Drs. H. Navarin Karim, M. Si. |
(Kontempelasi Peringatan 68 tahun Indonesia Merdeka)
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M.Si.*
Mimpi Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 khususnya yang berkaitan dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sepertinya menjadi perjuangan yang tidak pernah berakhir (never ending goals) dalam pembangunan. Multy masalah masih kita temukan setelah 68 tahun Indonesia merdeka. Hal ini perlu perenungan (kotempelasi) dalam rangka mengeliminir masalah dan akselerasi pembangunan dengan program-program terobosan. Beberapa masalah tersebut dapat dikemukakan dari fakta-fakta berikut.
Tekanan Penduduk Semakin Tinggi
Predikisi Hasil Sensus dan Supas (BPS : 2012) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia tahun 2015 akan mencapai 248 Juta. Penduduk Indonesia meningkat dua kali lipat dalam 30-40 tahunan. Jumlah penduduk Indonesia tahu 1950 (77 juta), tahun 1980 (147 juta) dan tahun 2015 (248 juta). Dampaknya adalah tingkat pengangguran makin tinggi, lahan semakin padat, lalu lintas makin semrawut dan pelayanan transportasi yang cepat dan aman semakin mahal, hutan semakin gundul dan hancur, ekspor asap dan tenaga kerja yang tidak memiliki skill.
Ketidakharmonisan Hubungan Vertikal dan Horizontal
Pemicu persoalan konflik yang semakin merajalela ini kalau dibuatkan akronimnya adalah berkisar pada masalah SARATT (Suku, Agama, Ras, Adat, Tanah dan Tawuran). Kesukuan semakin mengental di era pemilukada dan otonomi daerah. Jika gubernur/walikota/bupati berasal dari suku X, maka peluang suku X akan mendapat jabatan semakin besar, persoan kapabilitas dan pengalaman soal kedua. Kesadaran toleransi beragama masih perlu pendewasaan warga dalam system politik demokrasi yang kita anut. Persoalan Ras masih perlu terus kegiatan cross cutting afiliatition/activity terus ditingkatkan. Adat, terutama masalah kearifan local jangan diabaikan begitu saja dalam system pemerintahan daerah. Persoalan perbatasan (propinsi/kabupaten) harus segera dituntaskan tanpa keberpihakan/kepentingan. Tawuran dikalangan siswa SMP, SMA dan kalangan calon intelektual (mahasiswa) dapat diatasi dengan reaktualisasi pendidikan charakter building di setiap lembaga pendidikan.
Ketimpangan Ekonomi Yang Makin Meningkat
Tahun 2006, 10 % rumah tangga terkaya (decile 10) di Indonesia menguasi 24,6 % total pendapatan tahunan (annual disposable income). Tahun 2011, penguasaan pendapatan 10 % rumah tangga terkaya naik menjadi 27,9). Pada periode 2006 hingga 2011 seluruh pendapatan tahunan rumah tangga termiskin (decile 1) menurun dari 2,5 % menjadi 2,1 %. Antara 2006 hingga 2011, Gini coefficient naik di Indonesia dari 33% menjadi 37,7%. Gambaran ketimpangan ini, dapat dilihat nyata di depan jalan protocol terdapat gedung-gedung pencakar langit dan dibelakangnya pemandangan areal kampung (urban slum).
Krisis Moral
Masih banyak ditemukan siswa dan mahasiswa nyontek, demikian juga akademisi yang plagiat. Institusi yang seharusnya membina pembentukan karakter bangsa Indonesia, malah sarang koruptor. Kasus guru memberi jawaban kepada siswanya ketika Ujian nasional, demi naik pencitraan sekolah. Jika persentase kelulusan ujian nasional tinggi, seolah sekolahnya dapat dipercaya masyarakat. Dalam politik, partai dan kandidat yang maju bertarung lebih mengutamakan pencitraan ketimbang niat sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Persoalan di dunia Perguruan Tinggi adalah gampangnya memperoleh gelar S1, S2 hingga S3 bagi yang mempunyai financial mumpuni. Banyak peserta didik lebih memilih jalan pintas (short cut) dalam menyelesaikan pendidikan ketimbang melalui mekanisme memperoleh knowledge (knowing, inspiring and experiencing).
Outcomes Pendidikan?
Fakta di Indonesia menunjukkan makin tingkat pendidikan, makin rendah tingkat kewirausahaan. 87,18% tamatan Perguruan Tinggi, hanya 3,93 % menjadi wiraswasta. 60,87 % tamatan SMA/Madrasah Aliyah hanya 11,69 % wiraswasta. 39,2% tamatan SMP, 23,44 % wiraswasta dan 22,56 tidak tamat /belum tamat SD, 28,67 % menjadi wiraswasta.
Hasil pendidikan yang tidak efektif dan tidak sesuai dengan harapan tujuan UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, menjadi kerja keras para pendidik. Apalagi hampir 60 % pendidik sekarang sudah memperoleh sertifikasi. Oleh sebab itu tunjukkanlah dedikasimu wahai pendidik demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Giliran Negara menuntut kewajibanmu, karena hak sudah dipenuhi lebih baik ketimbang masa-masa sebelumnya. Anda hanya dituntut pengorbanan dedikasi dan mendidik dengan hati, ketimbang masa perjuangan kemerdekaan dahulu, orang rela berdarah-darah bahkan nyawa demi Indonesia.
*Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta (NIA 201307002)
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-indonesia-sebagai-negeri-complex-emergenci.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar