H. Hermanto Harun, Lc., M.H.I., P.h. D. |
Oleh: H. Hermanto Harun, Lc., M.H.I., Ph.D.*
Mesir, negeri Arab yang sangat popular dalam sejarah dinamika kelimuan Islam dan negeri kinanah yang telah merekam perjalanan para anbiya itu, kini sedang mencekam dan bersimbah darah. Cerita kota Kairo yang penuh romantika cinta dalam novel-novel religi di tanah air, sekaligus pusat gerakan politik di Mesir, kini sedang merajut rangkaian cerita lain yang sangat sengit dan mengerikan. Para pegiat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) se-antero dunia dikejutkan dengan fakta pengkhianatan demokrasi yang sedang bergelora di negeri viramid itu.
Penggulingan presiden Muhammad Moursi dalam kudeta militer yang dikomandoi Jenderal Abd Fatah al-Sisi, merupakan petaka sejarah yang telah menoreh duka mendalam di pentas dunia demokrasi di abad modern. Karena, Muhammad Moursi merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung dalam Pemilu pertamakali setelah bergulirnya era reformasi di negeri kinanah tersebut.
Naiknya Moursi sebagai presiden Mesir pertama yang dipilih dalam sistem demokrasi modern, tidak bisa dipungkiri sebagai pertanda bangkitnya gerakan Islam politik di jazirah Arab. Karena gerakan Islam politik selama ini dibungkam dan bahkan dikebumikan, sehingga tidak bisa tampil ke ruang publik untuk mengambil peran dalam kekuasaan. Momentum musim semi di jazirah Arab (al-Rabi’ al-Arabiy) nampaknya memberi ruang untuk bangkit setelah beberapa dekade dalam tekanan penguasa otoriter yang bertopeng demokrasi. Momentum Arab Spring yang bergulir pada akhir 2010 yang berhembus dari Tunisia dan menyebar hampir ke seluruh Negara Arab, seolah memberi angin segar dan peluang berharga dalam berkonpetisi di pentas demokrasi politik yang selama ini tertutup.
Runtuhnya rezim otoriter Husni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga puluh tahun di negeri Musa itu, setidaknya memberi harapan besar terhadap perjalanan demokrasi di Mesir. Namun, alam demokrasi yang baru seumur jagung dinikmati rakyat Mesir itu, kini sedang sekarat. Cita demokrasi dengan kredo ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ yang selalu memberi ruang “kebebasan” kepada rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, kini menjadi suram setelah tangan besi militer kembali mengambil alih kekuasaan. Demonstrasi menentang Presiden Moursi di lapangan Tahrir (Maidan a-Tahrir) pada tanggal 30 Juli lalu, dijadikan tameng oleh militer untuk mengambil kendali pemerintahan. Tak tanggung-tanggung, alibi yang dibangun juga sangat meyakinkan, bahwa jumlah para demonstran anti presiden Moursi saat itu mencapai puluhan juta orang. Walaupun, argumentasi itu ternyata sangat lemah dan bahkan sangat sumir dalam perspektif ilmiah dan akademis. Tapi, tampaknya pihak mliter tak peduli, dengan meminjam ‘daulat rakyat” kudeta militer terus melaju, walau ribuan nyawa rakyat Mesir yang tak bedosa harus menjadi tumbal.
Watak Demokrasi
Memang persoalan demokrasi menjadi problematika tersendiri bagi gerakan politik Islam. Perdebatan panjang tentang entitas (mahiyah) demokrasi dalam perspektif Islam agaknya tidak menemui ujung, karena setiap pendapat memiliki cara pandang berbeda. Apakah “penghukuman” terhadap demokrasi berangkat dari pengertian literal, sejarah dan bahkan ideologinya, atau justru pada substansi dan ‘maqasid’-nya. Walaupun, pihak yang selama ini bertelingkah tersebut, agaknya telah menemukan ruang “ijma”, untuk berdemokrasi, baik berdasarkan pertimbangan pragmatis, atau kondisi realitas yang menjadikan ‘illat’ pendapat itu berubah. Dalam hal ini, negara Mesir menjadi prototype tentang dinamika pergumulan itu, karena partai al-Nur yang bercorak salafi, yang selama ini gencar menolak term demokrasi ternyata mengikuti pemilu, dan partai Keadilan dan Kebebasan (hizb al-hurriyah wa al-‘adalah) sayap politik Gerakan Ikhwan al-Muslimin bahkan menjadi pemenang pemilu.
