Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 26 Agustus 2013

Urgensi Penerapan CSR (Tanggungjawab Sosial Perusahaan) di Jambi

Dr. Ilham Prisgunanto, S. S., M.Si.
Oleh:  Dr. Ilham Prisgunanto, S. S., M.Si.*
Gesekan antara pelaku industri dengan pemerintah setempat kerap terjadi. Semua disebabkan adanya kesalahan intepretasi dan ada pihak ketiga yang membuat masalah menjadi makin kisruh dan berlarut-larut. Kondisi sedemikian memang disengaja dalam upaya pihak ketiga mengambil keuntungan atas kekisruhan keduabelah pihak yang sedang bertikai. Sebut saja masalah pengaliran dana oleh PT Petrochina kepada Bupati Tanjab Timur beberapa bulan lalu (4/7) dan langsung dibantah oleh yang bersangkutan. Bahkan lebih lanjut disebutkan ada indikasi pencemaran lingkungan dan ketidakjelasan pengantongan izin kepemilikan eksploitasi sumur Migas yang kemudian digadang-gadangkan pada pengguliran isu selanjutnya.

Pertanyaan besarnya mengapa perseturuan ini bisa terjadi dan berlarut-larut? Jawabannya jelas tidak ada hubungan yang baik antara pelaku industri, yang dikenal dengan istilah Goverment Relations. Kajian baru dalam ilmu besar Komunikasi Organisasi dan masuk dalam ranah public relations ini ingin menjelaskan perlunya pelaku industri memahami cara berpikir dan berperilaku pemilik keputusan dan kebijakan dalam tataran eksekutif dan dalam hal ini diwakili oleh Pemkab Tanjab Timur. Bila keduabelah pihak bisa bertemu dan membahas dengan hati dan kepala dingin tentu tidak akan bergulir perseturuan di ruang publik sehingga bisa menimbulkan keresahan masyarakat. Tentu saja hal sedemikian tidaklah diharapkan karena bisa menganggu stabilitas dan rasa aman bagi mereka yang tinggal di sana.

Jurus Ampuh CSR (Corporate Social Responsibility)

Pelaku industri seharusnya tidak menyoal permasalahan sedemikian bahkan memperuncing masalah, melainkan lebih mengurusi kepentingan jangka panjang menyangkut kredibilitas dan kehormatan korps perusahannya. Bagiamana mereka bisa menghilangkan kecurigaan dan sikap antipati dari masyarakat. Dengan demikian maka mereka bisa menggalang kekuatan citra dan menghilangkan prasangka buruk terhadap diri mereka.  Memang diakui bahwa dari kajian teoritik klasik ekonomi tugas utama perusahaan semata-mata mencari untung. Adam Smith berpendapat,”the only duty of the corporation is to make profit”. Proposisi ini menekankan bahwa bisnis adalah bisnis tak lebih. Padahal dalam beberapa rumusan disebutkan tujuan utama industri seharusnya bukan hanya mendatangkan uang, melainkan melayani para pelanggan dan stakeholders. Sebagian kekayaan yang diciptakan perusahaan haruslah disediakan untuk kepentingan komunitas dan bangsa (Irani, 2003:13).

Atas dasar itu terjadi pergeseran pemikiran tentang pengaturan perusahaan (corporate governance) untuk penciptaan keberlangsungan hidup ekologis. Perusahaan perlu menjaga kelangsungan hidup lingkungan lewat tanggungjawab sosial bersama. Keberlangsungan perusahaan tidak bisa lepas dari lingkungan sekitar. Lingkungan sosial sangatlah berpengaruh besar terhadap operasionalisasi perusahaan, sesuai teori sistem dijelaskan perusahaan masuk dalam ekosistem lingkungan yang harus mengerti kebutuhan masyarakat sekitar.  Perusahaan yang berhasil mempraktikkan itu akan mendapat keuntungan non profit besar. Bisnis tumbuh subur di atas masyarakat sejahtera, oleh sebab itu perlu ada keseimbangan antara aspek ekonomi (mencari keuntungan) dengan pembangunan sosial lewat tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibility). Perubahan komunikasi bisnis perusahaan yang sehat mengembangkan kesadaran keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup lewat pembangunan berkelanjutan.

Menurut World Summit Development tahun 1995 di Kopenhagen, Denmark para negara peserta konferensi sepakat melaksanakan 3 (tiga) agenda utama pembangunan sosial, yaitu: pengentasan kemiskinanan, perluasan kerja produktif, pengurangan pengangguran dan peningkatan integrasi sosial. Salah satu bentuk tanggungjawab sosial tersebut adalah filantropi perusahaan (Corporate philanthropy) atau derma perusahaan. Ide filantropi perusahaan berlandaskan pada pemikiran tidak semua persoalan sosial kemanusiaan tertangani oleh Pemerintah. Pengusaha dan perusahaan memiliki andil tanggung jawab sosial tersendiri terhadap lingkungannya. 

Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) relatif baru dan diakui akar-akar konsepnya masih sulit ditemukan. Johnson meragukan, apakah benar CSR (Corporate Social Responsibility) sekarang ini sudah tertanam (embedded) di dalam misi korporasi? Bukankah pelaksanaannya akan menimbulkan beban yang belum tentu mampu ditanggung sebuah perusahaan? (Johnson dalam Jalil, 2003:4). CSR pada saat ini bisa dilihat sebagai bentuk peran aktif sosial perusahaan yang berfungsi sebagai sarana meraih reputasi yang baik bagi konsumen, stakeholders dan pemerintah. CSR mampu memberi peningkatan reputasi perusahaan lewat pembangunan citra perusahaan. Citra dan brand akan terbangun, terjaga dan di kemudian hari bisa membuat perusahaan mampu bersaing dalam menghadapi kompetisi pasar.

Dari penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) tahun 2003, terhadap 266 perusahaan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Medan, Pekanbaru, Jakarta, Semarang, Balikpapan, Makasar, Manado ditemukan, bahwa rata-rata sumbangan per-tahun perusahaan multinasional adalah 236 juta rupiah jauh di atas rata-rata sumbangan perusahaan nasional dan lokal yang masing-masing hanya 45 juta rupiah sampai kisaran 16 juta rupiah. Satu yang diketahui bahwa pelaksanaan program tanggung jawab sosial (CSR) di Indonesia masih mandek. Kesadaran praktik CSR tampaknya belum terbangun,  dan semakin banyak perusahaan masih memandang CSR hanyalah ‘proyek buang-buang uang’. Menurut World Summit Development tahun 1995 di Kopenhagen, Denmark para negara peserta konferensi sepakat melaksanakan 3 (tiga) agenda utama pembangunan sosial, yaitu: pengentasan kemiskinanan, perluasan kerja produktif, pengurangan pengangguran dan peningkatan integrasi sosial. Salah satu bentuk tanggungjawab sosial tersebut adalah filantropi perusahaan (Corporate philanthropy) atau derma perusahaan untuk aktivitas sosial. Ide filantropi perusahaan berlandaskan pada pemikiran bahwa tidak semua persoalan sosial kemanusiaan tertangani oleh Pemerintah. Pengusaha dan perusahaan memiliki andil tanggung jawab sosial tersendiri terhadap lingkungannya. 

Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) relatif baru dan diakui akar-akar konsepnya masih sulit ditemukan. Johnson meragukan, apakah benar CSR (Corporate Social Responsibility) sekarang ini sudah tertanam (embedded) di dalam misi korporasi? Bukankah pelaksanaannya akan menimbulkan beban yang belum tentu mampu ditanggung sebuah perusahaan? (Johnson dalam Jalil, 2003:4). CSR pada saat ini bisa dilihat sebagai bentuk peran aktif sosial perusahaan yang berfungsi sebagai sarana meraih reputasi yang baik bagi konsumen, stakeholders dan pemerintah. CSR mampu memberi peningkatan reputasi perusahaan lewat pembangunan citra perusahaan. Citra dan brand akan terbangun, terjaga dan di kemudian hari bisa membuat perusahaan mampu bersaing dalam menghadapi kompetisi pasar.

Dari penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) tahun 2003, terhadap 266 perusahaan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Medan, Pekanbaru, Jakarta, Semarang, Balikpapan, Makasar, Manado ditemukan, bahwa rata-rata sumbangan per-tahun perusahaan multinasional adalah 236 juta rupiah jauh di atas rata-rata sumbangan perusahaan nasional dan lokal yang masing-masing hanya 45 juta rupiah sampai kisaran 16 juta rupiah. Pelaku bisnis usaha negara maju telah menyadari pentingnya program CSR untuk mendukung kegiatan bisnis menaikkan citra dan brand perusahaan. Kesadaran tersebut akan sangat kentara dari dukungan masyarakat dari peningkatan pemakaian produk perusahaan terhadap praktik CSR (Corporate Social Responsibility). Padahal  tujuan utama CSR adalah terbangunnya masyarakat yang well educated yang memiliki perhatian tinggi terhadap masalah-masalah sosial.   

Apakah ada hal kontroversial dalam praktik pelaksanaan CSR? Demikianlah pertanyaan besar yang diajukan tulisan ini. Perlu diwaspadai, bahwa banyak perusahaan melakukan CSR bukan atas dasar kesadaran dan keikhlasan untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial. Perusahaan banyak yang berbuat curang dengan menunggangi program CSR untuk keperluan penciptaan citra produk dan perusahaan. Di lain sisi praktik CSR sering menjadi medan laga perusahaan untuk melakukan perang pesan produk lewat penempatan logo perusahaan yang mampu menimbulkan efek stimulus respon ke publik. Fenomena yang muncul dalam penerapan CSR adalah perusahaan lebih sibuk mengatur posisi publikasi, sosialisasi citra dan  brand mereka, daripada keberlanjutan program CSR tersebut. Padahal jelas dalam penerapan CSR seharusnya membatasi, bahkan meniadakan publikasi media massa. Sebab bila praktik publikasi ada, berarti program tersebut sudah berubah wujud menjadi program marketing public relations (PR Pemasaran). 

Bila demikian apa dahsyatnya CSR dan untungnya bagi perusahaan? Jelas daya dahsyat CSR terletak pada keandalan komunikasi antar pribadi yang ada di dalamnya. Perusahaan yang menerapkan CSR dan tidak menempatkan logo dan citra perusahaan tidak akan menimbulkan preseden negatif publik terhadap kesan pesan komersil perusahaan. Dengan adanya program CSR, seperti; pembuatan sekolah, sarana kebersihan, beasiswa dan lain-lain akan menciptakan hubungan keintiman antara perusahaan dengan komunitas yang dituju. Sengaja atau tidak komunitas tersebut akan bertindak sebagai opinion leader (pemimpin opini) di masyarakat dan akan memencarkan informasi pesan yang ada. 

Dalam penerapan CSR, bisa membina hubungan dengan lingkungan melalui saluran komunikasi antar pribadi yakni keintimani. Diketahui dalam praktik komunikasi unsur inilah yang sangat penting dalam efektivitas pesan berkomunikasi (Prisgunanto, 2005). Dengan demikian keuntungan bagi perusahaan filantropi adalah begitu melekatnya mereka di hati publik. Imbasnya, apapun yang diberitakan negatif tentang perusahaan oleh media massa akan ditanggapi negatif oleh publik. Hal ini karena hati mereka sudah direbut oleh perusahaan lewat CSR dalam keandalan pesan dalam komunikasi antar pribadi. Ironisnya memang banyak perusahaan besar mengadakan CSR dalam upaya menjual citra perusahaan dan ini adalah sebuah salah kaprah yang besar dalam pemahaman CSR. Tugas terberat adalah mempertahankan CSR sebagai kegiatan bukan bisnis yang penuh perolehan uang dan ajang publikasi. CSR adalah program tulus, ikhlas, berkelanjutan dengan penuh rasa kasih untuk kesejahteraan sosial. Imbas yang akan muncul bila CSR diselewengkan adalah kebangkrutan kepercayaan masyarakat. 

*Penulis buku komunikasi dan saat ini sedang melakukan penelitian dan penyuluhan di Jabung Timur-Jambi
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-urgensi-penerapan-csr-tanggungjawab-sosial-perusahaan-di-jambi.html#

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2