Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 19 Agustus 2013

Adakah Invisible Hand dalam Dunia Politik?

Jafar Ahmad
(Sebuah Pengantar untuk Pemilukada Kerinci)
Oleh: Jafar Ahmad *
Idea Institute melakukan survei sekurang-kurangnya sebanyak tiga kali dalam enam bulan terakhir. Di samping survei popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah dan calon legislatif, ada beberapa item survei lain  yang menjadi fokus lembaga ini. Meski survei dilakukan di Kebupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, beberapa hasil survei juga dianggap bisa menjadi barometer bagi daerah-daerah lain, baik di provinsi Jambi maupun di Provinsi lainnya. Survei yang cukup menarik dan menjadi salah satu fokus penting Idea Institute adalah kemungkinan orang terpengaruh oleh uang dalam menentukan pilihan. Secara konsisten hasil survei menunjukkan bahwa memang harus diakui pengaruh uang amatlah besar dalam menentukan pilihan pemilih. Lalu seberapa bahaya pengaruh uang dalam membentuk budaya politik pemilih?

Menganalisis masalah ini saya akan menggunakan teori yang sangat populer di kalangan sosiologi modern, yakni Teori Strukturasi yang diperkenalkan dan dijelaskan dengan amat memukau oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog asal Inggris. Teori ini membahas proses terbentuknya struktur sosial yang merupakan hasil interaksi agen/ pelaku dan aturan/ norma. Proses interaksi ini, dalam jangka tertentu melembaga menjadi sebuah struktur di mana setiap orang akan tunduk dan sulit melawan struktur yang telah mapan tersebut.

Bagaimana dengan politik uang? Sejak hampir satu dekade terakhir, pemilih diperkenalkan pada pemilihan langsung  dengan sistem one man one vote. Setiap suara memiliki hitungan sama, entah apapun latar belakang pemilih, orang kaya-miskin, berpindidikan-awam, baik-jahat, semuanya memiliki hitungan suara yang sama.

Berbeda dengan pemilihan-pemilihan kepala daerah sebelumnya, yang pemilhan dilakukan oleh perwakilan di DPRD, pemilihan langsung ini telah menggeser wewenang perwakilan ke pemilih secara langsung. Pola ini telah membawa perubahan yang amat besar terhadap prilaku pemilih. 

Jika sebelumnya pusat kekuasaan menentukan kepala daerah terletak pada kekuatan politik yang dipresentasikan oleh para anggota DPRD, kini kekuasaan itu telah bergeser dan menyebar dalam ranah sosial yang lebih luas. Jika dulu para pakar politik menganalisis pemilihan kepala daerah dengan teori kekuasaan, kini analisis pemilihan kepala daerah sepertinya lebih sesuai dengan menggunakan analisis sosiologi.

Pemilih yang sebagian besar berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah, memandang uang dalam nilai yang tidak terlalu besar, namun cukup signifikan bagi mereka. Angka signifikansi yang tinggi, meskipun nilai uangnya rendah, memungkinkan para calon kepala daerah yang memiliki uang mampu mempertukarkan uang yang sedikit dengan suara yang cukup untuk menang. Sejak 2005, di mana pemilihan langsung mulai dilaksanakan, praktik mempertukarkan suara dengan uang telah jamak terjadi. Sebagian besar dilakukan terhadap mereka yang secara ekonomi tergolong kelompok kurang mampu/ miskin. Meskipun tidak jarang juga terjadi pada mereka yang golongan ekonominya sudah tidak miskin lagi. Politik transaksional, yang melibatkan uang sebagai alat transaksi, terjadi hampir di belahan bumi Indonesia. Ia telah mejadi rahasia umum. Meskipun praktiknya dilarang secara hukum, namun sangat sulit dibuktikan. Hampir seluruh pengaduan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) mengadukan proses politik uang ini. Namun, sangat sedikit kasus-kasus ini terbukti secara hukum, walaupun sebenarnya pengaruhnya amat besar di lapangan.

Strukturasi Budaya Pemilih
Berdasarkan teori Giddens, praktik yang melibatkan agen dan norma yang berlangsung sedimikian rupa, akan membangun struktur baru yang kuat. Struktur sosial baru ini akan menjadi semacam nilai baru yang dipegang teguh oleh para agen di dalamnya. Dalam kontek politik transaksional ini, pertukaran uang dengan suara, jika berlangsung dalam interaksi intensif antar pemilih dengan kenyataan yang terlihat kasat mata di lapangan, akan membangun sistem politik yang transaktif pula. Ketika ia telah menstruktur,  maka politik transaksional akan menjadi nilai baru. Ia menjadi kebiasaan yang masing-masing orang di dalamnya “diharuskan” patuh terhadap norma baru itu. Jika itu benar-benar berlangsung, maka sesungguhnya politik tidak berubah banyak. Selama ini transaksi politik berlangsung hanya di gedung perwakilan rakyat, yang jumlahnya hanya puluhan orang saja, kini hanya berubah bentuk pada transaksi yang lebih luas.

Hakikat dukungan politik yang seharusnya berlangsung dalam lapangan ideologi, kali ini berlangsung dalam sistem pasar. Maka, akan terlihat pemilih yang digerakkan-bukan bergerak, dihimpun-bukan berhimpun, mencoblos tapi bukan memilih. Politik terasa hambar. Perolehan suara bukan usaha nyata yang telah ditorehkan sang calon dalam rekam jejak yang panjang. Dalam hitungan jam, bahkan menit, orang bisa mengubah pilihan akibat politik transaksi ini. Jika sudah begini, sia-sialah kajian para akademisi yang bersusah payah belajar ilmu politik, sosial, dan ekonomi. Rekam jejak tanpa cacat telah dikalahkan calon yang meskipun cacat tapi memiliki kemampuan membayar pemilih. Dalam jangka panjang, struktur ini akan mengajarkan kepada semua orang bahwa hampir tiada bermanfaat memiliki rekam jejak baik, tanpa memiliki kemampuan sumber dana yang memadai. Jika sudah seperti ini, ada benarnya kata Gandhi, aktivis kemanusiaan asal India, sebuah bangsa tidak akan maju jika politik di sana sudah tidak dilandasi ideologi yang kuat.

Berharap Invisible Hand
Invisible Hand adalah konsep sistem pasar yang terbentuk atas mekanisme yang berlangsung di dalam pasar itu sendiri. Adam Smith, Bapak ekonomi dunia yang memperkenalkan teori ini menyatakan  bahwa bila pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi keseimbangan di dalamnya. Kompetisi akan terjadi sedemikian rupa. Semua orang akan berlomba mencapai kesempurnaan produksi. Pasar akan teratur dengan sendirinya, meskipun ia dibiarkan bebas. Teori ini meskipun masih belum bisa diipelementasikan secara penuh, ia mengajarkan bahwa alam memiliki aturannya sendiri dalam mengatur diri sendiri. Kesenjangan dalam pasar akan tertutupi dalam jangka waktu tertentu, dan ia akan memulihkan diri secara sendiri. Itulah makna invisible hand, yang kadang-kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “tangan Tuhan”.

Bagaimana dalam dunia politik? Sesungguhnya, meskipun belum dikaji secara mendalam,invisible hand itu sudah Nampak. Beberapa contoh, seperti Pemilihan Gubernur Jakarta, pemilihan Bupati Tanjungjabung Barat, Pemilihan Bupati Merangin, dan yang teranyar pemilihan Wali Kota Jambi. Uang sepertinya tidak memiliki ruang gerak cukup untuk didistribusikan kepada pemilih. Alam politik sepertinya memiliki caranya sendiri dalam memulihkan diri dari praktik politik transaksional. Setidak pada proses Pemilukada pada beberapa daerah di atas terlihat praktik yang cukup nyata, bahwa tidak selamanya kepemilikan sumber dana yang besar akan memberi dampak besar pula pada keterpilihan seseorang. Bahwa perjuangan yang panjang nan melelahkan, serta rekam jejak yang baik telah memberi catatan penting betapa berartinya itu semua bagi pemilih. Pertanyaan besarnya, apakah invisible hand  itu akan mampir ke Kerinci 08 September nanti? Semoga!

*Dosen STAIN Kerinci, Direktur Lembaga Penelitian Idea Institute
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-adakah-invisible-hand-dalam-dunia-politik.html#

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2