Sayuti Hamsi |
Oleh: Sayuti Hamsi*
Perhelatan Ujian Nasional (UN) SMA, MA, SMK, dan SMALB yang baru berakhir 18 April 2013, kembali mencederai wajah pendidikan Indonesia, ketika 11 provinsi gagal ujian tepat waktu dengan alasan teknis, andai tertunda dengan alasan gempa atau sejenisnya mungkin masih diterima publik, tapi kali ini terkait dengan human error yang menggambarkan betapa lemahnya manajemen UN.
Sesungguhnya, kasus ini, tak perlu terjadi andai saja pemerintah mau belajar dari pengalamannya dengan analisis kelemahan (weakness) dan tantangan (threat) dengan variabilitas pengganggu lainnya dalam rangka menghelat UN yang lebih sempurna.
Dengan efek persoalan yang dihadapi pemerintah berkeputusan menunda UN secara mendadak, meski hanya berlaku di 11 provinsi di Indonesia Tengah, tapi secara tak langsung mempengaruhi helat UN yang tengah berlangsung pada hari pertama di wilayah lain termasuk Provinsi Jambi.
Maklumat ala Unja
Buntut dari keputusan pusat tersebut, Unja sebagai pemegang otoritas pengawasan UN provinsi, secara hati-hati juga memberi respon dengan menyebarkan maklumat via SMS kepada Pengawas Satuan Pendidikan (PSP) yang tengah tugas mengawal proses dihari pertama dengan isi maklumat, “bekas soal yang telah terpakai harus: (1) dikumpul kembali; (2) diamankan di polsek terdekat; dan, (3) berkordinasi dengan Diknaskab”.
Meski perintah yang turun saat ujian berlangsung, maka tidak ada alternatif lain kecuali diresponi secara cepat dan tepat serta tidak merusak kealamiahan situasi lapangan, PSP pun keluarkan isntruksi kepada pengawas lokal yuntuk mengumpulkan bekas soal saat lonceng akhir berbunyi.
Kedua, melaporkan perihal ini kepada kepala sekolah untuk bersetuju, karena tradisi UN sebelumnya, bekas soal adalah dokumen halal dan berharga bagi sekolah buat bahan kajian bimbel siswa capes UN tahun berikutnya. Tindakan pengawas yang terkesan memaksa, pasti dipandang terlalu oleh kepala sekolah, karena ia sendiri tidak menerima informasi ini dari jalur kemendikbud.
Ketiga, penitipan bekas soal kembali di Polsek pun secara nyata merepotkan petugas piket, karena selain tidak pernah menerima perintah dari komandan untuk itu, petugas pun harus kerja ekstra menyiapkan berita acara dadakan. Meski demikian, maklumat itu patut dihargai sebagai antisipasi guna meminimalisir kebocoran dalam menyikapi reskidul UN di 11 provinsi.
Siapa Tak Lulus?
Soal UN SMA/MA/SMK/SMALB yang komposisinya berbobot mudah 10%, sedang 70% dan sulit 20%, yang rencananya dihelat bersamaan 15-18 April 2013. Reskidul tersebut wajar mengundang cibiran betapa tidak siapnya pemerintah menghelat UN, padahal sekolah/madrasah level SMA paling banter terjauh hanya di bukota kecamatan. Bandingkan kinerja KPU jelang Pemilu juga mampu mengatasi jangkauan TPS di area terpencil meski hanya transportasi tradisional yang bergantung dengan alam sekalipun.
Menunda di 11 provinsi dengan tetap menghelat UN di 22 provinsi secara nyata melabrak rambu keadilan pendidikan untuk semua, sebab sukses UN di wilayah tertentu dengan meninggalkan wilayah lain, sama saja membuka peluang kebocoran soal yang ditakuti selama ini, mengingat komunikasi antar wilayah kini tak terbendung kelajuannya.
Meski pemerintah tetap membela keputusannya atas nama negara dengan berlindung dibalik 1001 paket soal yang dibuat sedemikian variatif, tapi hakekat kebocoran itu tidak hanya terbatas pada sudut pandang materi, melainkan kebocoran bentuk lain terletak pada reskidul masa yang berbeda, karena naskah yang berlabel rahasia negara, secara etis harus dibuka dalam keutuhan waktu yang sama, dan jika ditempat tertentu telah terbuka, maka kerahasiaan ditempat lain pun telah gugur.
Kegagalan menghelat UN secara bersamaan hanya adengan alasan teknis, menunjukan betapa lemahnya manajemen UN yang menempatkan pemerintah tidak lulus ber-UN secara fair.
Wallahu a’lam bissawaab
*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Pendidikan, Pengawas Satuan Pendidikan UN wilayah Tanjabtim, dan Staf Pengajar IAIN STS Jambi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar