Drs. H. Navarin Karim, M.Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M.Si.*
Herbert Spencer dan Emile Durkheim pernah mengemukakan dalam teori structural fungsional approach atau yang lebih dikenal dengan teori integration approach/ equilibrium approach, bahwa masyarakat sebagai suatu system yang fungsional terintegrasi dalam suatu bentuk equilibrium. (Nasikun, 2004 :11). Jika lebih disederhanakan redaksinya, maka dapat dikatakan bahwa menyatunya masyarakat jika ada keseimbangan. Disparitas ekonomi sebenarnya tidak boleh terlalu terjal, namun dapat dieliminir jika mereka yang kaya punya kesadaran untuk berbagi kepada yang miskin. Teori ini mengingatkan sekaligus menyadarkan kita semua, bahwa pertumbuhan bukanlah suatu tujuan jika menginginkan keadaan suatu Negara damai dan bersatu, tapi pemerataanlah yang harus diutamakan.
Herbert Spencer dan Emile Durkheim pernah mengemukakan dalam teori structural fungsional approach atau yang lebih dikenal dengan teori integration approach/ equilibrium approach, bahwa masyarakat sebagai suatu system yang fungsional terintegrasi dalam suatu bentuk equilibrium. (Nasikun, 2004 :11). Jika lebih disederhanakan redaksinya, maka dapat dikatakan bahwa menyatunya masyarakat jika ada keseimbangan. Disparitas ekonomi sebenarnya tidak boleh terlalu terjal, namun dapat dieliminir jika mereka yang kaya punya kesadaran untuk berbagi kepada yang miskin. Teori ini mengingatkan sekaligus menyadarkan kita semua, bahwa pertumbuhan bukanlah suatu tujuan jika menginginkan keadaan suatu Negara damai dan bersatu, tapi pemerataanlah yang harus diutamakan.
Pemerataan yang dimaksudkan masyarakat bukan berarti mereka haus naik strata sehingga sama kastanya dengan golongan the have, tapi prasarana dan fasilitas pelayanan standar harus diberikan sehingga merasa diperlakukan secara adil dan nguwongke. Pembatalan pembangunan fly over di kota Jambi, sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya ada ganti rugi yang seimbang untuk pelepasan lahan dan bangunan. Demikian juga dalam perlakuan terhadap SARA tidak ada yang dianak-EMASkan. Fakta sekarang menunjukkan factor SARA makin mengemuka , dengan motif pemanfaatan kelompok semu untuk dukungan kelompok kepentingan tertentu. Jika Ini terlalu dikedepankan akan berbahaya dalam mempertahankan integrasi bangsa. Prinsip obyektif dan transparansi harus ditonjolkan dalam mempromosikan seseorang untuk menduduki jabatan pemerintahan ataupun jabatan suatu komisioner.
Masyarakat sekarang mulai apatis jika ada pemilihan anggota komisioner, karena konspirasi terjadi disana sini. Intervensi penguasapun sering tak dapat dielakkan. Organisasi abstrak membabi buta memberi dukungan kepada komunitasnya, walaupun yang didukung secara real tidak memenuhi kualifikasi. Belum lagi persoalan lemahnya perlindungan pemerintah terhadap kelompok minoritas. Penyerangan terhadap aliran Ahmadiyah oleh kelompok Islam tertentu, menunjukkan kurang pendewasaan dalam Negara system demokrasi. Padahal jika mereka menyadari bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan yang diamanahkan dalam pasal 29 UUD 1945 yaitu toleransi beragama, juga tidak konsisten dengan system politik yang kita sepakati. Empat hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam system politik demokrasi : 1. Adanya pemilihan, 2. kebebasan, 3. Toleransi dan 4. Kepastian hukum. Hal ini pulalah menyebabkan romo Franz Magnez Susilo baru-baru ini mengkritisi bahwa tidak pantas Presiden SBY menerima penghargaan internasional seolah-olah bangsa ini integritasnya bagus sekali.
Teori equilibrium ini jika dihubungkan dengan ketimpangan yang terjadi dalam politik dapat dikemukakan fakta berikut : (1) Legislator tidak melaksanakan fungsi artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan. Jangankan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam kebijakan public, kumpul dengan konstituen untuk mendengar aspirasi mereka saja sudah tidak pernah. Ketika masih caleg dekat dengan konstituen, dan setelah menjadi anggota parlemen seolah lupa. (2) Legislator yang lupa dengan partai yang mendukungnya sehingga menjadi anggota legislatif. Tanpa malu-malu lagi tidak memberikan kontribusi kepada partai asalnya, alih-alih pindah partai jelang habis masa jabatannya. (3) Parpol yang tidak mendukung secara all out kandidat pejabat politik yang telah diberinya perahu. Mereka seperti harimau yang menerkam mangsa, jika ada yang akan mencari perahu politik untuk dapat dicalonkan sebagaikan pejabat politik baik sebagai calon penguasa daerah atau calon legislatif . Setelah perahu diberikan kandidat yang telah dicalonkan seolah dilepaskan berlayar sendiri. (4) Kandidat pejabat politik yang semula santun, demokratis dan jujur, setelah terpilih perlahan tapi pasti berubah menjadi seorang yang agresif, otoriter dan tidak jujur. Ini terjadi karena kuatnya tekanan dari partai yang telah memberikan perahu politik.
Jika kita menemukan keempat criteria diatas, maka jangan lagi pilih partai yang demikian dan bagi pejabat politik yang masih mencalonkan diri sebagai incumbent dan tidak mampu buat keseimbangan tersebut siap-siap tidak dipilih masyarakat.
*Penulis adalah Ketua STISIP Nurdin Hamzah dan Ketua Pelanta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar