![]() |
Suwardi, S. E. Sy. |
(Surat terbuka untuk Gubernur Jambi dan Peserta Sidang Pleno ISEI 2013)
Oleh: Suwardi, S. E. Sy.*
Ada tiga indikator kondisi ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi mencatat jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jambi pada bulan Maret 2012 sebesar 271,67 ribu jiwa (8,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2011 yang berjumlah 272,67 ribu jiwa (8,65 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar seribu jiwa.
Meski ada kecenderungan jumlah penduduk miskin menurun. Namun, garis Kemiskinan menunjukkan tren yang cenderung meningkat akibat pengaruh peningkatan nilai pengeluaran penduduk. Garis Kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp. 242.272/kapita/bulan meningkat menjadi Rp. 259.257/kapita/bulan pada Maret 2012. Peranan konsumsi kebutuhan dasar makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan konsumsi kebutuhan dasar bukan makanan. Pada bulan Maret 2012, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) di Jambi sebesar 77,43 persen. Pada periode yang sama (baca: Maret 2012) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode Maret 2011. Hal ini memberikan indikasi bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar. Tidak salah jika Provinsi Jambi, telah ditargetkan oleh pemerintah pusat agar dapat menurunkan angka kemiskinan dari 7,9% pada tahun 2011 menjadi 5% pada tahun 2015.
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja 1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir.
Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Sehingga agenda pengentasan kemiskinan bukan persoalan bagaimana mengalokasikan anggaran namun memfasilitasi mereka untuk mampu terus menjalankan sektor-sektor usaha mikro. Berdasarkan pengalaman empiris membuktikan bahwa sektor mikro merupakan sektor usaha yang dominan di Indonesia dan berdasarkan data kementrian Koperasi dan UKM jumlahnya mencapai 99% dari pelaku usaha di Indonesia.
Dalam konteks pembangunan ekonomi Jambi, dengan argumentasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan kewilayahan/Kedaerahan. Yang sudah pasti meliputi, objek dan subjek pembangunan itu sendiri. Yakni, masyarakat dan potensi daerah yang mampu dijadikan nilai ekonomi dan penguatan ekonomi masyarakat Jambi menuju kemajuan pembangunan ekonomi.
Masyarakat Jambi (Melayu) dan Religiusitas Keuangan
Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karenanya tidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam.
Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya.
Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917; Schrieke 1955). Dengan demikian jelas bahwa nilai dan norma Islam secara ideal telah dijadikan oleh masyarakat-masyarakat Melayu sebagai inti (nuclear) kebudayaan mereka dan filosofi bagi mereka, yang sub-kulturnya meliputi masyarakat Jambi, Nangroe Aceh Darussalam, Melayu di Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang, Riau, Bugis, Betawi, Melayu di negara tetangga Malaysia, Patani Thailand, Brunai Darussalam.
Oleh karenanya Jambi, sebagai salah satu komponen masyarakat Melayu yang telah dibangun berdasarkan kepada tuaian sejarah masa lampau. Juga merupakan bagian dari aktivitas sejarah peradaban masyarakat yang juga turut serta dalam pelaksanaan sistem dan transaksi ekonomi, keuangan dan perdagangan yang dilandasi dengan nilai-nilai dan norma Islam. Kesesuaian dalam wujud aktivitas ekonomi yang dibalut dengan penerapan atas nilai, moral dan etika Islam merupakan wujud dari aktivitas budaya masa lalu yang menjadi sejarah.
Selain itu, secara geografis, penduduk Jambi dengan mayoritas muslim dan juga sudah barang tentu merupakan bagian dari masyarakat Melayu dan telah turut serta berperan dalam pembangunan ekonomi dengan aktivitas sektor informal, merupakan kesepakan alamiah antara masyarakat Jambi sebagai subjek ekonomi dan kondisi alam dan letak geografis Jambi sendiri.
Akan tetapi, aktivitas ekonomi Masyarakat Jambi yang berpusat pada sektor informal masih dalam kesulitan liquiditas permodalan dalam menjalan usahanya. Fakta data pemerintah (skala nasional) pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp. 15 juta s/d Rp. 25 juta / usaha.
Meski permodalan yang tidak terlalu banyak untuk aktivitas keuangan dan bisnis informal oleh masyarakat Jambi. Tetap saja, kesulitan ekonomi dan permodalan menjadi kendala yang utama. Selain itu, ditambah dengan kondisi ekonomi secara global yang tidak stabil, mengakibatkan suku bunga pinjaman menjadi membengkak, ketidakstabilan suku bunga pasar yang menciptakan ketidakmapanan bangunan sektor permodalan.
Atas dasar itulah dibutuhkan keseriusan dan solusi dari pemerintah untuk mengantisipasi tingginya suku bunga pasar pinjaman akibat ketidakstabilan nilai rupiah, kondisi ekonomi global dan juga mengantisipasi keterpurukan sektor informal dalam menjalankan usaha meski dalam skala UMKM.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah sistem dan manajemen keuangan yang sejalan dengan jiwa masyarakat Melayu yang religius (memiliki nilai, norma, dan moral) yang telah menjadi budaya masyarakat Melayu dalam aktivitas dan pergaulan perdagangan, ekonomi dan bisnis.
Syariah Solusi Pembangunan Ekonomi Jambi
Dalam konteks demikian, sangat jelas bahwa penguatan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan dan pembangunan ekonomi sektor riil, juga kebijakan pemerintah daerah dalam hal regulasi dan permodalan yang lebih berpihak pada masyarakat Jambi, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain, memberikan solusi pilihan terhadap sistem ekonomi, keuangan, dan mekanisme penyaluran permodalan sebagai bagian dari penguatan ekonomi berbasis wilayah dari sistem konvensional berbasis bunga kepada ekonomi dan keuangan berbasis syariah (bagi hasil).
Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi berkeadilan, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami.
Kemudian, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Jambi (Melayu) berbasis wilayah, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha di sektor informal. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan PERDA yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Karena, saat ini masih sangat banyak undang-undang maupun peraturan daerah yang bersifat kapitalistik dan merugikan masyarakat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat Jambi (melayu). Dan sistem ekonomi yang harus dikembangkan adalah Ekonomi Syariah.
Kenapa Harus Ekonomi Syariah?
Selama ini terjadi (krisis keuangan) adalah akibat dari krisis kualitas lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga sebagai sistem ribawi yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan disinyalir berpotensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), yang semuanya itu berpengaruh negatif pada kehidupan sektor riil.
Sebagai salah satu kritik Islam terhadap praktik lembaga keuangan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama risiko). Keuangan konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan pendapatan keuntungan yang tidak fixed and predetermined .
Sebagai wujud prinsipnya, keuangan konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak risikonya (al ghunmu bi laa ghurmi/againing return without being responsible for any risk). Keuangan konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).
Selain itu, filosofi masyarakat Melayu yang memiliki nilai, norma dan etika dalam pergaulan ekonomi dan bisnis. Hal ini sangat selaras dengan sistem ekonomi Syariah. Sebagai contoh, tradisi masyarakat pedesaan di Jambi, yang masih menggunakan sistem bagi hasil dari pengelolaan hasil kebun ada yang menyebut dengan parohan (1/3 pemilik dan 2/3 pengelola dsb) itu semua merupakan wujud dari sistem Musyarakah dan atau Mudharbah dalam aktualisasi Bisnis Syariah.
Akhirnya, penulis mengajak kepada pemangku kepentingan di Jambi untuk mempertimbangkan sistem ekonomi dan keuangan syariah sebagai solusi terhadap masalah pembangunan ekonomi Jambi menuju masyarakat Sejahtera dengan tujuan tercapainya JAMBI EMAS 2015. Dengan anonim JAMBI EMAS (Jangan Anda Menolak Bank Islam, Ekonomi Masyarakat adalah Syariah). Wassalam...
*Ketua IAEI IAIN STS Jambi. Wakil Direktur FiSTaC. Anggota PELANTA (NIA. 20130729)
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-ekonomi-syariah-masyarakat-melayu-dan-pembangunan-ekonomi-jambi.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar