Oleh: Yazirman Ilyas
Allah S.W.T. berfirman tentang puasa Ramadlan, Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al Baqarah: 183).
Ayat di atas pada substansinya adalah menjelaskan bahwa puasa Ramadlan adalah sebagai wujud kasih sayang Allah kepada kita, orang-orang beriman, agar kita selamat dalam perjalanan di dunia sampai akhirat, sehingga berakhir menjadi penduduk surgaNya. Hal itu, karena taqwa adalah syarat untuk masuk surga, dan surga hanyalah untuk orang-orang yang bertaqwa.
Dalam rangka MEWUJUDKAN HAKIKAT TAQWA, maka bila telah menyelesaikan ibadah puasa Ramadlan, tentunya memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kita. Hal ini karena ibadah Ramadlan yang salah satunya adalah berpuasa, memberikan nilai pembinaan yang sangat dalam, yakni mengokohkan dan memantapkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Sesuatu yang amat kita butuhkan dalam kehidupan di dunia ini.
Agar pencapaian peningkatan taqwa bisa kita raih dan dapat kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari, maka menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang sesungguh-nya. Ali bin Abi Thalib kw menjelaskan tentang taqwa, yaitu : Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at-tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia, dan ridlo (puas) dengan hidup seadanya (sedikit).
Dari ungkapan di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus ada pada diri kita masing-masing dan ini bisa menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadlan kita. Pertama, Takut Kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah swt. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah swt harus kita jauhi. Sedangkan Allah swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).
Karena itu, orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa tentu saja seseorang melakukan kesalahan, karenanya bila kesalahan dilakukan, dia segera bertaubat kepada Allah swt dan meminta maaf kepada orang yang dia bersalah kepadanya, bahkan bila ada hak orang lain yang diambilnya, maka dia mau mengembalikannya. Yang lebih hebat lagi, bila kesalahan yang dilakukan ada jenis hukumannya, maka iapun bersedia dihukum bahkan meminta dihukum sehingga ia tidak menghindar dari hukuman.
Allah swt berfirman : Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3] : 133).
Sebagai contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu karena kehamilan yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang menyebabkan kematiannya.
Saat Rasul menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan : Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah? (HR. Muslim).
Ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya mendidik kita untuk menjadi orang yang takut kepada Allah swt yang membuat kita akan selalu menyesuaikan diri dengan segala ketentuan-Nya. Kalau kita ukur dari sisi ini, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang belum bertaqwa karena tidak ada rasa takutnya kepada Allah swt.
Hakikat taqwa yang Kedua kata Ali bin Abi Thalib adalah Beramal Berdasarkan Wahyu. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt untuk menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu beramal atau melakukan sesuatu berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. Termasuk wahyu adalah hadits atau sunnah Rasulullah saw karena ucapan dan prilaku Nabi memang didasari oleh wahyu. Dengan kata lain, seseorang disebut bertaqwa bila melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu mengkaji al-Qur’an dan al Hadits, sebab bagaimana mungkin kita akan beramal sesuai dengannya, bila memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita bisa memahami bila membaca dan mengkajinya tidak.
Dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu, karenanya mereka berusaha mengkajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun berusaha untuk meninggalkannya.
Suatu ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari Sabtu dan menjalankan kitab taurat, tapi turun firman Allah swt yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, ayat itu adalah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqa-rah [2] : 208).
Ketiga yang merupakan hakikat taqwa menurut Ali bin Abi Thalib kw yang harus kita hasilkan dari ibadah Ramadlan kita adalah Mempersiapkan Diri Untuk Akhirat. Mati merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. Keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justeru awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan akhirat yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan kehidupan di akhirat.
Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan menyia-nyiakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, sebagai apapun kita. Karena itu bila kita tidak efektif dan orang mengkritik kita, harus kita terima kritik itu dengan senang hati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz salah satu contohnya. Ketika Umar bin Abdul Aziz telah menerima jabatan sebagai khalifah, dia merasa perlu beristirahat karena kondisi badannya yang sudah amat lelah dan mata yang sudah amat mengantuk, apalagi ia baru saja mengurus keluarganya yang meninggal yakni Khalifah Sulaiman. Baru saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan meletakkan kepalanya di atas bantal, tiba-tiba datang anaknya Abdul Malik lalu berkata : “Ayah, apa yang akan ayah lakukan sekarang?”.
“Aku ingin istirahat sejenak anakku”, jawab Umar. “Apakah ayah akan beristirahat, padahal ayah belum mengembalikan harta rakyat yang dirampas secara zalim kepada yang berhak?”. “Aku akan lakukan semua itu nanti setelah zuhur, semalam aku tidak bisa tidur karena mengurus pamanmu”, jawab Umar. “Ayah, siapa yang bisa memberi jaminan bahwa ayah akan tetap hidup sampai zuhur nanti?”. Tanya Abdul Malik lagi menghentak.
Mendengar pertanyaan anaknya itu, terbakar rasanya semangat Umar sehingga seperti hilang rasa ngantuk dan lelah yang dialaminya, lalu Umar berkata : “Nak…mendekatlah kepadaku”.
Setelah Abdul Malik mendekat, Umar mencium keningnya lalu berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku anak keturunan yang membantuku dalam agamaku”.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera bangkit dari tempat tidurnya dan iapun mengumumkan : “Barangsiapa yang hartanya telah diambil secara zalim, maka hendaklah ia mengangkat permasalahannya”.
Efektifitas waktu hidup yang digunakan membuat Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan mencari mustahik karena tingkat kesejahteraan yang tinggi. Harus kita akui banyak diantara kita yang merasa bahwa kematiannya masih lama, sehingga tidak muncul amal shaleh, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat maupun organisasi sosial dan politik, keluhan kita adalah tidak punya waktu, kekurangan waktu, karena itu Allah swt mengingatrkan kita semua: Katakanlah : Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS Al Kahfi [18] : 110).
Manakala seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana.
Karena itu, Rasulullah saw bersabda : Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal bagi kehidupan sesudah mati.
Hakikat taqwa yang Keempat menurut Ali bin Abi Thalib adalah Ridlo, meskipun Sedikit. Setiap kita pasti ingin mendapat sesuatu khususnya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa mencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridlo dan menerima apa yang diperolehnya meski pun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah. Sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal.
Karenanya Allah swt mengingatkan kita semua dalam firman-Nya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS Al Baqarah [2] : 188).
Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib baru pulang lebih sore dari biasanya. Isterinya, Fatimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya dengan suka cita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah, “Aku mohon maaf karena tidak membawa uang sepeserpun.”
Tidak nampak sedikitpun kekecewaan pada wajah Fatimah, bahkan ia tetap tersenyum dan bisa memaklumi keadaan suami yang dicintainya.
Ali amat terharu terhadap isterinya yang begitu tawakkal meskipun ia tidak bisa memasak malam itu karena memang tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak.
Ketika waktu shalat tiba, seperti biasa Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan shalat berjama’ah. Sepulang dari shalat, seorang yang sudah tua menghentikan langkahnya menuju rumah. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali, anaknya Abu Thalib?”, tanya orang itu.
“Betul”, jawab Ali heran.
Orang tua itu merogoh kantungnya seraya berkata, “Dulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”
Dengan amat gembira Ali mengambil uang itu yang berjumlah 30 dinar. Sesampai di rumah, Ali kemukakan kepada isterinya rizki yang tidak terduga itu. Tentu saja Fatimah sangat gembira ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung berangkat menuju pasar.
Ketika hampir tiba ke pasar, Ali melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepadaku, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.”
Tanpa berpikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu dan Ali pulang dengan tangan kosong. Tentu saja melihat sang suami pulang tidak bawa apa-apa, Fatimah terheran-heran. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya dan ini justeru membuat Fatimah begitu terharu terhadap sang suami.
Dengan diiringi senyum yang manis, Fatimah berkata : “Apa yang engkau lakukan juga akan aku lakukan seandainya aku yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya.”
Sikap menerima membuat kita bisa bersyukur dan bersyukur membuat kita akan memperoleh rizki dalam jumlah yang lebih banyak, bahkan bila jumlahnya belum juga lebih banyak, rasa syukur membuat kita bisa merasakan sesuatu yang sedikit terasa seperti banyak sehingga yang merasakan manfaatnya tidak hanya kita dan keluarga tapi juga orang lain. Inilah diantara makna yang harus kita tangkap dari firman Allah swt: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14] : 7).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar