Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Kamis, 02 Mei 2013

Hukum dan Konspirasi Politik

Oleh: Fauzan Khairazi, S.H., M.H.*
Keberhasilan gerakan reformasi di Indonesia telah mempengaruhi perubahan substansial dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Pemerintah yang otoritarian berubah menjadi pemerintahan yang demokratis dan bersupremasi hukum. Prinsip demokrasi yang disebut dalam konstitusi tidak dengan sendirinya melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis. Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menyebutkan dengan tegas bahwa demokrasi merupakan salah satu asas negaranya yang fundamental, tetapi dalam kenyataannya tidak semua konstitusi melahirkan sistem yang demokrasi.
Bahkan konstitusi yang sama bisa melahirkan sistem politik yang berbeda (demokratis dan otoriter) pada waktu atau periode yang berbeda (Mahmud MD, 2003: 138)

Masuknya rumusan negara Indonesia adalah negara hukum mempertegaskan paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Jika kita telaah, sejak Indonesia  merdeka tahun 1945 para pendiri bangsa dan rakyat telah sepakat bahwa negara dibentuk berdasarkan hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pun menegaskan Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum. Dalam negara seperti itu, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar. Dilihat dari sisi filsafat hukum, sesungguhnya hukum merupakan garis pembatas kedaulatan rakyat dengan kekuasaan negara. Hukum muncul dari proses kesepakatan individu dalam masyarakat.Meskipun dokumen konstitusi telah diubah (formal amendment) atau bahkan diganti, konstitusi selalu terbuka untuk disempurnakan menuju ideal yang lain.

Perubahan terhadap peraturan hukum yang masih membuka celah intervensi politik terhadap hukum harus dilakukan agar terwujudnya negara hukum yang berprinsip demokrasi. Untuk menutup celah hukum terhadap politik yang dapat mengintervensi hukum adapun langkah-langkah yang dapat diambil adalah: Hukum harus berperan sebagai panglima, sehingga penegakan hukum dapat diwujudkan tanpa memandang suku, ras, agama, atau golongan tertentu;
Hukum harus berperan sebagai titik tolak kegiatan (center of action). Yang berarti bahwa perbuatan hukum oleh penguasa atau individu harus dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku;
Perlakuan terhadap orang adalah sama dimuka hukum (equality before the law).
Ironisnya, di Indonesia paradigma hukum dan politik menjadi terbalik. Hukum di Indonesia bukanlah menjadi landasan yang menentukan dan mengarahkan kebijakan politik. Akan tetapi hukum merupakan instrumen bahkan tidak jarang menjadi produk (kebijakan) politik. Konstruksi dan format hukum dan politik seperti itu membawa implikasi pada inferioritas rakyat di satu sisi, dan superioritas negara di sisi lain. Atas nama hukum sudah sering terlihat tindakan penguasa yang memperlakukan rakyat tak berdaya.

Hukum di Indonesia tidak ditempatkan pada posisi sentral. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Penyelewengan prinsip-prinsip hukum terjadi karena hukum masih memberi peluang yang besar terhadap politik untuk mencampuri urusan hukum hal ini dapat kita ketahui pada proses pemberhentian Presiden dan Kepala Daerah yang mana politik sebagai penentu keputusan akhir walaupun telah ada keputusan hukum. Disini sangat mencerminkan bahwa politik masih menjadi panglima dalam sistem ketatanegaraan pemerintahan Indonesia.. Law enforcement menjadi kehilangan ruang.

Sangatlah jelas bahwa untuk menciptakan Negara hukum yang berdemokrasi maka peraturan-peraturan hukum yang masih membuka celah intervensi politik harus dihilangkan. Sehingga akan membentuk suatu produk hukum yang responsif dan berwibawa sebagai contoh Pasal 29 ayat 4d Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 7B ayat 5 dan 7 Undang-Undang Dasar 1945:
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 4d menjelaskan bahwa:

“Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden”.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7B ayat 7 juga menjelaskan bahwa :
“Keputusan Majelis Perwakilan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesemapatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Padahal disini kesalahannya telah terbukti dengan adanya putusan hukum dari lembaga peradilan. Tetapi putusan hukum tersebut masih bisa dipleterin atau tidak ditanggapi oleh lembaga politik sehingga hasil dari putusan hukum tersebut tidak berarti, justru menurut penulis hal inilah yang menghambat proses pembentukan negara hukum yang responsif dan berdemokrasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesiua Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 32 ayat (1) ”dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Ayat (2) penggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah”.  
Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesiua Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) diyatakan bahwa :
Ayat (1) “tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik” dan pada Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dari presiden”.

Disini juga sangat jelas bahwa keputusan masih berada ditangan politik padahal kepala daerah telah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas, menurut penulis harusnya proses hukum sudah bisa dilaksanakan tanpa harus melalui persetujuan anggota DPRD. Dengan masih harus mendapat persetujuan anggota DPRD, bisa saja terjadi konspirasi antara kepala daerah dan anggota DPRD sehingga proses hukum bisa tidak berjalan semestinya. Pada proses penyidikan dan penyelidikan terhadap kepala daerah juga harus mendapat izin dari pemerintah pusat (Presiden) hal ini juga termasuk hal yang menghambat proses membentuk Negara hukum.

Bagi bangsa penganut paham negara hukum (rechtsstaat), konstitusi harus ditempatkan sebagai hukum dasar (basic law), bahkan hukum tertinggi (supreme law), yang mengikat negara dan warga negara. Dengan kata lain, konstitusi menjadi pusat dan titik awal dalam legal order suatu negara. Jika undang-undang masih membuka peluang ikut campurnya politik terhadap urusan hukum niscaya bahwa penyimpangan-penyimpangan akan terus terjadi.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Negara hukum dan demokrasi akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri.

*Pimpinan Bawaslu Prov. Jambi

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2