Musri Nauli, S.H. |
Oleh: Musri Nauli, S.H.*
Dalam sebuah headline di berbagai media massa, diceritakan, KPK akan “menyita” menyita tiga mobil yang ada di areal parkir Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang. Tiga mobil yang disita adalah VW Caravelle B 948 RFS, Mazda CX 9 B 2 MDF dan Fortuner B 544 RFS. Salah satu mobil adalah milik mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan sisanya merupakan mobil operasional PKS.
Perdebatan muncul. Apakah KPK bisa “menyita” tanpa izin dari pengadilan?
Secara prinsip, mengenai penyitaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan (baik orang maupun rumah) merupakan perbuatan yang harus diatur didalam hukum. Didalam KUHAP, biasa dikenal dengan istilah “upaya paksa”. Sebagai upaya paksa, maka terhadap ketentuan mengaturnya diatur oleh hukum.
Pentingnya mengatur “upaya paksa” merupakan perlindungan hak asasi manusia dari perbuatan yang sewenang-wenang. Sebagai negara yang menjunjung negara hukum (rechtstaat), perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang merupakan ciri khas dibandingkan dari negara barbar. Negara yang sewenang-wenang. Demikianlah pikiran kita mengenai “upaya paksa” yang didalamnya juga mengatur tentang “penyitaan”. Ketentuan mengenai hal itu dapat kita lihat didalam KUHAP.
Namun secara prinsip, KUHAP yang berasal dari UU No. 8 Tahun 1981 hanya mengatur prinsip-prinsip umum. Prinsip umum dapat dikecualikan dengan ketentuan yang mengatur khusus. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan istilah “lex spesialis derogat lex generalis”. Artinya Ketentuan khusus dapat mengenyampingkan ketentuan umum.
Nah. Sekarang mari kita lihat bagaimana ketentuan yang mengaturnya. Didalam KUHAP telah diatur mengenai “penyitaan”. Pada pasal 1 ayat (16) KUHAP dijelaskan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Sedangkan pasal 38 KUHAP dijelaskan “(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Namun menggunakan asas “lex spesialis derogat lex generalis”, maka ketentuan pasal 38 KUHAP dapat dikesampingkan. Pasal 38 KUHAP merupakan asas-asas yang umum dimana dapat dikecualikan dengan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
Pasal 47 ayat (1) UU KPK “Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Sedangkan ayat (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang- kurangnya memuat nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut. Tandatangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan dan tandatangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut. Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
Untuk menegaskan asas “lex speciali derogat lex generalis”, maka pasal 47 ayat (2) UU KPK menegaskan “Sedangkan ayat (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Kata-kata “ketentuan peraturan yang mengatur tentang penyitaan” sebenarnya merujuk kepada pasal 38 KUHAP.
Dengan menggunakan asas ““lex speciali derogat lex generalis” dan pasal 47 ayat (2) UU KPK, maka penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa “izin” dari Ketua Pengadilan.
*Advokat, Tinggal di Jambi, Anggota Pelanta
Tidak ada komentar :
Posting Komentar