Salah satu kebiasaan penting yang dilakukan umat Islam setiap bulan Ramadan adalah menunaikan kewajiban zakat maal (harta) demi memperoleh pahala lebih dari sekedar menunaikan kewajiban. Manajemen pengelolaan kekayaan dan kemiskinan melalui kewajiban zakat ini adalah salah satu upaya Islam menciptakan pemerataan kebahagiaan dan kegembiraan.
Sejauh ini Islam pernah mencatat sejarah penting ini, yaitu pada masa khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz pada abad 2-3 H. Pada suatu waktu Umar Abdul Aziz memerintahkan Yahya bin Zain untuk mengumpulkan zakat untuk didistribusikan. Ketika itu ternyata tidak satupun dari umat Islam yang berhak menerima zakat. Tentu sulit diyakini semua orang Islam kaya, tetapi jelas mereka tidak miskin dalam kategori mustahiq zakat.
Pertanyaannya kemudian, mengapa sampai hari ini di sejumlah negara mayoritas penduduk Muslim tidak pernah lagi bisa menciptakan sejarah mulia itu? Bahkan sebaliknya, sebagian besar dari negara mayoritas Muslim hidup sebagai negara miskin yang setiap waktu menjadi sorotan dunia. Mereka seringkali mengisi iklan sebagai orang-orang yang menunggu belas kasihan negara maju, khususnya negara-negara Barat.
Kenyataan di Indonesia beberapa tahun terakhir termasuk beberapa hari belakangan ini justru memprihatinkan kita semua. Suadara kita yang kurang beruntung dijadikan tontonan untuk saling injak hanya karena “sadaqah” yang nominalnya, jauh tidak sebanding dengan eksploitasi tontonan itu.
Tentu jawaban terhadap pertanyaan itu tidaklah tunggal. Ada banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Namun prinsip, konsep dan kebijakan serta sistim nilai yang ada dalam Islam yang kemudian mempengaruhi penguasa yang sedang berkuasa tentu ikut memberikan kontribusi terhadap realitas itu.
Berbagai Pandangan Tentang Kemiskinan
Sepanjang sejarah ada sejumlah pendirian dan konsep dalam menghadapi realitas (problem) kemiskinan dan kekayaan. Pertama, golongan orang yang “mensucikan” kemiskinan. Mereka yang termasuk dalam golongan ini adalah orang zuhud, para pendeta dan kaum sufi yang manjauhi kemewahan demi kebahagiaan rohani dan ukhrawi. Bagi mereka kemiskinan adalah karunia Tuhan agar hatinya selalu tertuju untuk akhirat. Sedangkan kekayaan dianggap membuat manusia durhaka, lalai dan sombong bahkan congkak.
Orang seperti ini tidak bisa melihat bagai mana mungkin sejumlah rukun Islam bisa dilaksanakan dengan sempurna dengan kemiskinan. Melaksanakan haji, menyantuni orang-orang miskin dan terlantar, membangun fasilitas umum, misalnya, tidak mungkin dilaksanakan dengan kemiskinan pula. Dalam konteks ini, kaya justru menjadi sebuah yang niscaya.
Lebih lanjut, untuk berzakat, beramal jariah (wakaf), mengerjakan haji atau membangun fasilitas untuk bisa beribadah dengan baik, majid misalnya, tidak mungkin dilaksanakan atau disediakan jika tidak dengan kondisi keuangan yang memadai.
Kedua, golongan yang menganggap kemiskinan sebagai bencana dan ujian. Kemiskinan dan kekayaan adalah taqdir. Golongan ini sering disebut dengan golongan jabariyah dalam Islam atau fatalis dalam agama lain. Karena bagi mereka tidak satupun usaha yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Kemiskinan adalah taqdir yang harus diterima apa adanya.
Ketiga, golongan kapitalis yang menganggap kemiskinan sebagai bencana individual atau perorangan. Karena itu adalah tanggung jawab setiap pribadi untuk mengatasinya. Dalam sejarah Islam, simbol dari golongan ini adalah Qorun, dari kaum Nabi Musa. Bagi mereka sesungguhnya kekayaan yang mereka peroleh adalah hasil dari usaha dan kecerdasan mereka sendiri, tidak ada hubungannya dengan takdir.
Keempat, pendirian sosialisme Marxisme atau Isytirakiyyah marxiyyah. Golongan ini berpendapat bahwa kemiskinan adalah akibat dari adanya kehidupan borjuasi atau orang kaya. Prinsip hak milik individu tidak boleh ada dalam konsep kehidupan mereka. Karena itu untuk mengatasinya maka orang-orang kaya harus dimusnahkan lebih dahulu dengan menciptakan golongan buruh atau proletar. Golongan ini melakukan gerakan tertentu untuk selalu menentang golongan borjuasi. Prilaku oposisi terhadap pemerintah dan anti terhadap orang kaya seringkali menjadi bahan kampanye mereka.
Kelima, prinsip Islam. Islam menolak setiap prinsip dan pandangan di atas baik sebagian atau secara keseluruhan. Islam memandang bahwa kemiskinan dan kekayaan adalah realitas kehidupan yang merupakan gabungan dari usaha yang dilakukan dan taqdir yang ditentukan Tuhan. Islam mempunyai konsep cara memanej orang miskin dan orang kaya bukan menapikan atau menyalah salah satunya. Pengelolaan itu dilakukan melalui pelaksanaan zakat, infaq, shadaqah dan waqaf.
Tuhan membuka ruang untuk setiap orang menjadi kaya, tetapi setelah itu kekayaan dikelola oleh otoritas resmi untuk distribusikan dalam rangka menciptakan pemerataan dan keseimbangan. Tanggung jawab utama terletak pada otoritas resmi yang diberi amanah untuk membuat aturan tertentu sehingga harta yang berlebih pada orang yang beruntung bisa terdistribusikan dengan menggunakan sistem dan aturan agama atau negara.
Sikap Islam
Ada sejumlah konsep dalam Islam tentang realitas kemiskinan dan kekayaan. Salah satu diantaranya melalui zakat yang disetarakan dengan kewajiban shalat. Dalam Al-Qur’an setidaknya terdapat sekitar 35 ayat yang menyebut masalah zakat secara eksplisit dan ratusan ayat tentang pengelolaan harta secara umum. Lebih dari 26 ayat diantaranya perintah melaksanakan shalat digandengkan secara sama dengan perintah menunaikan zakat. “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”(dalam sejumlah ayat). Al-Qur’an menggunakan redaksi kata penghubung huruf ataf waw, "dan". Dalam kaidah Bahasa Arab kalimat penghubung “dan” (huruf ‘ataf waw) bermakna lil muthlaq al-jam’iy. Bobot kata sebelum dan sesudah kata penghubung itu adalah sama. Artinya bobot perintah wajib shalat dan wajib menunaikan zakat adalah sama.
Sebagai contoh Al-Baqarah ayat 43: Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. Pada ayat 110 surah yang sama Allah berfirman: Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. Pada ayat 277 Allah berfirman: Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan halat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Sementara dalam Surah An-Nisa’ ayat 77, Allah berfirman: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"
Redaksi yang sama ditemukan dalam Surah An-Nisa ayat 162, Al-Maidah ayat 12 dan 55, At-Taubah ayat 5, 11, 58 dan 103, Al- ‘Araf ayat 156, dan seterusnya.
Dalam ayat-ayat tertentu Allah menghubungkan antara kewajiban shalat dan zakat dengan perintah lain atau ciri serta karakter lain dari orang Islam atau orang yang beriman. Sebagai contoh dalam Al-‘Araf ayat 156 Allah mencirikan orang yang bertaqwa adalah orang yang menunaikan zakat.
Secara umum terlihat bahwa Allah menghubungkan kewajiban zakat dengan pribadi yang telah diberi amanah kekayaan, dengan masyarakat luas di sekitarnya dimana kekayaan diperoleh dan orientasi keakheratan. Baik dalam pengertian kebahagiaan yang diperoleh ketika harta kekayaan disalurkan secara benar menurut agama, maupun siksaan yang diderita ketika harta yang diamanahkan tidak dimamfaatkan sesuai ketentuan agama.
Dalam Surah At-Taubah ayat 5 dan 11 Allah menghubungkan zakat dengan orang yang bertaubat. Orang yang bertaubat harus mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Dalam Bayyinah ayat 5, Allah menghubungkan orang yang memurnikan ketaatan kepada Allah, beragama secara lurus dengan orang yang mendirikan shalat dan menunaikan Zakat. Firman Allah: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Bayinah 5).
Dalam Al-Hajj ayat 78 Allah menghubungkan orang yang berjihad sesungguhnya dengan orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dalam Surah Al-Mu’min ayat 4, Allah menghubungkan ciri orang yang beriman sesungguhnya dengan orang yang menunaikan zakat. Dalam Surah An-Nur ayat 56 Allah menghubungkan ketaatan kewajiban mendirikan shalat dan menunaikan zakat dengan ketaatan pada Rasulullah.
Dalam Surah An-Naml ayat 3, Allah menghubungkan antara keyakinan dengan adanya hari akhirat dengan keyakinan mendirikan shalat dan menunaikan zakat: Firmannya: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat” (An-Naml 3).
Sementara dalam Suarah Fussilat ayat 7 Allah menyatakan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat adalah orang yang kafir dengan adanya hari akhirat. Firman Allah:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat”. (Fussilat 7).
Jika dianalisa ayat demi ayat di atas dan sejumlah ayat lain yang tidak mungkin dikutip semuanya di sini, maka rasanya patut dipertanyakan, mengapa dalam melaksanakan shalat kita membangun masjid atau mushalla dengan tikarnya yang terkadang sangat megah. Sementara dalam melaksanakan zakat yang sama/setara hukum wajibnya kita tidak memambangun baitul mal atau baitul zakat setara dengan pentingnya masjid?
Dalam waktu yang sangat lama urusan zakat ini terbengkalai di republik ini. Baru dalam waktu beberapa tahun ini kita mengambil langkah yang agak menjanjikan dengan melahirkan undang-undang zakat nomor 38 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dalam implementasinya telah dibentuk BAZNAS dan BAZDA
*Direktur Eksekutif CSCIIS Jambi & Dekan FU IAIN STS Jambi
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-manajemen-miskin-dan-kaya-dalam-islam-1.html#
Tidak ada komentar :
Posting Komentar