Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin*
Saat ini, musibah krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) sedang melanda Indonesia. Hampir tiap tahun terutama ketika pergantian presiden baru Indonesia selalu dilanda musibah itu, tak terkecuali pada pemerintahan Presiden Jokowi mendatang. Secara umum, penyebab utamanya adalah terjadi ketimpangan (unbalance) antara produksi BBM (supply) dengan tingkat konsumsi masyarakat (demand). Di satu sisi, jumlah produksi BBM semakin menipis dan langka karena merupakan jenis materi yang tidak dapat diperbarui (unrenewable). Di sisi lain, permintaan konsumsi BBM masyarakat cenderung semakin meningkat.
Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah berupaya menyediakan subsidi BBM untuk kaum menengah ke bawah. Upaya itu bertujuan supaya lebih meringankan beban mereka. Namun, upaya itu dinilai gagal. Sebab, berdasarkan fakta di lapangan, banyak golongan menengah ke atas juga telah mengkonsumsinya. Padahal, sesungguhnya mereka tidak berhak mendapatkannya. Sebab, mereka dinilai mampu secara finansial. Karena itu, muncul permasalahan baru mengenai BBM, yaitu bukan hanya dalam hal kelangkaannya, tapi juga ketidaksesuaian pengkonsumsianya. Sehingga kondisi tersebut menuntut pemerintah untuk segera menindak dan menuntaskan masalah itu demi menyelematkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan, menurut menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, kunci masalah BBM saat ini adalah tingginya biaya subsidi.Saat ini, musibah krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) sedang melanda Indonesia. Hampir tiap tahun terutama ketika pergantian presiden baru Indonesia selalu dilanda musibah itu, tak terkecuali pada pemerintahan Presiden Jokowi mendatang. Secara umum, penyebab utamanya adalah terjadi ketimpangan (unbalance) antara produksi BBM (supply) dengan tingkat konsumsi masyarakat (demand). Di satu sisi, jumlah produksi BBM semakin menipis dan langka karena merupakan jenis materi yang tidak dapat diperbarui (unrenewable). Di sisi lain, permintaan konsumsi BBM masyarakat cenderung semakin meningkat.
Selain itu, sebenarnya penggunaan BBM juga banyak menyebabkan masalah, salah satunya menyebabkan pencemaran udara. Berdasarkan penelitian ahli geologi, gas hasil pembakaran BBM terutama jenis bensin dan solar menyebabkan lapisan ozon di atas bumi semakin menipis sehingga bumi menjadi semakin panas. Maka terjadilah pemanasan global. oleh sebab itu, pemerintah beserta masyarakat harus bersinergi mengurangi penggunaan BBM dan segera beralih menggunakan energi lain yang tidak menyebabkan pemanasan global, misal minyak sawit. Dengan begitu, maka pemanasan global akan berkurang.
Dari pada bila pemerintah mengambil langkah dengan mencabut subsidi BBM dan menaikkan harganya, sehingga menimbulkan protes besar terutama rakyat menengah ke bawah, lebih baik pemerintah mencari energi alternatif pengganti BBM. Sebab, bila harga BBM naik, implikasinya seluruh kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier juga akan naik. Jika demikian terjadi, itu pasti akan memberatkan rakyat. Nasib rakyat menengah ke bawah akan semakin terpuruk karena mahalnya kebutuhan sehari-hari. Namun, apabila pemerintah mencabut subsidi BBM dan hanya digunakan dalam hal-hal tertentu serta mendapatkan energi pengganti BBM, maka rakyat tidak akan menjadi cemas. Dengan begitu, krisis ekonomipun bisa ditekan, sehingga nasib kaum menengah ke bawah akan tertolong.
