Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 02 September 2013

Bias Islam Nusantara*

Jika dipikir-pikir, seorang Islam berwarganegaraan Indonesia pasti memiliki satu kebingungan, posisinya adalah mereka selain harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga harus patuh terhadap perintah dakwah yang diserukan dalam Al-quran dan Hadis.

Perintah menyampaikan ajaran islam kepada setiap umat manusia bergantung kepada amanah yang dipegangnya. Maksudnya tanggung jawab dakwah akan berbanding lurus dengan kewenangan yang dimilikinya. Misi menyampaikan sebagai seorang mandiri, dan mengubah sebagai seorang pemimpin adalah porsi dari kewenangan tersebut. Semua itu merupakan usaha untuk mencapai islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Satu pertanyaan yang timbul adalah, untuk negara se-majemuk Indonesia, bagaimana mungkin untuk memaksakan islam menjadi satu sistem yang berdaulat utuh? Mengingat Indonesia sudah terlahir dari keberagaman.

Pancasila dan Quo Vadis Ajaran Islam
Jauh hari sebelum kemerdekaan, the founding fathers telah merumuskan sebuah ideologi yang berdiri ditengah-tengah diantara banyak ideologi yang ada, yaitu Pancasila. Dimana didalamnya terdapat 5 sila yang menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia. Menurut seorang budayawan senior Ridwan Saidi, Pancasila merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan negara, artinya setiap peraturan perundang-undangan yang tercipta harus tersinari oleh nilai-nilai metayuristik Pancasila. Dalam bahasa yuridis, norma dasar Pancasila telah terkristalisasi menjadi preambule konstitusi Indonesia. Dan konstitusi inilah yang akan menjadi dasar utama dalam penciptaan setiap peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai kepada peraturan daerah.

Jika melihat data statistik penduduk Indonesia tahun 2010, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 87%  masyarakat pemeluk islam. Cicero pernah mengatakan, ubi societes ubi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum. Dan hukum tersebut merupakan penjelmaan dari kepribadian bangsa yang bersangkutan. Jika demikian, mengapa sistem pemerintahan kita tidak berlandaskan islam?

Kemudian jika dikatakan bahwa Pancasila merupakan idologi yang paling klop dengan bangsa Indonesia, dengan lebih dari 87% pemeluk islam dan adanya anggapan bahwa slogan “adat  bersendi syara, syara bersendi kitabullah” diterima secara umum, bukankah lebih selaras jika yang dipakai adalah hukum islam. Bukankah hukum di Indonesia ini dibuat berdasarkan hukum adat dan hukum agama, lalu kemudian diproses menjadi hukum nasional?

Namun meskipun demikian bukan berarti harus menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, membentuk massa, mempengaruhi militer, lalu mengkonspirasi kudeta. Atau membentuk kekuatan tandingan dengan bersembunyi di hutan dan gunung, menebar teror hingga disebut pemberontak dan berharap dunia internasional menganggapnya menjadi pihak yang berperang. Ketar-ketir jika harus bernasib sama dengan Kartosuwiryo.

Islam Rahmatan Lil Alamin
Peristilahan islam rahmatan lil alamin dan janji Allah bahwa islam akan kembali berjaya, keduanya menimbulkan ambiguitas. Apakah islam akan hadir sebagai khilafah, ataukah islam hanya akan menjadi sebuah nilai yang akan mendominasi setiap lini kehidupan manusia?
Menurut saya ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk membuktikannya.

Yang pertama, perkuat legislasi islam di parlemen. Dapat dilakukan dengan mendukung partai-partai berbasis islam unjuk taring di DPR, hal ini berguna agar undang-undang yang tercipta bernuansa islam. Dengan demikian maka peraturan perundang-undangan akan berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Karena saat ini sudah terlanjur banyak ketentuan hukum yang bertentangan dengan islam (masyarakat). Contohnya praktik riba’ bank konvensional. Atau dalam hal jinayah (hukum pidana islam), legalisasi zhina untuk mereka yang belum menikah.

Yang kedua adalah dengan cara membiaskan nilai-nilai islam lewat peraturan daerah, terutama dalam hal perizinan. Misalnya dengan penutupan tempat lokalisasi, kemudian mencabut izin untuk perusahaan minuman keras. Hal tersebut dinilai lebih efisien, mengingat daerah mempunyai karakter sosial dan politik yang berbeda dengan pusat, oleh karenanya dapat dipelintir secara syariah. selain itu membiaskan islam lewat peraturan daerah juga sebagai jalan alternatif mengingat legislasi islam di pusat (DPR) pasti akan sangat sulit untuk dilakukan.

Kemudian, kedua langkah diatas akan menjadi percuma jika tidak diimbangi dengan rekayasa sosial ala kader dakwah. Maksudnya adalah optimalkan peran kader dakwah dalam menyiarkan agama islam. Dari masjid ke masjid, kampus ke kampus, sampai antar individu, yang tujuannya berguna untuk membiasakan masyarakat Indonesia dengan nilai islam, agar nanti pada gilirannya ketika peraturan perundang-undangan bernuansa islam terbentuk, masyarakat indonesia tidak canggung dan dapat menerimanya dengan hati yang terbuka.

Ketiga cara tersebut setidaknya akan mengarahkan kita (indonesia) kepada jawaban atas pertanyaan bagaimanakah konsepsi islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Wallahu alam bishawab.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-bias-islam-nusantara.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2