Sejarah reformasi identik dengan perjuangan heroik mahasiswa tanpa pamrih dengan pengorbanan jiwa, darah dan air mata, demi sebuah perubahan. Perjuangan mana telah mencapai tujuan awalnya pada tanggal 21 Mei 1998 dengan lengsernya pak Harto dari tampuk kekuasaan RI, sekaligus mengakhiri hegemoni 32 tahun kekuasaan orde baru. Pergantian rezim dari orde baru ke orde reformasi disambut gegap gempita. Pekik histeris kegirangan membahana di seantero nusantara disertai sebuah mimpi besar, negeri “Utopia” Negeri gemah ripah loh jinawi. Dan para pemimpin reformasi dituntut menjadi “Ratu Adil” untuk mewujudkan impian besar itu.
Peristiwa bersejarah di atas sudah lebih dari 15 tahun berlalu, tapi sampai kini belum tampak adanya signifikansi kemajuan, khususnya pada sisi penegakan hukum. Bangsa ini seakan segan dak tak kuasa beranjak dari posisinya semula. Bahkan sekelompok masyarakat marginal menilai bahwa negeri ini sesungguhnya sedang “Set Back” kondisinya lebih buruk dari 32 tahun Pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan pak Harto. Kesan yang terasa cukup mewakili kelompok pesimistis.
Di sini penulis tidak bermaksud mendiskusikan benar tidaknya asumsi kelompok marginal tadi, melainkan hanya ingin memercikkan setetes harapan untuk membangunkan warga bangsa ini dari kondisi “hibernasinya” akibat evoria reformansi. Kiranya kita dapat tersadar dan bangkit menjauhi “mimbar” sengketa untuk kemudian fokus menata masa depan bangsa dengan sinergi semangat kebersamaan.
Potensi konflik di negeri ini diperparah oleh sistem pilkada langsung yang begitu rentan menyuluk amuk massa. Konflikpun mulai merambah zona vertikal. Hal ini terbukti dengan adanya serangan terhadap simbol-simbol kenegaraan seperti, Mapolsek, Kejaksaan, Kantor PEMDA dan lain-lainnya. Rentetan kejadian yang terus berlanjut menimbulkan kecemasan masyarakat bahwa boleh jadi semangat kebersamaan kita sebagai bangsa yang bersatu di negeri pancasila ini memang mulai tergerus, pudar dan luntur.
Penulis sendiri belum mencemaskan hal tersebut sebab tetap percaya bahwa semangat kebersamaan kita sebagai bangsa bukan saja masih ada tetapi juga masih sangat kuat. Fenomena kekerasan yang akhir-akhir ini kerap dipertontonkan warga, hanyalah sebentuk ekspressi spontanitas akibat lemahnya penegakan hukum dan ketidak mampuan menghalau emosi, bukan semangat laten dari karakter bangsa ini.
Sejarah telah mencatat bahwa Pluralisme dan heterogenitas masyarakat kita terbangun di atas semangat kemajemukan dan rasa tepaselira. Semangat tersebut telah menjadi pondasi berbangsa dan bernegara yang kita kenal dengan “bhinneka Tunggal Ika”.
Diakui adanya anomalisosial di era reformasi ini bahwa seyogiyanya reformasi menciptakan suasana hidup yang lebih aman, nyaman dan tertib, ternyata menyumbang konflik sosial yang meresahkan dan melelahkan. Ironisnya transformasi nilai menimbulkan penyimpangan dan distorsi yang dilematis. Di satu sisi terdapat kelompok masyarakat - entah karena evoria kebebasan atau karena arogansi sosial- seringkali mendesakkan penyelesaian kasus hukum secara instan dan illegal. Sementara pemerintah pada sisi lain berkewajiban menegakkan hukum dengan benar dan harus melalui proses hukum yang benar pula ( Law inforcement do process of law) Disvaritas ini harus dijembatani, jika tidak, akan tetap berpotensi menjadi sumber konflik yang sangat mungkin eskalasinya akan terus meningkat menjelang PEMILU tahun 2014 mendatang.
Secara substansial, reformasi sesungguhnya menawarkan semangat kebebasan yang berkarakter, beradab dan bertanggung jawab. Tetapi karena “angin segar”ini dihembuskan ditengah masyarakat yang baru saja terbebas dari cengkraman”Hegemoni oligarki” dan belum dibekali kesiapan mental yang memadai untuk mengontrol diri, maka hasil yang dituai adalah evoria dan anarkisme. Moment reformasi yang kudu menjadi momentum rekonsiliasi justeru berubah tak terkendali menjadi arena pelampiasan dan balas dendam. Maka yang diuntungkan adalah kelompok mafia, geng-geng liar dan premanisme. Merekalah yang eksis tampil kedepan dengan bersembunyi di balik kedok LSM, ormas, kelompok adat, paguyuban dan sebagainya, berkamuflase memperkosa hukum. Akibatnya ialah ketidakstabilan sosial dan ancaman chaos. Pada kondisi sosial seperti ini dapat dipastikan bahwa sistem pemerintahan manapun dan oleh pemimpin se genius apapun, tanpa menggunakan “tangan besi” tidak akan efektif dan sanggup menciptakan stabilitas dalam masyarakat.
BJ.Habibie, presiden pertama era reformasi. Siapa yang tak kenal beliau ? Tak ada yang menyangsikan integritas, kredibilitas dan kapabilitas tokoh genius asal bugis ini. Tetapi ternyata kegeniusan beliau tidak “matching” dan gagal menjinakkan konflik pada masanya. Gusdur, Megawati dan SBY, mereka adalah putra-putri terbaik bangsa, berintegritas tinggi, cerdas dan visioner. Tapi mereka semua juga gagal menghentikan konflik. Konflik tetap saja meletup-letup bak “pop corn” dalam panci penggorengan.
Lalu apa yang salah pada bangsa ini dan dimana letak salahnya ? Tampaknya tidak ada jawaban instan untuk pertanyaan di atas.
Tapi mencermati tipologi konflik, kita mestinya mengambil sikap dan menentukan pilihan. Tidak hanya apatis membiarkan kondisi ini terus berlanjut, tapi mendorong pemerintah segera menetapkan status tertib sipil demi tegaknya supremasi hukum. sayangnya kedua alternatif tersebut kontradiktif dengan semangat reformasi. Oleh karenanya diperlukan terobosan baru yang lebih elegan yaitu merubah pola pikir (Mindset) kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Paradigma lama yang terlalu menekankan pentingnya belajar menjadi pemimpin yang baik, sudah saatnya kita ubah dengan sebuah paradigm baru dengan menekankan pentingnya belajar untuk dapat dipimpin dengan baik. Mengerti cara untuk dapat dipimpin dengan baik adalah esensi dari nilai demokrasi yang sesungguhnya. Yakni pemimpin dan yang dipimpin equal tunduk hanya pada hukum (rule of law) bukan pada tekanan orang perorang atau kelompok tertentu (rule of the jungle) dengan cara brutalitas.
Kiranya cukup bijak jika kita dapat melihat dan menempatkan demokrasi dan hukum sebagai satu kesatuan yang utuh. Ibarat sejoli, jiwa dan raga yang tak boleh dipisahkan. Tanpa hukum, maka demokrasi hanyalah slogan kosong. Prinsip demokrasi adalah “Agree in disagreement” sedangkan hukum menganut falsafah “Opus Supremus” Demokrasi mengakomodir keragaman dan perbedaan, sedangkan hukum menjadi hakim adil yang hadir setiap saat sebagai panglima dan berdiri tegak persis di tengah-tengah keragaman dan perbedaan itu. Sipat equalitas hukum menjamin azas keadilan bagi semua, sehingga setiap warga akan terayomi secara proporsional. Sipat egalitarian ini pulalah yang menjadi “ rohnya” sebuah Negara demokrasi.
Kita telah menyaksikan bahwa telah cukup banyak pemimpin cerdas yang dilahirkan di negeri ini dan telah silih berganti menjadi pemimpin dalam berbagai level, tapi karena tidak diimbangi oleh kecerdasan warga untuk dapat dipimpin dengan baik, maka kecerdasan mereka kehilangan korelasi dan kohesinya sehingga pada akhirnya kebanyakan mereka terjebak dan kandas di tengah jalan.
Mari sejenak kita lirik sekilas perjalanan tokoh-tokoh penting negeri ini, seperti, Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie Gusdur dan Mbak Mega. Mereka semua adalah tokoh-tokoh besar yang cerdas dan visioner, tetapi mereka semua ternyata gagal meraih sukses dalam kepemimpinannya dan mengakhiri jabatannya dengan kekecewaan. Lalu bagaimana denga Pak SBY sekarang ? Agaknya waktu nanti yang akan menjawab. Yang pasti beliau termasuk salah seorang kandidat calon penerima gelar “pemimpin yang sukses meraih kegagalan” persis seperti gelar yang pernah diraih oleh para pendahulunya.
Pertanyaan besarnya sekarang adalah, mengapa pemimpin kaliber dunia seperti mereka itu, terseok-seok dan gagal memimpin dengan baik di negerinya sendiri ? Jawabannya terpulang kepada para pembaca masing-masing. Penulis sendiri berkeyakinan bahwa bukan mereka yang gagal, tapi kita semua, kaum kawula yang belum pandai menempatkan diri secara proporsional untuk dapat dipimpin dengan baik.
Oleh karenanya, penulis mengajak, mari dari sekarang, dari diri kita sendiri kita mulai belajar menempatkan diri sebaik-baiknya secara proporsional sebagai anak bangsa yang cerdas, yang bukan hanya berusaha menjadi pemimpin yang baik tetapi sekaligus berusaha untuk dapat dipimpin dengan baik. Yaitu mematuhi aturan hukum serta menyerahkan segala persoalan silang sengketa- yang tak sanggup diselesaikan secara kekeluargaan- ke ranah hukum demi tegaknya hukum di Negara hukum ini.
*Penulis adalah anggota DPRD kab. Muaro Jambi, Alumni IAIN STS Jambi
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-menyikapi-konflik-dengan-paradigma-baru.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar