap SBY yang justru lebih marah ketika merasa dirugikan kepentingan pribadinya dari pada bangsa yang dirugikan dengan kasus penyadapan ini. "Ini marwah bangsa, Kalau urusan pribadi marah, tapi kalau urusan negara didiamkan," sindirnya.
Seperti diketahui, SBY sempat berapi-api karena merasa partainya selalu disudutkan oleh media massa. SBY bahkan memerintahkan para kadernya untuk melawan ketika partai Demokrat terus disudutkan dan difitnah.
Pengamat Hubungan Internasional, Budi Mulya, saat diwawancarai Media Umat (4/11) soal tindakan penyadapan ini menyatakan, bahwa berdasarkan kajian historis diplomasi, menurut Holsti, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan (action) yang dilakukan suatu negara vis a vis negara lain jika suatu konflik atau krisis yang terjadi termasuk soal penyadapan.
Diantaranya adalah surat protes, denials/accusation, pemanggilan dubes untuk ‘konsultasi’, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antarwarga negara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas(limited use of forse) dan pencetusan perang.
Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. “Dalam kasus penyadapan ini, maka langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia masih langkah yang ringan”, katanya kepada mediaumat.
Punya nyalikah Indonesia dalam merespon penyadapan ini ? Jawabannya, tentu sangat tergantung pada Presiden SBY dan para pejabat negeri ini.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar