Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Selasa, 30 Juli 2013

Hutan Adat Dalam Putusan MK

Dr. Helmi, S. H., M. H.
Oleh: Dr. Helmi, S. H., M. H.*
Hakim konstitusi pada 16 Mei 2013 mengabulkan sebagian gugatan uji materi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu Kepri, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu Banten terhadap ketentuan mengenai hutan adat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebuah kemenangan besar atas perjuangan Aman dan beberapa komunitas masyarakat hukum di Indonesia selama belasan tahun. Berdasarkan putusan tersebut, hutan adat tidak lagi menjadi bagian hutan Negara. Melainkan merupakan hutan hak yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat. 

Pasal 1 angka 6 yang semula menyatakan “Hutan Adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Artinya, sejak saat itu (16/5/2013) hutan adat tidak lagi bagian dari hutan Negara melainkan hutan hak yang subyek pengelolanya masyarakat hukum adat.

Walaupun putusan ini tidak berlaku surut, namun pengakuan atas tafsir konstitusi ini, memberikan landasan bagi masyarakat hukum adat untuk mengembalikan hak-hak mereka atas hutan adat. Mereka mendapat amunisi untuk merebut kembali kawasan-kawasan hutan yang dianggap sebagai hak-hak masyarakat hukum akibat implementasi Pasal 1 angka 6 dalam aktivitas kehutanan di Indonesia selama ini. 

Klaim atas Hutan Adat pada Hutan Negara
Pasca putusan ini, klaim atas hutan adat akan semakin kuat terhadap kawasan hutan Negara. Pertama, seluruh taman nasional yang notabene merupakan hutan Negara akan menjadi objek sengketa antara masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lainnya dan dengan pemerintah sebagai pemangku kewenangan. Kedua, kawasan konsesi perusahaan pemegang izin usaha bidang kehutanan dan pertambangan yang selama ini menjadi objek konflik dengan masyarakat hukum adat. 

Kedua kutub klaim di atas yakni taman nasional dan kawasan konsesi izin bermula pada produk hukum pemerintahan yang selama ini dipandang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat hukum adat ketika menjadikan suatu kawasan sebagai taman nasional. Bahkan seringkali tidak dianggap ketika investor asing menawarkan modal untuk membuka usaha kehutanan dan pertambangan di Indonesia. Akibatnya kawasan hutan adat yang merupakan hutan hak secara hukum sudah tidak ada lagi. Namun, berbekal putusan MK ini, letusan intensitas konflik antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah/pemerintah daerah dan pemegang izin akan semakin tinggi. 

Negara ini bisa bubar jika pemerintah dan pemerintah daerah tidak segera melakukan langkah hukum menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi di atas. Tidak bisa dibayangkan ketika masyarakat hukum adat serta merta menganggap seluruh kawasan hutan Negara dan konsesi perusahaan pemegang izin merupakan kawasan hutan adat. Perusahaan tentu tidak tinggal diam, karena kewajiban mereka mempertahankan kawasan izin sesuai dengan dictum SK izin yang diperoleh. Pengamanan legal dilakukan, bahkan dengan cara kekerasan sekalipun. Di pihak lain, semangat juang masyarakat semakin berkobar mempertahankan hak yang sebagian besar dilatar belakangi warisan dan religius magis. 

Perlu Langkah Strategis
Mengantisipasi terjadi peningkatan konflik, beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pertama, identifikasi seluruh kawasan hutan Negara berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasca putusan Mahkamah Konstitusi yakni hutan yang tidak dibebani hak dan tidak termasuk hutan adat. Untuk memperoleh data dan infromasi akurat dan seimbang, maka identifikasi harus melibatkan masyarakat dan perusahaan. Dalam kerangka lebih luas, hasil identifikasi dijadikan sebagai upaya penataan kehutanan. Sebab selama ini data kawasan hutan di Indonesia yang secara resmi dijadikan pedoman adalah kawasan hasil padu serasi antara Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1992. Padu serasi saat itu dilakukan sebagai implikasi berlakunya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang terhadap UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Padahal kedua UU ini telah dicabut dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 

Langkah strategis kedua, yakni pemetaan kawasan konflik yang selama ini oleh masyarakat dianggap sebagai kawasan hutan adat atau wilayah kelola adat. Fakta, bahwa konflik bidang kehutanan terjadi sepihak. Pemerintah dan perusahaan menganggap suatu kawasan bukan konflik oleh karena merupakan hutan Negara atau kawasan konsesi izin. Sementara klaim masyarakat dinyatakan berdasarkan bukti historis,  aspek legal, dan situasi social ekonomi, seperti keberadaan masyarakat adat, perkembangan desa dan migrasi penduduk. 

Situasi ini menyebabkan masyarakat hukum adat dengan pengusaha dan pemerintah berhadap-hadapan. Penyelesaian melalui pengadilan yang diandalkan oleh pemerintah dan perusahaan justeru menjadikan konflik semakin membesar. Masyarakat senantiasa di pihak yang lemah ketika berhadapan dengan hukum tertulis yang dijadikan alas hak perusahaan dan dasar hukum bagi pemerintah menyatakan suatu kawasan merupakan hutan Negara. 

Ketiga, kebijaksanaan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pemisahan konsepsi hutan adat dari hutan Negara, berimplikasi hukum pada keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia, karena menjadi prasyarat pengelolaan hutan adat itu sendiri. Saat ini yang tersisa adalah komunitas-komunitas tertentu yang terdiri dari beberapa desa. Tidak ada lagi wilayah masyarakat hukum adat yang secara hukum masih utuh seperti sebelum tahun 1979. Padahal, pertimbangan hakim pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, jika keberadaan masyarakat hukum adat tidak “hidup” lagi, hak pengelolaan atas hutan adat juga kembali kepada Negara. Artinya status hutan adat menjadi hutan Negara.
   
Konstruksi dan fakta hukum ini menimbulkan kerancuan. Di satu sisi pengakuan hutan adat terpisah dari hutan negara, tapi disisi lain keberadaan masyarakat hukum adat sulit dibuktikan jika harus kembali seperti sebelum 1979. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan pemerintah dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat. Komunitas-komunitas adat yang terdiri dari beberapa desa saat ini, sudah bisa dianggap sebagai masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup. Yakni masih sangat tergantung dengan hutan adat, memiliki kelembagaan adat seperti peradilan adat dan memiliki wilayah adat yang meliputi beberapa desa yang ada saat ini. 

Keempat, pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Tahun 2002, sebenarnya sudah ada Rancangan PP tentang Hutan Adat, namun sampai saat ini RPP dimaksud tidak kunjung disahkan oleh Presiden. Momentum ini sangat tepat, sebagai bentuk konsistensi pemerintah melaksanakan putusan MK.  

Keempat hal di atas menjadi rujukan pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan dan menetapkan kawasan hutan adat. Bagaimanapun juga kawasan hutan adat harus ditetapkan oleh Pemerintah. Artinya, putusan MK ini tidak serta merta menjadikan masyarakat hukum adat bisa menyatakan suatu kawasan sebagai hutan adat. Pengukuhan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat tetap harus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini diperlukan untuk melindungi hutan adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri. 

 *Doktor bidang Hukum Lingkungan, pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Jambi
Dimuat di Harian Kompas 4 Juli 2013

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2