Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Selasa, 27 Agustus 2013

Korupsi dan Pencegahannya Cara Islam

Oleh: Abd. Mukti*
Publik sudah muak dan bosan, setiap saat disuguhi dengan pemberitaan berbagai kasus korupsi, kolusi, suap-menyuap, dan entah apalagi namanya yang senantiasa menghiasi media massa. Kasus korupsi yang satu belum selesai muncul lagi yang lain. Pelakunya pun tidak pandang profesi, dari kalangan ‘nasionalis’ maupun dari yang berlatarbelakang ‘agamis’. Laki-laki, perempuan, pejabat birokrat, wakil rakyat, semuanya pernah dan bahkan sedang berurusan dengan penegak hukum. Pejabat yang dikenal “bersih” seperti Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga masuk dalam jeratan suap-menyuap.

Tidaklah heran, jika banyak tokoh agama dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, serta Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum ‘turun gunung’ mendesak pemerintah untuk menghentikan kepura-puraan dan kebohongannya dalam perang dan jihad melawan ‘perbuatan zalim’ ini.

Sudah banyak pejabat, birokrat, dan anggota DPR dan DPRD masuk bui tapi korupsi tak pernah berhenti. Ranking Indonesia pun patut 'dibanggakan' karena selalu berada di puncak untuk kawasan Asia. Kalau toh bergeser, tak jauh dari posisi juara korupsi.

Haram & Zalim 

Korupsi dalam pandangan Islam adalah perbuatan haram dan zalim.Dosanya, tentu sangat  besar, karena menyangkut hak milik negara atau masyarakat. Dikatakan zalim, karena dampak korupsi itu sangat dahsyat, dapat merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan.Jika kejahatan korupsi tidak dapat ditekan jumlahnya dan bahkan membudaya dalam masyarakat, ini satu pertanda telah keroposnya keimanan masyarakat. Jika keimanan masyarakat telah keropos, tunggulah kehancurannya.

Korupsi adalah perbuatan haram yang tingkat keharamannya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan terhadap harta kekayaan milik umum (seperti korupsi APBN,APBD dan proyek-proyek negara untuk masyarakat). Rasulullah Saw bersabda: “Hai kaum muslimin, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. Siapa yang kami beri padanya dari hasil itu hendaknya ia terima dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.

Cara Islam Cegah Korupsi

Syariat Islam telah memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi. Upaya pencegahan terhadap tindakan korupsi setidaknya harus dilakukan terhadap dua hal, menciptakan budaya yang bersih-Islami dan membentuk sistem pemerintahan yang tangguh.

Budaya yang Islami dapat dilakukan dengan cara: Pertama, membekali aparat negara dengan ketaqwaan. Rasulullah saw telah menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada para sahabat. Terlebih kepada mereka yang ditunjuk menjadi aparat pemerintahan. Ditanamkan kepada mereka untuk tidak berbuat ghulul (curang). Imam At Tirmidzi menuliskan sebuah hadits dari Muadz bin Jabbal yang berkata: Rasulullah Saw mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah saw bertanya kepadaku, ’Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.”

Kedua, memilih aparat negara yang memiliki kapabilitas. Rasulullah Saw tidak mengangkat mereka yang lemah untuk pejabat.  Di dalam Kitab Mukhtasar Targhib wa Tarhib, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Dari Abu Dzar ra mengatakan: Aku Berkata, “Wahai Rasulullah mengapa engkau tidak mengangkatku jadi pejabat?. Dia mengatakan: Lalu Rasulullah Saw memukul pundakku dengan tangannya, lalu berkata: Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanat dan jabatan adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat, kecuali bagi yang mengambilnya dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya.” Di dalam hadits yang lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah juga sangat membenci orang yang ambisius terhadap jabatan.

Ketiga, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin Khattab adalah penguasa kaum muslim yang berhasil menjunjung tinggi pola hidup sederhana. Muhammad Ash-Shalabi dalam kitab Syakhsiyatu Umar wa Aruhu, menuliskan sejumlah kisah yang menunjukkan gaya hidup Amirul Mukminin yang sangat sederhana, zuhud dan wara’. Suatu ketika, minyak wangi jenis misk dan anbar dari Bahrain didatangkan kepada Umar. Umar berkata pada istrinya, Atikah, ”Aku senang sekali bila menemukan seorang wanita yang pandai menimbang minyak wangi ini untukku, hingga aku membagi-bagikannya kepada kaum muslimin.” Atikah menjawab, “Aku pandai menimbangnya. Bawalah kemari minyak wangi itu agar kutimbang untukmu!”. “Tidak”, kata Umar. “Mengapa tidak?”, tanya istrinya. Umar menjawab,”Aku khawatir kamu mengambilnya, lalu kamu mengoleskannya di lehermu, sehingga kamu mengambil bagian dari milik kaum muslimin.”

Keempat, pengawasan masyarakat. Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat tercatat, Umar bin Khattab telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya berkata: “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang” Lalu seorang laki-laki menyambut dengan lantang  “kalau begitu, demi Allah Swt, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.

Sementara upaya menciptakan sistem yang tangguh dapat ditempuh dengan cara: Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah saw bersabda: "Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi. Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri". (HR. Abu Dawud).

Kedua, larangan menerima hadiah dan suap. Hadiah (hibah, gratifikasi) yang diberikan kepada aparat pemerintah pasti bermaksud agar aparat itu menguntungkan pemberi hadiah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap, berapapun nilainya dan dengan jalan apapun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. Rasulullah Saw bersabda: “Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)

Sementara hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah termasuk yang diharamkan. Rasulullah saw bersabda: “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)

Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azis pernah menolak hadiah berupa buah apel, karena beliau memahami bahwa itu merupakan penyuapan. Diriwayatkan Amr bin Muhajir, bahwa suatu hari salah seorang anggota keluarga Umar bin Abdul Aziz memberinya hadiah apel. Atas pemberian itu, Umar lantas berkata, "Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai." Amr bertanya, "Mengapa pemberian hadiah dari orang yang masih ada hubungan kekerabatan ditolak? Padahal, Rasulullah Saw juga menerima hadiah." Umar menjawab, "Sesungguhnya, hadiah yang diberikan kepada Rasulullah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap."

Ketiga, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Prinsip praktik birokrasi dalam pemerintahan Islam, menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nidzamul Hukmi fil Islam, harus memenuhi tiga kritera: (1) Sederhana dalam aturan; (2) Cepat dalam pelayanan, dan (3) Ditangani oleh ahlinya (profesional).

Upaya-upaya pencegahan korupsi termasuk suap-menyuap secara umum, Islam telah menetapkan kepada setiap individu untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Jika tingkat keimanan seseorang itu kokoh dan kuat, insya Allah akan menjadi filter dari berbagai kejahatan termasuk tindakan korupsi. Rasulullah SAW pun telah menjamin melalui sabdanya :”Tidaklah seseorang akan berzina saat itu ia mu’min; tidaklah ia akan mabuk-mabukkan di saat itu ia mu’min; dan tidaklah ia akan mencuri/korupsi di saat itu ia mu’min”.HR. Muslim

Hadits diatas dapat dipahami bahwa antara keimanan dan kemaksiatan termasuk korupsi,tidak akan dapat bersamaan dalam jiwa seseorang. Artinya, ketika seseorang dalam jiwanya terpatri keimanan yang kokoh, niscaya ia tidak akan berbuat kemaksiatan termasuk korupsi. Atau sebaliknya, jika seorang itu berbuat korupsi, maka pada saat itu pula keimanannnya lepas dari jiwanya. Dan saat ia sadar dan bertobat, insya Allah saat itu pula keimananya kembali lagi.

Keimanan seseorang yang kuat dan kokoh merupakan modal utama menuju ketaqwaan kepada Allah, yang secara otomatis akan menjadi benteng dari berbagai godaan syetan untuk berbuat kemungkaran, termasuk dalam hal ini korupsi.(*)

*Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-korupsi--pencegahannya-cara-islam.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2