Suwardi |
Oleh: Suwardi*
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Demikian lirik lagu yang dipopulerkan oleh Grup Musik Koes Plus pada tempo dulu. Lirik lagu yang menggambarkan kondisi negeri Indonesia yang subur dan dengan kemakmuran penduduknya. Akan tetapi lagu tersebut kini seolah tinggal sekedar bait dan lirik yang usang. Betapa tidak negeri yang konon katanya sebagai lumbung padi ini masih menyimpan masalah kesejahteraan yang besar untuk dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Negara dengan kekayaan alam yang sangat melimpah, ditambah dengan predikat sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, kini sebagian rakyatnya ternyata masih banyak yang mengalami malnutrisi, pendidikan yang belum bisa dirasakan oleh semua anak bangsa, ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok.
Sebuah paradoks memang. Namun hal ini setidaknya menggambarkan kepada kita bahwa selama ini kekayaan atau harta yang ada masih terkonsentrasi pada sebagian orang kaya saja. Dengan kata lain telah terjadi distorsi distribusi pada harta. Persaudaraan dan kasih sayang masih hanya sebagai wacana publik belaka dan sekedar diskusi publik media semata tanpa realisasi nyata terhadap kondisi sesungguhnya hidup bersanding dalam kebersamaan.
Secara matematis, lebih dari 75 persen rakyat Indonesia penghasilannya di bawah dari US$ 2/orang/hari. Dan di Sumsel, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2011 sebanyak satu juta 74 ribu 807 jiwa atau sebesar 14 koma 24 persen.
Kondisi ini menunjukkan jika kita telah kehilangan jiwa-jiwa Umar bin Khattab yang selalu berkeliling melakukan ronda malam guna memastikan seluruh rakyatnya tidur dalam keadaan sudah terpenuhinya hak mereka dan dengan rela memanggul sendiri gandum ketika didapati ada rakyatnya yang belum makan, sepertinya belum tertanam dan terbentuk pada spirit penguasa sang pemegang amanah di negeri ini.
Islam, sebagai agama langit dengan membawa spirit ajaran wahyu yang komprehensif sebenarnya mengakui hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan (income) dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, insiatif, usaha, dan resiko yang dijalankannya.
Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syari'ah Islam yang menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Atas dasar itulah Islam mewajibkan pemeluknya membayarkan zakat dan termasuk kedalam rukun Islam yang lima. Hukum yang bersifat kewajiban dan larangan bersifat hukum haram sudah barang tentu memiliki implikasi yang tidak kecil terhadap pelaku dan kewajiban yang telah diturunkan melalui Rasul – Nya. Artinya, Zakat memiliki potensi yang sangat berdayaguna untuk dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Khususnya Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di Dunia, seharusnya mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan pengembangan kesejahteraan melalui pemberdayaan potensi Zakat.
Potensi Zakat yang Hilang
Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah prosentase penduduk 80 persen muslim dan potensi zakat profesi mencapai 6,3 triliun/tahun, jika dihitung seluruh potensi zakat mal yang ada, bisa tergali sebesar 19,3 triliun/tahun. Jumlah ini akan terus meningkat sampai dengan Rp. 38 Triliun seiring dengan adanya kesadaran zakat oleh segenap pegawai BUMN yang ada di Indonesia.
Akan tetapi, dengan potensi yang menakjubkan ini, sangat tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Tanah Air yang mencapai 60 persen atau 50,15 juta orang pekerja yang dibayar di Indonesia masih berpenghasilan rendah. (Rata-rata penghasilan mereka US$ 2.284 per tahun). Jika setiap pekerja menanggung seorang istri dan dua anak maka setiap orang pendapatannya cuma US$ 1,5/orang/hari.
Satu persepsi potensi yang sangat disayangkan jika harus diabaikan begitu saja tanpa adanya peran pemerintah yang optimal untuk memberdayakan potensi zakat tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan spirit ajaran langit yang membumi yang harus dimiliki oleh pemimpin dan umat Islam secara menyeluruh, agar zakat tidak sekedar pelepas dahaga kewajiban akan tetapi menjadi satu titik balik terhadap kebutuhan akan adanya ajaran agama. Hemat penulis kesadaran berzakat selain untuk memenuhi kewajiban juga mampu menumbuhkan semangat solidaritas kebersamaa.
Zakat dan Solidaritas Kebersamaan
Rasa kebersamaan muncul ketika kita mampu memahami penderitaan orang lain dengan cara menjelmakan penderitaan itu ke dalam diri kita. Rasa kebersamaan muncul ketika kita mampu memahami penderitaan orang lain dengan cara menjelmakan penderitaan itu ke dalam diri kita. Lapoe dan Colin (1978) serta George (1981) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang-orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population).
Melalui kesadaran berzakat yang hadir di setiap sanubari muslim. Akan mampu membentuk perilaku simpati dan empati terhadap sesama. Kesadaran, jika adanya masyarakat lemah ekonomi yang membutuhkan bantuan. Kesadaran lainnya itu membentuk pola hidup yang diajarkan oleh rasulullah, yakni janganlah kamu tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetanggamu tidur dalam keadaan lapar.
Akhirnya, penulis mengajak kepada kita semua untuk menjadikan Zakat tidak hanya sebagai bentuk kewajiban agama semata. akan tetapi menjadi wujud kesadaran beragama yang membumi. Dengan demikian kita harapkan kesenjangan ekonomi perlahan akan terhapus. Dan tidak menutup kemungkinan kesejahteraan masyarakat Indonesia sama dengan kesejahteraan masyarakat Muslim pada zaman Umar bin Abdul Aziz, dimana orang miskin tidak lagi ditemukan di negaranya. Semoga ...
*Suwardi. SE. Sy adalah Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi – Politik Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization (FiSTaC) dan Wakil Direktur Madani Insan Sejahtera (MADAS). Anggota PELANTA
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-zakat-dan-semangat-kebersamaan.html#
Tidak ada komentar :
Posting Komentar