Untuk itu, terutama pemerintah baru nantinya harus mampu berfikir cerdas, kritis, inovatif, dan visionaris, dan bertindak sigap, tangkas, terampil, dan profesional. Intinya, paling tidak pemerintah bisa memberikan solusi yang cepat dan tepat, misalkan mengoptimalkan minyak kelapa sawit sebagai alternatif pengganti BBM. Lagipula, itu sejalan dengan UUD 1945 pasal 33 yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat dengan memanfaatkan energi di bumi.
Poin utamanya adalah pemerintah harus segera memberikan solusi konkrit berupa energi alternatif pengganti minyak. Dalam konteks ini penulis merekomendasikan minyak sawit. Sebab, dalam hal mencari pengganti energi minyak, pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek demi keberhasilannya. Diantaranya adalah aspek ketersediaan bahan baku, sarana prasarana produksi, daur ulang (life cycle) produk sejak dari proses bahan baku hingga menjadi hasil akhir yang siap digunakan masyarakat bahkan dampak setelah digunakan. Dan ternyata minyak sawit dinilai hampir bisa memenuhi sejumlah aspek tersebut.
Aspek pertama adalah ketersediaan bahan baku. Mustahil suatu energi bisa menjadi alternatif pengganti BBM apabila energi itu tidak memenuhi syarat mutlak. Syarat itu adalah harus memiliki kapasitas tinggi, sehingga energi itu bisa digunakan hingga dalam jangka panjang, paling tidak mencapai setengah abad atau bahkan seabad. Maka, dalam hal ini minyak sawit telah memenuhi syarat. Sebab, kapasitas minyak sawit di Indonesia tergolong terbesar di dunia. Dengan demikian, maka diprediksikan minyak sawit memungkinkan dan bisa menjadi alternatif pengganti BBM hingga jangka panjang.
Kedua adalah sarana prasarana produksi. Dalam memilih energi pengganti BBM, apabila pemerintah tidak memperhatikan masalah sarana prasarana untuk memproduksi bahan baku energi tersebut, mustahil pemerintah bisa mendapatkannya. Dengan kata lain, pemerintah jangan hanya sebatas mempersiapkan dan menyediakan sarana prasarana untuk memproduksi bahan baku tanpa memperhatikan kecanggihan dan kualitas sarana produksi tersebut. Sebab, apabila sarana yang tersedia tidak berkualitas meskipun bahan bakunya berkualitas, maka kemungkinan besar akan menghasilkan produk yang kurang berkualitas. Jika demikian, maka pemerintah dan produsen akan merugi. Maka, minyak sawit sangat cocok dijadikan pengganti BBM. Sebab, banyak perusahaan di Indonesia yang menjual sarana prasarana pengolah bahan baku minyak sawit yang canggih dan berkualitas, sehingga pemerintah bisa mendapatkannya dengan mudah.
Ketiga adalah aspek daur ulang (life cycle). Setelah memenuhi aspek pertama dan kedua, aspek ketiga ini juga menjadi sangat urgen. Sebab, apabila dalam proses daur ulang mulai sejak awal pengolahan bahan baku hingga menjadi produk siap digunakan masyarakat ternyata menyebabkan berbagai masalah, misalkan seperti BBM ketika diolah hingga menjadi produk siap guna, ternyata setelah digunakan malah menyebabkan polusi udara hingga merusak lingkungan, maka itu harus dikaji ulang. Jangan sampai pemerintah nantinya jika menentukan energi pengganti BBM juga memiliki implikasi yang sama dengan BBM, atau bahkan lebih buruk. Maka minyak sawit cukup tepat menjadi pengganti BBM. Sebab, menurut para peniliti, sejak ketika diolah dari bahan baku hingga menjadi produk guna dan digunakan masyarakat, minyak sawit tidak menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, serta lingkungan.
Semoga, dengan menjadikan minyak sawit sebagai alternatif pengganti BBM bias menanggulangi masalah krisis BBM di Indonesia, sehingga terwujud kondisi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Wallahu a’lam bi al-showab.
*Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-17765-minyak-sawit-sebagai-alternatif-bbm.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar