Musri Nauli, S.H. |
Oleh: Musri Nauli, S.H.*
Pilkada di Kabupaten Merangin memberikan catatan penting. Tumbangnya incumbent merupakan sejarah penting di Provinsi Jambi. Tanpa bermaksud untuk menganalisa faktor-faktor mengapa incumbent bisa tumbang, selain karena media massa sudah menganalisa dan sudah banyak dibicarakan dalam berbagai opini, tulisan yang hendak disampaikan dilihat dari sudut pandang yang lain.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan kita yang kita lihat, pemenang Pilkada telah meraih 71.059 suara atau 36,59 persen, diikuti pasangan Nasa dengan jumlah suara 49.519 atau 25,50 persen. Selanjutnya peringkat ketiga pasangan Syufi dengan jumlah suara 47.678 atau 24,55 persen, dan pasangan Haji dengan jumlah suara 22.570 atau 11,62 persen. Putusan KPU Merangin ini kemudian diperkuat berdasarkan Putusan MK Nomor 28/PHDU.D-XI/2013. Sehingga putusan ini kemudian harus dimaknai, tuduhan terhadap proses yang tidak fair dan putusan KPU dipersoalkan di MK telah usai. Dan sebagai negara yang menjunjung negara hukum, maka putusan MK semakin mengukuhkan kemenangan Al Haris dan Abdul Hafid.
Dari sudut pandang ini sebenarnya banyak pelajaran yang bisa dipetik. Pertama. Teori dari lembaga-lembaga riset yang selalu menempatkan incumbent sebagai unggulan utama telah terbantahkan. Teori ini selalu menempatkan incumbent sebagai unggulan dilihat dari berbagai faktor seperti popularitas, penerimaan publik, kenalnya kandidate pilkada hingga faktor-faktor lainnya. Teori ini sengaja dihembuskan terus menerus sehingga dalam berbagai wacana pilkada, incumbent selalu menjadi sorotan dan menjadi prioritas utama pilihan partai untuk mengusung kandidate.
Pilkada Merangin kemudian menumbuhkan optimisme terhadap maju kandidate walaupun bukan berasal dari incumbent. Pelajaran penting ini ditularkan oleh Jokowi-Ahok.
Kedua. Tampilnya Al Haris “mewakili” generasi muda. Dengan melihat usia masih di bawah 40-an, optimisme kaum muda masuk ke gelanggang politik semakin yakin. Hipotesa yang selalu didengung-dengungkan, masuk politik setelah “matang” secara politik, terbantahkan. “Matang politik” tidak dapat dikonotasikan selalu dengan usia yang telah “berumur”. Matang politik dapat dimaknai sebagai perhitungan politik yang “melihat” politik sebagai pertarungan riil. Mengukur kekuatan dan jaringan politik yang tidak dapat “dimanipulasi'. Dari sudut ini, Pilkada Merangin membangun “message” penting. Sudah saatnya kaum muda mulai berperan untuk “mengawal” pemerintahan.
Ketiga. Harus ada kekuatan pesan. Pilkada Merangin memberikan “message” yang tidak kalah penting. Pesan yang disampaikan harus mudah dibaca publik dan mudah diingat publik. Kampanye “Membangun Dari Dusun Hingga Kota” merupakan tema kampanye yang mudah dipahami dan mudah diingat. Tema ini kemudian membuat dukungan merata di berbagai daerah pemilihan. Tema ini menarik, karena bacaan pemilih di Merangin, slogan “Merangin Emas 2013” tidak tercapai. Sehingga kesempatan yang diberikan kepada incumbent untuk mengusung tema ini tidak berhasil “mempengaruhi” dukungan publik.
Keempat. Basis dukungan. Melihat dukungan yang hampir merata, strategi yang disampaikan oleh kandidate merata. Dukungna yang diberikan merupakan strategi jitu yang berhasil meraup suara. Perhitungan seperti mata pilih, kecendrungan pemilih, strategi meraup dukungan dilihat dari dukungan, merupakan strategi yang tepat. Tanpa mengabaikan peran incumbent yang mempunyai kesempatan untuk memenangkan pilkada, strategi ini ampuh sehingga incumbent berhasil ditumbangkan. Tentu saja banyak bacaan kita melihat pilkada Merangin. Namun yang pasti, kemenangan Al haris menumbuhkan optimisme, incumbent bisa ditumbangkan. Pesan ini seakan-akan membangun optimisme, tidak ada yang tidak bisa dilakukan.
*Advokat, Tinggal di Jambi, Anggota Pelanta
Tidak ada komentar :
Posting Komentar