Soni Gusti Anasta |
Oleh: Soni Gusti Anasta*
Pragmatisme mahasiswa mempunyai rasa tersendiri, beda fakultas maka beda rasanya, beda universitas apa lagi. Praktik pembelajaran mahasiswa di kampus seyogyanya harus benar, dan sesuai dengan rasa toleransi mahasiswa yang lain. mengingat mahasiswa adalah bekal murni, atau bibit pemimpin di masa depan, maka pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan akademis dan bukan pendekatan politis. Karena dikhawatirkan pemikiran yang menyimpang dan cenderung memihak akan menjiwai setiap pemahaman mahasiswa. Mungkin hal ini juga yang menjadi landasan mengapa politik praktis parpol dilarang masuk dalam ruang lingkup universitas.
Kembali ke pokok permasalahan. Mahasiswa sebagai jiwa yang bersih dan bebas dari racun politis harus menebarkan aroma tersebut guna menjadi kebiasaan yang selanjutnya dapat diterima secara umum, dan pada gilirannya menjadi dasar hukum yang hidup dalam masyarakat kampus. terutama dalam hal belajar di kelas. menurut saya belajar yang baik adalah belajar yang sopan, menghargai teman, dan menghormati guru.
Belajar yang sopan maksudnya belajar sesuai dengan norma kesopanan. norma kesopanan secara teorietis adalah norma yang mengatur masyarakat guna mewujudkan kesedapan hidup bersama. sesuai dengan pengertian, proses pembelajaran haruslah sesuai dengan jalan atau selaras dengan asas untuk mewujudkan kesedapan hidup bersama. misalnya dengan berkata sopan kepada dosen untuk mengajukan pertanyaan, atau bersikap manis dengan tidak merokok sambil menunggu dosen, atau berkata yang ramah kepada teman dan masyarakat kampus.
Menghargai teman maksudnya, ikut membantu teman dalam memecahkan maslah kampus, memberi teman masukan terhadap materi yang kurang dipahami, atau menginformasikan secara sukarela kegiatan ekstra yang mungkin berpotensi menambah minat dan bakatnya.
menghargai dosen juga banyak bentuk dan jenisnya, antara lain dengan berkata jujur dan tidak berkomentar negatif dibelakangnya.
Proses pembelajaran yang demikian lah yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan pribadi maupun kepentingan orang lain. sehingga produk yang diraih pun adalah hasil yang jujur, dan memuaskan setiap pihak.
Namun untuk beberapa alasan ada mahasiswa yang tega mengorbankan nilai-nilai tersebut hanya untuk mendapatkan raihan akademis yang setinggi-tingginya. dari pelanggaran-pelanggaran yang paling parah adalah dengan mencari muka dosen demi mengharap nilai A. modus-modusnya berbagai macam, ada yang bertanya saat pelajaran telah hampir selesai sehingga memaksa dosen menjawab pertanyaan tersebut sehingga menambah durasi waktu yang telah dianggarkan dan membuat mahasiswa lain kesal. ada yang dengan perkasa meminta tugas untuk segera dikumpul, dengan dalih telah mengerjakannya. padahal secara tersirat dosen menghendaki yang berlainan. karena ada permintaan sehingga memaksa dosen tersebut menurutinya dengan alasan akuntabilitas.
Namun lepas dari itu, semoga hal-hal yang telah dilakukan oleh segelintir mahasiwa itu tidak sebenarnya datang dari hati dan pikiran mereka, mudah-mudahan hal tersebut hanya datang dari insting spontanitas untuk memperjuangan hak-hak konstitusionil.
Alhasil kesimpulan dari pengamatan yang saya lakukan dalam beberapa hari terakhir ini tidak menutup kemungkinan bahwa pragmatisme mahasiwa saat ini mungkin benar-benar tengah meroosot. nilai-nilai kesetaraan dalam proses pembelajaran sering sekali terabaikan, rasa ingin menang sendiri dengan menghalalkan semua cara dianggap menjadi duri dalam daging bagi mahasiwa yang sadar dan merasakan ketidak-adilan. akhirnya saya mengatakan semoga rasa pragmatisme mahasiswa khususnya di Fakultas Hukum Universitas Jambi, tidak berasa hambar ataupun masam, apalagi pahit. Ya semoga !
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi, Anggota Pelanta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar