Suwardi, S. E. Sy. |
Oleh: Suwardi, S. E. Sy.*
Halalnya makanan dan minuman di sebuah restoran menjadi hal yang penting bagi umat Islam di Indonesia. Dan salah satu restoran di Indonesia yang menjadi perhatian masyarakat saat ini adalah Solaria. Baru-baru ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), mengatakan kalau belum ada sertifikat halal untuk Solaria.
"Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) belum pernah melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan sertifikat halal untuk restoran Solaria di mana pun," begitu isi pengumuman yang dikeluarkan situs resmi Halal MUI yang dikutip Liputan6.com, Jakarta, Kamis (1/8/2013).
Isu halal – haramnya produk yang diperjualbelikan oleh restotaran Solaria menjadi sangat ramai dibicarakan ketika dihadapkan kepada masyarakat Indonesia yang notabene merupakan penduduk muslim terbesar di Indonesia. Sebab, dalam pemahaman ajaran Islam itu sendiri, halal adalah satu hukum yang jelas dan begitu juga dengan hukum haramnya terhadap konsekuensi yang akan diterima apabila menjalankan satu di antaranya.
Masyarakat muslim Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 Juta Jiwa merupakan bagian penting dari sirkulasi sistem ekonomi di Indonesia. Salah satunya adalah aktivitas konsumsi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi itu sendiri. Oleh karenanya menghadirkan rasa tidak nyaman terhadap masyarakat muslim dengan produk yang tidak halal, sama saja mengusik eksistensi masyarakat muslim terhadap aktivitas konsumsi.
Eksistensi Konsumsi Masyarakat Muslim
Masyarakat pengguna jasa dan hasil produk sebenarnya adalah konsumer atau biasa kita kenal dengan sebutan konsumen. Dalam pengertian sempit konsumen terbatas kepada mereka yang secara kontraktual memiliki hubungan hukum dengan pengusaha. Sedangkan dalam pengertian yang luas konsumen meliputi semua pihak yang mengkonsumsi dan memanfaatkan suatu produk baik berupa barang atau jasa, terlepas ada hubungan kontraktual dengan pengusaha atau tidak. Antara konsumen dengan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik (simbioasis mutualism). Hak konsumen merupakan kewajiban pengusaha, sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak konsumen.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Keberadaan konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Sehingga akan terjadi pemerataan distribusi dan hasil produksi tidak semata-mata dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Akan tetapi melingkupi seluruh masyarakat konsumsi itu sendiri.
Dalam analisis teori akademiknya dapat diungkapkan dengan argumentasi meski produsen berargumen barang sesuai dengan need konsumen, namun tetap tidak akan melahirkan demand tanpa adanya kemampuan daya beli konsumen. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti, dan ekonomi akan mati (Mukhammad Najib,2003).
Dalam perspektif empirik, hidup dan matinya sebuah proses aktivitas ekonomi ternyata tidak sesederhana seperti digambarkan di atas dalam bentuk ulasan teori. Sudah tabiat produsen untuk berusaha sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah yang dikemas dalam bentuk bonus dan rangsangan daya beli lainnya yang ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak mempunyai daya beli. Bahkan sistem jual beli kredit pun masuk dalam kategori mengendalikan keinginan konsumen untuk dapat membeli hasil produksi dan atau jasa produser.
Terlepas dari diskusi teoritik akademik yang menjadi wacana tersebut di atas. Dan apa pun argumentasi yang dipandang perlu menjadi alat ukur analisis teorinya. Sudah menjadi keharusan jika konsumen masyarakat muslim dilindungi dalam hal produk hasil olahan maupun jasa yang dijual dan didstribusikan oleh produser dan penyedia jasa.
Oleh karena masyarakat muslim sebagai konsumen, maupun produsen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi besar bernama pemerintah. Maka, melindungi masyarakat muslim untuk tetap terhidar dari produk haram merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanggungjawab pemerintah.
Tanggung Jawab Pemerintah
Secara historis perlindungan konsumen bukan hal baru. Setidak-tidaknya Plato (425-347SM) telah melarang keras para penjual bahan makanan yang menentukan harga, menyamaratakan harga tanpa mempertimbangkan perbedaan mutu bahan yang baik dengan bahan yang buruk.
Kemudian, pada era tahun 1906 di Amerika terbit sebuah buku yang berjudul the Jungle karangan Upton Sinclair yang memaparkan tentang kejelekan pengolahan daging di industri makanan. Dampak dari buku ini selain membuat gempat masyarakat, telah memaksa pemerintah mengeluarkan peraturan –peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen.
Di Indonesia isu ini baru muncul pada tahun 1970-an. Namun hingga kini penanganan perlindungan konsumen baru terbatas pada tumbuhnya berbagai organisasi perlindungan konsumen seperti YLKI. Pada saat ini kita mengenal adanya PPOM, LPOM, LPOM-MUI dan lain-lain.
Disamping itu, pembangunan perlindungan konsumen harus dilaksanakan bersama oleh stakeholder-nya, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Gerakan pemberdayaan konsumen perlu dikembangkan untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif, menyeluruh, serta dapat diterapkan secara efektif di dalam masyarakat.
Bahkan dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada hakekatnya memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan aktivitas usahanya secara profesional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen dimana barang dan jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi konsumen. Bila aktivitas usaha dapat memenuhi itu semua, ditambah dengan pemenuhan preferensi konsumen maka di pasar dalam negeri diharapkan tidak ada lagi produk-produk sub standar yang beredar.
Lain daripada itu Perlindungan Konsumen menetapkan asas dan tujuan, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa, tanggung jawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan oleh pemerintah, peran kelembagaan perlindungan konsumen serta sanksi.
Dari wacana diskusi tersebut di atas, sangat jelas, produk halal yang sudah didistribusikan oleh produsen kepada konsumen selaku pelanggan menjadi tanggungjawab pemerintah dan kewajiban pemerintah pula dalam hal memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat muslim terhadap hasil olahan yang diperjualbelikan di pasaran terutama mengenai kehalalan.
Akhirnya penulis, mengharapkan kepada pemangku kebijakan di negeri ini untuk segera menindaklanjuti pernyataan MUI yang mengatakan jika restoran Solaria belum bersertifikat Halal, dengan cara memberikan kewajiban kepada pihak solaria untuk bersedia dilakukan penelitian mendalam oleh pihak LPOM MUI. Kondisi ini mendesak karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim dan pelanggan Solaria adalah juga Muslim yang wajib dilindungi oleh Pemerintah. Apabila tidak, maka Masyarakat Muslim Indonesia berhak mengajukan gugatan terhadap Pemerintah dan juga Restoran tersebut. Wassalam...
Wakil Direktur FisTaC. Anggota PELANTA (NIA. 20130729)
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-produk-halal-tanggungjawab-pemerintah.html
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-produk-halal-tanggungjawab-pemerintah.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar