Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Minggu, 22 September 2013

Teror Hantui Anggota Polri*

Teror benar- benar menghantui anggota Polri.Betapa tidak. Dalam waktu tiga bulan terakhir ini telah terjadi banyak teror, baik penembakan,penculikan maupun bentuk teror lainnya terhadap anggota Korps Baju Cokelat ini. Bripka Sukardi,polisi keempat yang tewas ditembak oleh orang yang tidak dikenal di depan gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (10/9) malam. Sementara di jambi juga tidak luput dari aksi teror oleh orang yang tidak dikenal. Satu orang anggota Polri diculik oleh sekelompok orang dan satunya lagi kena tabrak lari. Dan di Semarang Jawa Tengah terjadi peledakan bom di dekat pos polisi.

Motif teror hingga kini belum diketahui pasti. Apakah balas dendam, aksi terorisme, atau sekedar kelompok yang tidak bertanggungjawab dan mengalihkan isu politik pemerintahan. Apapun komentar dan argumentasinya, yang pasti  sebagai sosok pengayom dan pelindung masyarakat, polisi justru belum menangkap satu pun penembaknya. 

Serangkaian teror penembakan polisi yang berujung terhadap tewasnya anggota Polisi tersebut tentunya menjadi mimpi buruk dan pukulan yang sangat telak bagi mereka (baca : POLRI), sebab, selaku pengayom masyarakat, seharusnya mereka menjadi ujung tombak perlindungan dan penjagaan terhadap keamanan masyarakat luas, justru mereka yang menerima teror  penembakan dan pembunuhan menakutkan ini. 

Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan tak akan mundur, melawan pelaku teror penembakan polisi. Menurut Timur, sudah kewajiban polisi memberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. "Karena polisi tugas itu, kita tidak akan mundur setapak pun. Dunia akhirat kita pertanggungjawabkan," kata Jenderal Timur Pradopo di sela rapat kerja dengan Komisi III DPR di Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (16/9).

Timur mensinyalir pelaku penembakan sengaja menyerang anggota polisi, lantaran dugaan adanya motif balas dendam. "Tegas di sini empat polisi, karena yang nangkap polisi, yang menggagalkan aksinya, polisinya. Maka dia dendam kepada polisi," lanjutnya.

Menurutnya, setiap pekerjaan memiliki resiko, tak terkecuali polisi. Untuk itu, Polri tak akan mundur menyelesaikan kasus penembakan gelap. "Ini resiko tugas, tidak akan mundur setapak pun, ini fakta semua bukan analisis intelijen," kata Timur.

Pengamat Kepolisian dari Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar mengingatkan, kalau Polri gagal mengungkap tuntas kasus ini, Kapolri akan masuk target penembakan. Empat bintara Polri tewas di dor orang tak dikenal dalam 3 bulan terakhir. “Sangat mungkin (menyasar jenderal), target paling mudah yang bawah di lapangan, tapi Pati dan Pamen mungkin saja kalau tidak diatasi sekarang”, kata Bambang.

Ia juga mensyinyalir maraknya teror kepada polisi terkait rasa tak suka terhadap institusi Polri. “Terhadap kelompok-kelompok di daerah konflik, polisi sering bekerja over (keterlaluan) di luar batas kemanusiaan”, kritik pensiunan polri itu. Polisi dinilai kewalahan menghadapi aksi hadpenembak misterius ini. “Bisa saja sementara diturunkan Brimob atau bekerjasama dengan TNI. Tapi, tidak untuk ikut-ikutan seterusnya, hanya sementara”, sarannya pasca penembakan Bripka Sukardi di depan kantor KPK, 10 September 2013 lalu, KSAD Jenderal TNI Budiman menyatakan kesepakatannya membantu Polri.(Tribun Network, 15/9/).

Walaupun motif teror terhadap anggota Polri ini belum diketahui secara pasti, tapi setidaknya beberapa pengamat menyatakan bahwa apa yang telah menimpa anggota Polri itu dilakukan oleh orang-orang yang terlatih dalam menembak.Untuk itu, kemungkinan motif yang paling kuat adalah dilakukan oleh sekelompok orang yang ingin mengacau dan memporakporandakan negeri ini yang dimulai dengan diterornya aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Ini artinya para Petinggi Polri hendaknya mengevaluasai jajarannya, khususnya dalam penanganan terorisme di negeri ini.

