Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H. |
Oleh: Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H.*
Tujuh istri Eyang Subur (Tertua Ny Heri Mahwati, Ati, Dike, Heni, Noni, Istri keenam Annisa alias Ani awalnya pembantu Eyang Subur, yang juga merupakan keponakan Arya Wiguna dan terakhir adalah Nita Septriani yang juga merupakan mantan istri Septian Dwi Cahyo). Anehnya semua mau berpakaian seragam, berkalung seragam, ada kelainan apa ini ?
Istri-Istri Eyang dipertontonkan di MNC TV beberapa hari lalu, membuat hati ini gusar dan malu. Mengapa ?, terlalu banyak hukum yang dilanggar Eyang Subur, setidaknya ada 5 hukum yang dilecehkan mulai dari Hukum Perkawinan, Hukum Gender, Hukum Waris, Hukum Perlindungan Anak, hingga Hukum Administrasi Negara.
Sadarkah para istri-istri Eyang Subur akibat hukum perkawinan tersebut?. Dapat dipastikan perkawinan Eyang Subur adalah “kawin di bawah tangan” , “kawin siri” atau “nikah sirri” yang hanya dilakukan berdasarkan aturan agama atau istiadat belaka, konsekwensinya tidak tercatat pada Kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA) Alias Perkawianan Eyang Subur tidak memiliki kekuatan hukum.
Wahai para istri Eyang ? Jangan tergoda dengan kalung emas besar yang serba seragam diberikan Eyang Subur? Dan uang bulanan yang konon masing-masing Istri mendapat hampir 50 juta per bulan. Coba minta satu hal yang jauh lebih penting dari semua hingar mingar harta, yakni minta kepada Eyang Subur mencatatkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah? Kejantanan Eyang ditunggu?
Bagaimana mereka mau bercerai sebagaimana yang di sarankan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama istri kelima dan seterusnya? Para istri Eyang Subur tidak mungkin ada Surat Nikah yang dikeluarkan KUA? Artinya perceraian Eyang Subur satu-satunya hanya menelantaran begitu saja, tanpa ada hak waris terhadap istri maupun anak-anak mereka?. Artinya Negara tidak bertanggung jawab akibat hukum yang terjadi dari konsekwensi perkawinan Eyang Subur. Hal ini otomatis terakses dengan Hukum dan Gender, yang menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan secara hukum, optimalisasi potensi perempuan harus terus digali, sementara para istri Eyang Subur tidak jelas aktivitasnya di lingkungan masyarakat?
Wahai para istri Eyang Subur, perkawinan bawah tangan sama sekali tidak dikenal dalam Hukum Perkawinan Indonesia khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 1/1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan meskipun syah secara agama tetapi akibat hukumnya merugikan perempuan, karena tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika kelak Eyang Subur meninggal dunia, plus tidak memiliki hak atas harta bersama (gono gini) jika terjadi perpisahan, secara hukum perkawinan bawah tangan dianggap tidak pernah terjadi
Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 Kompilasi Hukum Islam -KHI). Di dalam akte kelahiran anak statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Status anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Semua ini terkait pula kepada Hukum Perlindungan Anak dan Hukum Administrasi Negara
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi 7 Maret 2012, sekalipun dianggap terobosan hukum terhadap status anak di luar nikah, namun fakta menunjukkan pasca perceraian sulit mendapatkan tanggung jawab dari pihak ayah kandungnya, terlebih ayahnya telah menikah lagi.
Ketidakpastian status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga jangan aneh, suatu waktu Eyang Subur menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Bukankah sudah terlalu banyak kasus terjadi si Ayah tidak mau mengakui akan anak kandung maupun anak biologis dari perempuan yang dihamilinya ?.Betapa beratnya konsekwensi perkawianan bawah tangan, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Kadang muncul ide gila, bagaimana membuat penemuan hukum agar berpolygami, dikenakan Pajak Multy Progresif ?, Jangan hanya kendaraan kedua dan seterusnya yang kena pajak progresif tetapi juga Polygaminya Eyang Subur kenai Pajak Multy Progresif? Beranikah.?
*Dosen Fakultas Hukum Univ. Jambi. PELANTA
Tidak ada komentar :
Posting Komentar