Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 15 Juli 2013

BMT, UMKM dan Ekonomi Kreatif

Suwardi
(Solusi Konstruktif dalam Penguatan Ekonomi Kerakyatan Perspektif Syariah)
Oleh: Suwardi*
Angka kemiskinan di Indonesia yang masih sangat tinggi yaitu mencapai 14,15 % 2010 atau 31,02 juta orang. Sehingga agenda pengentasan kemiskinan bukan persoalan bagaimana mengalokasikan anggaran namun memfasilitasi mereka untuk mampu terus menjalankan sektor-sektor usaha mikro.

Berdasarkan pengalaman empiris membuktikan bahwa sektor mikro merupakan sektor usaha yang dominan di Indonesia dan berdasarkan data kementrian Koperasi dan UKM jumlahnya mencapai 99% dari pelaku usaha di Indonesia. Problematika besar yang dihadapi oleh sektor mikro adalah pada akses permodalan. Bagi perbankan usaha mikro tidak layak dibiayai karena tidak memiliki legalitas yang jelas dan agunan yang memadai. Persoalan inilah yang mendorong lahirnya gerakan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) yang merupakan lembaga keuangan mikro berbasis syariah yang mengambil peran untuk melayani sektor mikro. Namun apa sebenarnya Baitul Maal wat Tamwil dalam konteks keuangan moderen yang memiliki peran sebagai lembaga keuangan mikro untuk mengentaskan kemiskinan.

Mengenal BMT
Sistem ekonomi tidak dapat dipisahkan dari lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yang sangat dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu eksistensi lembaga keuangan khususnya sektor perbankan menempati posisi sangat strategis dalam menjembatani kebutuhan modal kerja dan investasi di sektor riil dengan pemilik dana (agent of economic development).

Akan tetapi berbagai permasalahan telah ditimbulkan oleh lembaga keuangan selama ini. Diantaranya adalah permasalahan krisis keuangan yang berdampak pada krisis ekonomi. Selama ini terjadi (krisis keuangan) adalah akibat dari krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga sebagai sistem ribawi yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan disinyalir berpotensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), yang semuanya itu berpengaruh negatif pada kehidupan sektor riil.

Sebagai salah satu kritik Islam terhadap praktik lembaga keuangan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama risiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang  fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.

Oleh  karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung risikonya (al ghunmu bi laa ghurmi/againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).

Sistem bunga dianggap tidak adil karena menetapkan keuntungan (penghasilan) tertentu terhadap uang yang dipinjamkan, padahal usaha yang dijalankan mengandung kemungkinan untung ataupun rugi. Sedangkan bagi hasil dinilai lebih berkeadilan, sebab memperhitungkan kedua kemungkinan tersebut. Menurut para ekonom muslim, setiap usaha pastilah mengandung risiko, dan sistem pembungaan dikecam karena menafikkan risiko. Oleh karena itu, hasil usaha yang wajar bersifat tidak tetap (variable rate of return) sebab usah tidak mesti untung, adakalanya merugi. Sementara hasil usaha yang bersifat tetap (fixed rate of return), seperti dalam sistem pembungaan uang dinilai tidak wajar.

Atas dasar itulah ulama kontemporer menawarkan alternatif lembaga keuangan yang bebas riba (baca : bunga) dalam bentuk lembaga keuangan makro (baca : Bank Syariah) maupun mikro (Baca : Baitul Maal wat Tamwil). Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Pertama, Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) – melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

Sebagai lembaga intermediary financial, BMT memiliki kegiatan utama berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui simpanan dalam tabungan, yang menggunakan prinsip wadi’ah yad dhamanah (titipan). Kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam berbagai bentuk skim pembiayaan, seperti skim jual beli (Murabahah, salam, dan Istisna’), sewa (Ijarah), dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), serta produk pelengkap, yakni fee based service, rahn (gadai), qard (utang-piutang), wakalah (perwakilan).

Selain itu BMT memiliki peranan yang diharapkan akan memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan. Pertama, BMT akan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada gilirannya membantu mengatasi kesenjangan ekonomi dan membantu pemulihan krisis ekonomi Indonesia. Kedua, BMT akan mampu menjadi landasan pembangunan koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat yang tangguh dan mengakar dalam masyarakat. Ketiga, BMT secara signifikan mendukung gerakan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan oleh pemerintah. Sehingga BMT akan mampu berkembang menjadi usaha ekonomi rakyat melalui pengembangan kewiraswastaan. Keempat, BMT dapat terlibat penuh dalam program nasioal dalam meningkatkan kemampuan dan peran usaha kecil, karena BMT secara signifikan memberi modal usaha kepada pengusaha kecil di samping memberikan pembinaan manajerial.

Dalam kontekstualitas perannya sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT selaras dengan jiwa perekonomian Indonesia yang cenderung dijalankan dengan sistem gotong royong, paguyuban dan atau sistem kekeluargaan dengan Koperasi sebagai simbol sistem perekonomian Indonesia. Oleh karenanya, sektor ekonomi yang layak disandingkan dengan BMT adalah UMKM. Prioritas yang diberikan kepada nasabah UMKM baru agar mereka memiliki rekam kredit (credit record) yang baik sehingga rencana bisnisnya bisa lebih layak (feasible) dan sekaligus bisa masuk sebagai kategori usaha yang layak memperoleh pinjaman dari bank (bankable).

Kenapa Harus UMKM?
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan Krisis 1997/1998 maupun 2008/2009 yang lalu menunjukkan bahwa UMKM telah terbukti sebagai usaha kerakyatan yang mandiri dan mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi krisis tersebut.  Merupakan tiang penyerap utama tenaga kerja di Indonesia. Karena itu, Pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia.

Selain itu, kontribusi UMKM Terhadap Perekonomian menunjukkan bahwa  jumlah pelaku UKM  sebanyak 51,3 juta unit usaha atau 99,91 persen dari seluruh jumlah pelaku usaha di Indonesia. Jumlah tenaga kerjanya mencapai 90,9 juta pekerja atau sebanding dengan 97,1 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia.  Nilai investasi UKM  mencapai Rp 640,4 triliun atau 52,9 persen dari total investasi. Menghasilkan devisa sebesar Rp 183,8 triliun atau 20,2% dari jumlah devisa Indonesia. Pertumbuhan kredit yang disalurkan kepada UMKM sering lebih tinggi dari yang disalurkan ke non-UMKM.  Sampai dengan November 2010 pertumbuhan kredit UMKM mencapai 25,1%, lebih tinggi dari non-UMKM yang hanya 18,9%. Artinya, kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi 2010 tidak dapat diabaikan.

Dari data tersebut di atas, sangatlah jelas jika UMKM memiliki peranan penting dalam posisinya sebagai penopang pembangunan Ekonomi Indonesia. Dilain pihak iklim investasi perbankan yang juga masih jauh dari menyentuh level usaha-usaha mikro yang dijalankan oleh masyarakat muslim kelas menengah kebawah, padahal jumlah masyarakat miskin ini sangat banyak, sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut selayaknya menjadi isu utama dalam penguatan ekonomi kerakyatan dengan pendekatan Baitul maal wat Tamwil, yang menjalankan sistemnya bebas bunga, lebih berkeadilan dan berbagi risiko.

Disamping itu juga konsep pendirian BMT yang diselaraskan dengan perlakuan sistem koperasi di Indonesia, dimana dibutuhkan keanggotaan aktif di dalam manajemennya menghadirkan dampak positif jika diberdayakan dengan pendekatan manajemen syariah pula. Dimana setiap Sumber Daya Insani dituntut untuk dapat berkreativitas menciptakan sumber-sumber ekonomi produktif yang menghasilkan.

Pemberdayaan UMKM yang selama ini masih bersifat konvensional dengan sedikit varian pemberian kredit kepada pelaku usaha UMKM di Indonesia, dengan menjadikan BMT sebagai lembaga alternatif dan bahkan pilihan solusi dalam penguatan ekonomi kerakyatan berbasis syariah sejatinya lebih menguntungkan karena banyaknya pilihan akad dan produk pembiayaan untuk dapat mendampingi pelaku usaha kecil dan menengah dalam berinovasi dan berkreativitas dalam menghasilkan produk-produk daerah bernilai ekonomi tinggi.

Struktur Fasilitas BMT dan Ekonomi Kreatif
Mengingat fasilitas pembiayaan dengan berbagai macam akad yang ditawarkan oleh BMT sebagai lembaga keuangan mikro penyalur pembiayaan berbasis syariah, sejatinya mampu melahirkan kekuatan ekonomi baru dengan menghadirkan kreativitas berekonomi dan berbisnis. Sebagai contoh, pelaku usaha selaku mudharib yang tidak memiliki modal usaha namun memiliki keahlian tinggi dalam menciptakan laba usaha dan bisnis dapat dibiayai seratus persen oleh shahibul maal (baca : BMT), atau dengan pendekatan musyarakah, dan sejenisnya. Artinya, kreativitas bisnis dalam lingkup usaha micro economic dapat seiring sejalan diberdayakan dengan adanya semangat membangun ekonomi berbasis syariah yang berkeadilan dan menguntungkan melalui lembaga BMT.

BMT pun dalam berbagai literatur karya ilmiah moderen yang dihasilkan melalui riset secara berkala oleh para sarjana muslim kita dewasa ini telah menunjukkan jika BMT telah mampu menggerakkan roda ekonomi kerakyatan, dan menciptakan kreativitas produk ekonomi baru di dunia industri rumah tangga dan sebagainya.

Bahkan tim ekonomi Chicago terkagum dengan keampuhan atas peran BMT dalam menopang ekonomi masyarakat lemah dalam membangun ekonomi negara, dan menciptakan kesejahteraan rakyat dan akan menerapkannya di negara mereka. Bagaimana dengan Indonesia ? adakah pemerintah kita memiliki komitmen yang sama dengan komitmen ekonom Chicago ? hanya waktu dan keberanian pemimpin negeri ini untuk meninggalkan sistem ekonomi ribawi yang usang dan menggantikannya dengan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan. Semoga....

*Penulis adalah Pendiri sekaligus Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi-Politik Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization. Pendiri dan Ketua Ikatan Alumni Ekonomi Syariah IAIN STS Jambi. Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah Pekan Baru – Riau. Pendiri dan Wakil Direktur Yayasan Madani Insan Sejahtera. Pendiri dan Mantan Sekretaris Forum Studi Syariah IAIN STS Jambi. Pendiri dan Wakil Direktur Pondok Belajar al – Kalam Jambi. Anggota PELANTA 
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-bmt-umkm-dan-ekonomi-kreatif.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2