Benih-Benih Terorisme

Salah satu hal yang harus mendapat perhatian jajaran Polri dalam upaya meredam dan menghilangkan aksi teror terhadap Korp Bhayangkara itu adalah harus mengetahui dan melenyapkan benih-benih terorisme itu sendiri. Tanpa menghilangkan benih-benih ini akan sulit menghilangkan aksi teror di negeri ini.

Munculnya terorisme di permukaan tentu karena adanya benih-benih yang terpendam dalam hati mereka yang merasa dizalimi, dipaksa dan disakiti serta perasaan kekesalan lain yang dialami seseorang. Siapapun orangnya, dari etnis dan agama manapun yang dirinya atau keluarganya dizalimi tentu akan melakukan balasan berupa kekerasan dan teror terhadap siapapun yang menzaliminya. Celakanya, benih-benih terorisme ini justru timbul karena penanganan terorisme yang repressif dan brutal.

Kasus-kasus teror terhadap anggota Polri, sejatinya, kalau kita cermati merupakan buah dari kecerobohan ‘anggota pelindung masyarakat’ itu sendiri dalam menjalankan kedinasannya termasuk dalam penanganan kasus terorisme di tengah-tengah masyarakat. Padahal jauh-jauh hari para pengamat dan kaum intelektual di negeri ini sudah mengingatkan kepada jajaran Polri khususnya Densus 88 agar dalam penanganan kasus terorisme dilakukan dengan profesional, tidak asal di dor orang yang baru diduga teroris. Apalagi orang itu masih di dalam masjid,sebagaimana yang pernah dieksekusi oleh Densus 88.

Sebagaimana terungkap dalam diskusi yang berlangsung di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta dua tahun yang lalu (16/7/2011), bahwa penanganan terorisme di Indonesia akhir-akhir ini semakin repressif dan cenderung brutal. Akibatnya di masa depan dikhawatirkan akan muncul benih-benih terorisme baru karena ada dendam dari orang atau keluarga yang pernah terkena kasus terorisme. Keberhasilan Indonesia, Densus 88 Anti Teror Polri dalam penanganan terorisme akhir-akhir ini diragukan oleh negara-negara lain. “Pasalnya, Densus dalam penanganan terorisme bertindak repressif dan cenderung brutal”, kata Dr.Nurhadi, Pakar Politik Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, seperti dikutip detikcom(16/7).

Dalam pandangannya, Densus 88 terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan seperti penembakan di tempat yang mengakibatkan jatuh banyak korban. Tindakan tersebut dinilainya justru kontrproduktif di masa mendatang karena dikhawatirkan akan menanam bibit-bibit baru teroris. “Ini yang kurang disadari, padahal ini lebih berbahaya”, katanya.

Pembicara lain, Suparman Marzuki juga menyatakan : “Kini banyak istri dan anak, keluarga yang diduga terlibat terorisme, yang menjadi korban stigmatisasi terorisme, istri maupun anak yang ditinggal suami atau ayah yang terlibat terorisme menerima hukuman dan dikucilkan di masyarakat tempat tinggal mereka. Padahal mereka tidak tahu menahu apa-apa dan ingin hidup biasa bersama masyarakat lainnya”.

Busyro Muqaddas Ketua KPK yang juga penulis buku berjudul “Hegemoni Rezim Inteljen, Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad”, berpendapat serua. Model Densus 88 dalam menangani para terduga teroris tidak bedanya model Komando Jihad. Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk Soedomo pada masa ORBA. Pola penanganan kejahatan yang mengedepankan kekerasan, akan berdampak menimbulkan dendam. Ketua KPK ini menyatakan, indikasi timbulnya dendam mulai bisa diihat sekarang. Sejumlah kasus polisi dibunuh oleh simpatisan kelompok garis keras di berbagai daerah.

Jika penanganan kasus terorisme dengan cara repressif oleh Densus 88 dan ditambah lagi dengan adanya kondisi perpolitikan Indonesia dan dunia yang tidak adil serta adanya unsur-unsur lain seperti premanisme, dekedensi moral, memanasnya hubungan antar umat beragama, semuanya itu dapat menimbulkan benih-benih terorisme yang pada puncaknya dapat meledak di permukaan menjadi aksi teror yang ditakuti oleh semua orang. Bahkan jika demikian halnya, sampai kiamat pun terorisme di Indonesia tidak akan berakhir.

Penulis adalah Pengamat Sosial Keagamaan
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-teror-hantui-anggota-polri.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2