Kitab Kuning dan Perempuan
Oleh: Suwardi, S.E.Sy.*
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh L.W.C. Van Den Berg (1886), kitab kuning yang ada di pesantren Jawa dan Madura terdapat sekitar 54 judul, terdiri dari kitab matan, syarah, dan hasyiyah. Perinciannya : fiqh ibadah ada 7 judul, fiqh umum ada 11 judul, tata bahasa arab ada 15 judul, ushuluddin ada 9 judul, tasawuf ada 7 judul, tafsir, hadits dan aurad ada 5 judul. Tetapi pada akhir abad ke-20, Martin van Bruinessen merilis hasil studi yang dilakukannya, bahwa kitab kuning yang beredar di daerah ini dan sekitarnya telah mencapai 900 judul. (A. Chozin Nasuha, 1989). Salah satu kitab yang menjadi kontroversi di kalangan feminis adalah uqud al-Lujain.
Paham Sempit Feminis atas kitab Uqud al-LujainDi kalangan umat Islam, khususnya kalangan santri tradisional yang menimba ilmu agama di pondok-pondok pesantren di Tanah air bahkan perguruan tinggi agama Islam yang menganjurkan kitab kuning sebagai bahan bacaan wajibnya. Merupakan hal yang lumrah dan tidak ada kesan untuk mengkerdilkan pesan wahyu dalam teks suci al-Quran dan al-Hadits bilamana mereka mempelajari dan memperdalam kitab kuning. Sebab, di dalam kitab kuning pun masih menjadikan al-Quran dan al-Hadit sebagai landasan utama teoritik-nya.
Akan tetapi kalangan barat dan yang mengku sebagai modernis (baca: sekuler, liberal, aktivis gender/feminis) masih menganggap, menjadikan kitab kuning sebagai bahan kajian pendidikan dan juga sumber bacaan dalam memaknai suatu hukum khususnya yang berhubungan dengan kaum perempuan merupakan keterbelakangan pemikiran dan jauh dari modernism peradaban sebagai individu yang hidup di zaman modern. Bahkan aktivis gender/feminis beranggapan, jika kitab uqud al-Lujain memiliki andil yang cukup besar dalam proyek pelestarian budaya patriarki melalui doktrin dan dogma yang dianggap diskriminatif bagi kaum perempuan. Sehingga perempuan dianggap tidak mampu mengekspresikan kebebasan dalam berfikir dan bertindak sebagai makhluk merdeka.
Pemahaman kaum feminis ini didasarkan atas beberapa nukilan hadits dan ayat al-Quran yang terdapat di dalam kitab uqud al-Lujain tersebut diantaranya : “maa taraktu ba’da fitnatan adhaorra ala al-rijali min al-nisa’” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah). Yang artinya :tidak aku tinggalkan sesudahau sebuah fitnah yang lebih membahayakan laki-laki dari pada perempuan. Selain nukilan hadits tersebut di atas, terdapat juga ayat al-Quran yang berarti, kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), . . . . . .hingga akhir ayat (Q.S. Al-Nisa’, [5] : 34).
Ayat al-Quran tersebut di atas, kemudian oleh kalangan feminis-modernis dan mengaku sebagai pejuang HAM, menganggapnya sebagai dasar diskriminatif terhadap perempuan. Ini diakibatkan oleh pemaknaan yang sempit dalam melakukan domestikasi, subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi perempuan dalam konteks wilayah_egati, terutama dalam konteks kepemimpinan dalam perspektif politik dan pemerintahan.
Kesalahan yang dilakukan oleh kaum feminis adalah meletakkan kitab uqud al-Lujain sebagai dasar hukum yang oleh karenanya perempuan oleh Islam tidak boleh menjadi pejabat_egati. Padahal, sejatinya, kitab uqud al-Lujain adalah kitab panduan menikah yang didalamnya dijelaskan mengenai kewajiban suami istri, hak dan sebagainya. Sehingga, kitab tersebut menjadi panduan wajib bagi kalangan santri yang akan melangsungkan pernikahan dengan dibacakan oleh kiai-nya. Bahkan proses internalisai nilai dalam doktrin kitab tersebut berjalan sejak dahulu hingga hari ini.
Kekeliruan dan gagal paham di kalangan feminis terhadap posisi kitab uqud al-Lujain tersebut, menyebabkan mereka menyerang Islam sebagai agama yang diskriminatif dan tidak toleran terhadap hak-hak perempuan. Padahal dalam penentuan hukum, yang menjadi pijakan pengambilan hukum/fatwa dalam kitab-kitab fikih yang dipelajari di pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya, terlebih yang menyangkut dalam hal peran perempuan dalam dimensi sosial.
Islam Memuliakan Perempuan
Asghar Ali Enggener, menyatakan, misi perjuangan Nabi tidak sebatas pada level vertical-personal ansich, tapi juga pada level horizontal-sosial. Artinya, misi dakwah Nabi tidak sekedar revolusi teologis, memberantas kemusyrikan dan kekufuran kafir jahiliyyah ketika itu, tapi juga menumpas dan membabat habis praktek kecurangan, ketimpangan, hegemoni, dominasi, sentralitas, dan kolonialitas yang dilakukan oleh punggawa bangsawan. Mereka menindas kaum lemah-tertindas, seperti perempuan, budak, pekerja kasar, dan fakir-miskin. Mereka menguasai aset-aset ekonomi produktif yang tidak boleh didistribusikan kepada orang lain. Para ekonom ini lalu bergandengan tangan dengan para birokrasi, penguasa politik di Makkah ketika itu. Makaterjadi sinergi dan kombinasi dua kekuatan besar yang mencengkram Makkah.
Salah satu misi utama Islam adalah pembebasan perempuan dari segala hegemoni, kekerasan, eksploitasi, dan krimininalitas. Ketika orang-orang Makkah malu mempunyai anak perempuan sebagai symbol kelemahan dan ketidakberdayaan, Islam datang dengan menghapus asumsi negatif semacam itu. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia. Islam mengharamkan tradisi kafir jahiliyyah yang membunuh hidup-hidup anak perempuan, sebagai tindakan biadab-sadis yang tidak berperikemanusiaan.
Fakta Teologis-Sejarah
Badriyah Fayumi (2007) mencatat, pada masa sebelum Islam, perempuan ketika menstruasi (haidl) dipandang oleh kaum Yahudi sebagai makhluk kotor, sehingga para perempuan tersebut diasingkan di gunung-gunung, di bukit-bukit, mereka diberi tanda khusus, misalnya celak, pacar, mark up, dan lain-lain. Islam kemudian datang dengan doktrin yang sangat radikal dan revolusioner. Islam memandang haidl bagi perempuan adalah suatu yang alamiyah, normal, dan sebagai salah satu tanda kesuburannya. Oleh sebab itu tidak boleh diasingkan, apalagi disiksa. Perempuan yang sedang haidl harus diperlakukan seperti biasa. Sabda Nabi “ishna’u kulla syaiin illa al-nikah’, lakukan apa saja kecuali bersetubuh. Sabda Nabi ini sangat revolusioner pada waktu dulu. Sebuah lompatan ajaran dan budaya yang mampu mengubah persepsi minor terhadap perempuan yang sedang haidl. Nabi memberikan contoh dengan minum bersama Aisyah ketika sedang haidl
Entry Point Fiqh atas Pemberdayaan Perempuan
Melihat realitas sosial inilah, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melakukan kajian teks-teks fiqh (al-nushus al-fiqhiyyah) secara maksimal, baik dalam menganalisis, mengkomparasikan, dan memilih pendapat yang rajah (unggul) dalam pergumulan tradisi dan budaya Indonesia dengan teks-teks fiqh yang ada. Kita ingin menjadikan fiqh sebagai entry point pemberdayaan perempuan dalam aspek moralitas, intelektualitas, dan dedikasi sosial kemasyarakatan sebagai manifestasi peran publiknya. Emansipasi yang tetap dalam koridor dan bingkai syari’at Islam yang luhur, toleran, dan progresif.
Pelacakan dan pengembaraan dalam mengkaji teks-teks fiqh (alnushus al-fiqhiyyah) adalah langkah utama dalam melahirkan pemikiran integral, holistik, dan moderat yang bersenyawa dengan tradisi bangsa ini. Melakukan komparasi (muqoronah) satu pendapat dan pendapat lain adalah langkah kedua, baru kemudian memilih pendapat yang lebih rajih (unggul) dari segi dalil dan kemaslahatan social. Semua langkah ini dilakukan demi satu tujuan : menghadirkan fiqh sebagai solusi bagi problem sosial dengan cirinya yang moderat dan progresif. Langkah ini mendesak kita lakukan, melihat eskalasi gerakan feminisme liberal sudah masuk dalam jantung pertahanan umat ini dengan bendera dekonstruksi khazanah Islam. Konsep fiqh ingin disesuaikan dengan frame thinking mereka.
Kondisi yang demikian menjadi tantangan yang tidak ringan. Sebab, kalangan feminis telah berupaya melakukan dekonstruksi doktrin fiqh serta berupaya pula menggantikannya dengan ideologi kaum feminis yang sekuler dan liberal serta anti tuhan. Oleh karena itu, respon cepat dibutuhkan oleh semua elemen umat Islam yang tidak ingin desakralisasi fiqh menjadi niscaya.
Fakta Islam tidak Diskriminatif
Sejarah merekam banyak perempuan yang terkemuka dan terpandang karena kedalaman ilmu dan kezahidannya. Sebut saja Siti Khadijah, Siti Aisyah dan seterusnya. ‘Amrah binti ‘Abd Al-Rahman, sebagai seorang seorang faqihah yang sangat alim. Pada masa Mu’awiyah juga muncul tokoh-tokoh perempuan, seperti Ummu Banin, permaisuri Khalifah Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik yang sangat terkenal, karena pengetahuan dan wawasannya yang luas dan visinya yang jauh ke depan. Dia sering kali menjadi tempat untuk meminta saran dan pendapat oleh khalifah. Dan masih banyak lagi dalam khazanah sejarah keilmuan Islam yang akan kita temukan tokoh perempuan memiliki peran yang tidak kecil pada masanya.
‘ala kulli hal, dari uraian tersebut di atas, diperoleh gambaran jika Islam sanagat memperkenankan peran perempuan tampil bersama laki-laki dalam memakmurkan bumi Allah. Namun, tetap dalam koridor Islam dan tidak melanggar ajaran Islam (baca : al-Quran dan al-Hadits), dengan keagungan moral. Wallahu a’lam. . . .
(Penulis adalah Wakil Direktur FiSTaC)
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-kitab-kuning-dan-perempuan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar