Bulan Ramadan sudah di depan mata. Berbagai program sudah mulai diagendakan. Mulai dari anggaran belanja Ramadan, menghafal doa-doa puasa, ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca dalam shalat tarawih, bersih-bersih rumah dan bahkan sampai tradisi-tradisi khas daerah ikut mewarnai dalam menyambut bulan penuh berkah ini.
Menjelang Ramadan banyak kaum Muslimin yang berziarah ke kubur, nyekar dan kalau di Jawa dikenal dengan istilah ‘nyadran’, dan lain-lain. Selain itu, juga ada tradisi-religius,seperti baca tahlil, yasinan, selamatan, unggahan , dll yang sengaja untuk menyambut tamu agung ini.
Kalau baca tahlil, yasinan tentu itu tidak aneh, tidak perlu ada komentar tentang arti dan kedudukannya dalam syariat Islam. Siapapun orangnya, sebagai Muslim wajib bertahlil. Tahlil dalam arti meng-Esakan Allah SWT, baik secara lisan, prilaku maupun dalam qalbu. Muslim dari ormas manapun, NU, Persis, Muhammadiyah, maupun Muslim yang tak masuk dalam afiliasi ormas Islam. Bahkan, Prof.Amien Rais, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah pernah menyatakan :” Orang Muhammadiyah yang tidak bertahlil itu muhammadiyahnya palsu”. Artinya, walaupun ormas yang sering mengkritisi ‘tradisi tahlil’ ini, Muhammadiyah tetap comited bahwa bertahlil adalah aqidah pokok dalam Islam, tanpa bertahlil, Islamnya perlu dipertanyakan.
Pertanyaannya, dalam rangka menyambut puasa Ramadan, apakah ada anjuran khusus untuk melakukan ritual-ritual atau ibadah khusus, seperti nyekar, atau nyadran, ziarah kubur, uanggahan,dan lainnya ? Inilah pertanyaan yang perlu kita ketahui jawabannya. Apakah dianjurkan atau justru bid’ah yang dilarang dalam syariat Islam ?.
Persiapan Mental
Sepengetahuan penulis dalam al-Qur’an maupun hadits, belum ditemukan tuntunan khusus tentang persiapan dalam bentuk ritual atau ibadah khusus dalam menghadapi bulan Ramadan. Belum penulis temukan ayat al-Qur’an maupun Hadits yang menganjurkan secara khusus untuk melakukan tradisi atau ritual seperti nyekar, nyadran, dan ritual lainnya.. Yang paling mungkin adalah persiapan mental saja, karena akan berpuasa selama sebulan penuh. Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an :” Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. ( S.al-Baqarah : 183).
Ayat al-Qur’an ini sebagai landasan wajibnya puasa Ramadan bagi Mukmin dan sekaligus diperkuat dengan informasi bahwa puasa Ramadan juga pernah diperintahkan kepada umat sebelum kita umat Islam. Ayat ini untuk memberikan persiapan mental kepada umat Islam, bahwa puasa ini memang bukan hanya kewajiban orang Islam sekarang, tapi juga kewajiban orang-orang dahulu. Sehingga dengan merenungi ayat ini, maka ada perasaan ringan ketika umat Islam mengerjakan puasa karena umat yang terdahulu juga sudah berpuasa. Andaikan sekarang merasa berat, kenapa orang dulu toh bisa melaksanakannya. Nah itulah persiapan mental secara psikologis.
Selain persiapan mental juga adalah persiapan ilmunya seperti : rukun-rukun puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, waktu puasa, amalan-amalan sunnah dalam berpuasa,dan sebagainya. Dan terkait persiapan ilmu ini sebenarnya bukan hanya masalah puasa tapi juga yang lainnya seperti shalat kita diwajibkan untuk mengetahui ilmunya. Dengan mengetahui ilmunyalah kita bisa melaksanakan ibadah puasa ini dengan benar.
Lalu bagaimana dengan tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat di beberapa daerah seperti nyekar, nyadran dan berduyun-duyun ke makam kuburan dalam menghadapi bulan Ramadan ?. Tradisi menghadapi bulan Ramadan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya berbeda-beda. Di Jawa dikenal dengan tradisi nyadran. Kenyataannya apa yang disebut dengan nyadran itu adalah menziarahi makam-makam orang tua dan sebagainya. Ziarah ke makam merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Dan sebenarnya ziarah ke makam itu tidak hanya menjelang Ramadan. Kapan saja. Menjelang Ramadan boleh, pada bulan Ramadan boleh. Di luar Ramadan pun juga tetap dianjurkan. Nabi saw sendiri pernah ziarah ke makam ibundanya Siti Aminah.