Ketika dua kekuatan politik Islam di Mesir tersebut sedang beromantika dengan realitas demokrasi, justru demokrasi itu dirampas oleh kelompok yang selama ini mengkampanyekan demokrasi. Hal ini tak bisa ditepis, bahwa fakta kudeta militer di Mesir didukung oleh kelompok liberal dan sekuleris, yang didukung oleh Amerika Serikat, Israel dan sekutunya. Lantas, seperti apakah tafsir demokrasi yang mereka maksudkan? Bukankah kesepakatan atas tafsir demokrasi dalam politik ditentukan oleh kotak suara pemilu? lalu mengapa mereka (liberal, sekuleris dan AS) mendukung penggulingan Muhammad Moursi dan bahkan menggantikan pemerintahan yang sah tersebut?
Pertanyaan di atas menjadi penting untuk mengungkap golongan manakah yang tulus terhadap tafsir demokrasi dan puak mana yang justru menjadikan demokrasi sebagai topeng belaka? Yang jelas, dari perspektif manapun, watak demokrasi adalah kebebesan yang merupakan hak sekaligus ruang terbuka bagi seluruh rakyat untuk mengekspresikan kemauan politik selama berada dalam koridor hukum yang sah dalam sebuah Negara. Namun yang terjadi di Mesir agaknya berbeda, karena tafsir demokrasi yang dimenangkan oleh partai Islam tidak sejalan dengan pemahaman dan kemauan demokrasi yang ditafsirkan oleh kelompok liberal dan sekulerism.
Pemahaman demokrasi oleh kelompok liberal dan sekulerism hanya benar bila pengendali kekuasaan di sebuah Negara mengikuti dogma yang selama ini mereka perjuangkan. Kata kunci perjuangan demokrasi persi liberal dan sekulersm adalah mengasingkan golongan Islam dari pentas politik. Hal ini karena ideologi liberal dan sekulerism pasti bertabrakan dengan rumus dan norma agama. Bagi mereka, bersenyawanya agama dan politik di pentas kekuasaan merupakan persekongkolan haram yang harus dinistakan, bahkan harus dimusnahkan.
Ideologi permusuhan terhadap bersenyawanya agama dan politik tersebut nampaknya telah menjadi interpretasi mutlak dan tunggal bagi kaum liberal dan sekulerism, bahkan persenyawaan itu menjadi momok yang selalu dipandang menakutkan. Sehingga, berbagai istilah yang digunakan untuk menidentifikasi golongan islamis tersebut selalu dengan ungkapan mendiskreditkan, seperti fundamentalis, ekstrimis dan bahkan teroris. Pengistilahan ini menjadi bahasa baku yang selalu dijaja oleh kau sekuleris dan liberal dalam opini publik yang dibungkus dengan kemasan yang apik yang seolah benar dan ilmiah.
Realitas demokrasi di Mesir yang sedang bergolak sekarang ini agaknya memerlukan penegasan kembali terhadap tafsir demokrasi di abad modern ini, apakah demokrasi itu masih sejalan dengan kemajuan berfikir manusia, atau justru terma demokrasi masih dalam kerangka paradgima peradaban masa lalu. Nampaknya, golongan Islam yang berjuang untuk demokrasi di Mesir sekarang ini, dan dunia Islam lainnya, perlu membaca tafsir demokrasi yang dirumuskan oleh kau liberal, sekuleris dan AS secara mendalam dan seksama. Karena, acapkali ruang demokrasi yang dimenangkan oleh golongan Islam, justru mendapat tempat dan tahtanya dipenjara, bahkan harus bersimbah darah, seperti yang terjadi di Mesir yang telah menumbalkan 6000-an nyawa rakyat tak berdosa. Jika seperti ini makna demokrasi yang diperjuangkan oleh kaum liberal dan sekuleris, maka sudah pasti yang membenarkannya layak untuk dikategorikan kehilangan akal sehat. Wallahu’alam
*Alumni Universitas al-Azhar Mesir, Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, anggota Pelanta.
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-demokrasi-mesir-dan-akal-sehat.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar