Oleh: Samsul Bahri, S. E.*
Awal terbentuknya Kabinet KIB II dan terlepas terbentuknya dan terpilih Menteri KIB II memenuhi aspek Presidential, Zaken Kabinet atau tidak, namun salah satu langkah maju untuk mencoba melihat Indonesia dari berbagai segi telah dilakukan Rembuk Nasional (National Summit 29-31 Oktober 2009). Kegiatan ini menghasilkan sebuah target yang fantastik, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia sampaitahun 2014 sebesar 7,0%, dengan kegiatan-kegiatan lebih mengutamakan Investasi sektor real, antara lain revitalisasi sector Pangan (Sub sektorTanaman pangan dan Holtikultura, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan), salah satu tujuan utama adalah menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di Indonesia serta perbaikan dan pengembangan Infrastruktur dan ketahanan energi yang berjalan seiring.
Rembuk Nasional (National Summit) bermaksud ”menyapubersih” berbagai peraturan yang dinilai menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tahun 2014 (Kompas, 29/10/2009). Demi efisiensidanpemerintahan yang bersih, maksud i tu telah didukung oleh kekuatan politik yang dominan lebih dari 60% rakyat Indonesia, apabila acuan pada keberhasilan adalah pertumbuhan ekonomi, namun seyogyannya tidak menerobos pilar-pilar ekonomi yang bermaksud melindungi barang danjasa publik yang bersifat strategis dalam UUD 1945.
Pilar ekonomi yang tertuang dalam UUD 1945, pasal 33 yang diuraikan (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabangproduksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumidan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk “sebesar-besarkemakmuranrakyat”,
Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besarkemakmuranrakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bias terpenuhi melalui indicator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakan jauh, sedangkan tujuan Pembanguan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.
Apa lacurnya, upaya pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 6,3 persen mustahil dapat tercapai, karena tingginya tekanan eksternal dan tekanan inflasi memupus target pertumbuhan ekonomi itu, upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki risiko sangatbesar.
Tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 tecermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2013 yang hanya 6,03persen. Dan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2013 hanya sebesar 5,81 persen. Sehingga, pertumbuhan ekonomi semester I/2013 hanya 5,92 persen.
Terkoreksinya pertumbuhan ekonomi semester I/2013 karena mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi rumah tangga, menurun cukup besar akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Pada kuartal II/2012, bertumbuh 5,24 persen, tetapikuartal II/2013 menurun, menjadi 5,06 persen
Target dan Program Nasional Summit pertumbuhan ekonomi 7-8 persentahun 2014 (Kompas, 29/10/2009) cenderung bisa dari pilar ekonomi yang tertuangdalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bias terpenuhi melalui indicator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakin jauh, sedangkan tujuan Pembanguan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,3 persen mustahil tercapai karena membutuhkan pertumbuhan ekonomi pada semester II/2013 minimal sebesar 6,6 persen, padahal, daya beli masyarakat sudah menurun cukupbesar, investasi masih menurun, pertumbuhan ekspor masih melambat akibat perekonomian global masih dalam pemulihan, multifleirefek kenaikan BBM dan Inflasi musiman Ramadhan, Lebarandan Natal/Tahunbaru, termasuk target pertumbuhan ekonomi tahun 2014 direncanakan pemerintah 6,4 – 6,9 persen sangat sulit dicapai juga. Karena perekonomian dunia masih dalam proses pemulihan.
Potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di kuartal berikutnya karena inflasi mulai menanjak setelah kenaikan harga BBM 22 Juni, padahal bulan Juli, inflasi sudah mencapai 3,29% secara bulanan. Inflasi akan mengganggu pertumbuhan konsumsi rumah tangga, perlambatan juga bias dipengaruhi semakin lambatnya pertumbuhan kredit perbankan. Kenaikan BI rate 75 bps pada dua bulan terakhir juga diprediksikan menekan laju pertumbuhan mulai kuartal ketiga.
Secara faktual yang terjadi di Indonesia saat ini, hampir 100% sumber bahan pokok kebutuhan rakyat terjadi kelangkaan dan melalui solusi jangka pendek yang menjadi kebijakan pemerintah adalah Import.
Solusi ini dianggap mujarab dalam waktu relative singkat dan akan menjadi persoalan jangka panjang, jika persoalan ini tidak dikaji dan dianalisa untuk kebijakan jangka panjang, sehingga perlu diperhatikan apa yang disamnpaikan oleh Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana IsenMulang, Palangka Raya (Kalteng) “Masa depan kita ada dimana?”, selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!”, dipertegas oleh beliau menekan kan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10).
Pernyataan Emil Salim tersebut sejalan dengan penjelasan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelarmenyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumberdaya potensial.
”Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakinrusak.
Sehingga revitalisasi sector pangan, tidak bias lepas dari bagaimana kita mengoptimalkan fungsi penyangga kehidupan (penyanggaekonomi) dari sebuah kawasan Konservasi dan atau kawasan Lindung, karena kawasan ini secara ekonomi memiliki nilai ekonomi langsung dannilai ekonomi yang tidak langsung sebagai penyanggaekonomi masyarakat yang sangat besar.
Apabila revitalisasi sector pangan mengabaikan peran dan fungsi penyangga kehidupan, tentunya target pencapaian pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan, bahkan mungkin turun, karena factor penyangga akan sangat berpengaruhatas keberlangsungan dan keberlanjutan peningkatan “kemakmuranrakyat”.
*Conservationist, Dosen STIE-SAK
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-masa-depan-kita-dimana.html#
Tidak ada komentar :
Posting Komentar