Nah kalau nyekar itu berasal dari kata sekar, yang berarti bunga. Maka nyekar berarti menaburkan bunga di makam leluhur atau orang tua dan sebagainya. Tradisi nyekar, nyadran dan tradisi-tradisi lainnya di beberapa lingkungan di masyarakat Indonesia, jika subtansinya selagi tidak mengandung hal-hal syirik itu tidak apa-apa. Itu dibenarkan menurut ajaran Islam. Ziarah ke makam orang tua, kerabat dan sebagainya dan kemudian mendoakannya itu sesuatu yang dianjurkan dalam Islam.
Nyekar atau menaburkan bunga di atas makam itu dapat dikiyaskan kepada apa yang pernah dilakukan Nabi. Nabi Muhammad saw pernah menancapkan pelepah pohon kurma diatas kuburan dua orang yang menurut Rasulullah sedang disiksa dalam kuburnya. Ketika ditanya kenapa wahai Rasulullah menancapkan pelepah kurma. Rasulullah saw menjawab:pelepah kurma ini akan bertasbih kepada penghuni kubur dan meringankan siksa mereka di kubur selama pelepah kurma itu masih basah.
Jauhi Bid’ah
Umat Islam memang sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal-amal shalih sebagai bekal dan investasi di akhirat kelak. Tanpa beribadah dan beramal shalih, seseorang tidak akan mendapat pahala dan sekaligus merupakan pengingkaran kepada Khaliqnya. Bahkan diciptakannya jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Apapaun kegiatannya, hendaklah berorientasi pada ibadah dan taqarrub hanya kepada-Nya. Masalahnya, dalam Islam telah diatur kaidah dan rumus-rumusnya, agar ibadah dan amal shalih kita tidak keluar dari syariah Islam yang justru dinilai bid’ah, suatu perbuatan yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ancaman terhadap bid’ah dan ahli bid’ah itu amat keras. Banyak ayat-ayat al-Qur’an secara tidak langsung, begitu juga hadits-hadits Nabi dengan cara langsung mengancam terhadap bid’ah dan ahli bid’ah. Sampai ada sebuah hadits mengatakan bahwa ahli bid’ah itu anjing neraka. Dalam hadits yang lain Nabi saw bersabda :” Allah enggan menerima ibadat ahli bid’ah, kecuali kalau ia sudah meningalkan bid’ahnya itu”. (HR.Ibn Majah).
Dalah hadits yang lain Nabi saw bersabda :”Barang siapa yang mengerjakan amal ibadah yang tidak kami perintahkan, maka amalnya itu ditolak” ( HR.Muslim dari ‘Aisyah ). Dan masih banyak hadits yang lain yang mengecam pembuat bid’ah.
Agar kita tidak bingung dan tidak terjebak dalam bid’ah, perlu kita mengetahui selintas definisi bid’ah. Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam seorang Ulama terbesar dalam lingkungan madzhab Syafi’I ( Wafat 660 H) menerangkan dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam”, begini : “Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw”. Dan Imam Syafi’i pernah berkata :” Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi” ( Fathul Bari, Juz XVII hal.10).
Rumus yang paling mudah terkait dengan bid’ah adalah : Bid’ah adalah mengada-ada, membuat hal yang baru dalam keagamaan, yakni dalam bidang aqidah dan ibadah mahdhoh. Dan jika terkait masalah mu’amalah, keduniaan tidak ada larangan bahkan dianjurkan oleh Islam selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun sunnah Rasul.
Untuk itu, wahai Saudaraku, dalam melakukan tradisi-tradisi atau ritual-ritual seperti nyadran, nyekar, ziarah kubur,hendaklah jangan sampai terbalut dengan syirik . Niati berziarah kubur dan berdoa mengikuti sunnah Nabi.
Begitu halnya tradisi yang sudah berlaku di tengah masyarakat seperti niga hari, nujuh hari, empat puluh hari dalam ta’ziyah kematian dengan membaca tahlil, yasinan, doa’, boleh dilaksanakan selama niatnya ditekankan ( taharri) pada bacaan tahlil, yasinan dan doa. Jika niatnya penekannya pada ‘niga hari, nujuh hari dstnya’ tidak dikenal dalam Islam, untuk itu masuk kategori bid’ah yang dilarang syariah Islam. Wallaahu A’lam Bisshowab.
*Penulis adalah Muballigh di Kuala Tungkal
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-menyikapi-tradisi-menjelang-ramadan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar