Oleh: Suaidi Asyari*
Isu permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan belakangan ini sangat penting untuk dicermati oleh semua pihak dengan memperhatikan berbagai aspek selain aspek hukum saja. Secara khusus ini penting bagi anak-anak yang sudah dapat memahami makna kehidupan bersama keluarga (hadirnya ayah dan ibu).
Fakta bahwa begitu banyak pasangan beda agama yang kemudian bercerai setelah memperoleh anak, atau setelah gagal memindahagamakan pasangannya sangat perlu dijadikan bahan pertimbangan pendapat. Terlepas dari apapun agamanya.Isu permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan belakangan ini sangat penting untuk dicermati oleh semua pihak dengan memperhatikan berbagai aspek selain aspek hukum saja. Secara khusus ini penting bagi anak-anak yang sudah dapat memahami makna kehidupan bersama keluarga (hadirnya ayah dan ibu).
Jika ditanya dengan jujur, tentu tidak ada sebuah keluarga yang dibangun yang kemudian dibubarkan secara terencana setelah mempunyai keturunan. Tetapi dalam sejumlah kasus, khususnya pasangan kawin beda agama di antara selebritis, berpisah setelah mempunyai anak seolah sebuah pilihan terencana. Jika saya gagal membuat pasangan saya pindah keyakinan, maka sayalah yang menuntut untuk berpisah.
Sampai saat ini sudah lebih dari 10 pasangan selebritis yang kawin beda agama dan seolah tadinya sangat bahagia tetapi sekarang sudah resmi bercerai. Ada diantaranya yang secara terang-terangan menyatakan bahwa perbedaan agamalah penyebab perceraian mereka. Tetapi ada juga yang berusaha menyelimutinya dengan alasan lain.
Sebagai contoh Jamal Mirdad (Islam) - Lidya Kandau (Kristen) bercerai setelah 26 tahun menikah. Jelas cerai atas alasan agama. Ira Wibowo (Islam) - Katon Bagaskara (Kristen) bercerai setelah 17 tahun menikah, Yuni Sara - Henry Siahaan (17 tahun), Dewi Sandra - Glenn Fredly (4 tahun), Deddy Corbuzier - Kalina (8 tahun), dan yang sekarang sedang menempuh proses perceraian Tessa Kaunang - Sandy Tumewa sedang proses cerai 2014.
PemicuTerlepas dari dorongan “cinta” atau “nafsu”, mereka yang kawin beda agama tentu menggunakan logika sekuler Universal Declartion of Human Rights 1948 sebagai dasar hukumnya, yaitu Hak Azazi Manusia, bukan agama. Mereka yang memilih pasangan sesama jenis (lesbian dan humoseks) juga menggunakan deklarasi ini, khususnya pasal 16 tentang kebebasan memilih pasangan dan pasal 18 tentang kebebasan memilih agama.
Peristiwa KBA kemungkinan besar disebabkan oleh intensitas pertemuan diantara calon pasangan dalam profesi/pekerjaan sehari-hari. Tidak juga tertutup kemungkinan sebuah strategi dakwah/missionari untuk menggaet calon pasangan berpindah agama yang didahului oleh ikatan pernikahan. Ini tentu hanya berlaku bagi agama ekspansif dimana menambah menganut dari agama lain adalah tugas suci. Artinya bukan karena sebuah kebetulan an sich. Hal ini menjadi mirip dengan yang menjadi anggota legislatif dan olahragawan dan profesi yang memerlukan intensitas pertemuan melebihi jam kerja biasa. Pekerjaan yang menyita waktu nyaris tanpa batas ketika dikejar jam tayang, masa sidang, pertandingan atau sejenisnya.
Penomena MenarikSesungguhnya seseorang yang mau menikah dengan seseorang yang berbeda agama dapat dipandang tidak lagi mementingkan agama, tetapi “cinta”. Mungkin yang diperlukan adalah pengakuan di hadapan umum bahwa mereka serumah di atas ikatan legalitas hukum, bukan cinta/nafsu semata.
Namun yang terlihat menarik bahkan terasa aneh, mereka tetap meminta fatwa agama. Akan semakin menarik kemudian ketika yang diminta fatwa memberikan jawaban atas penomena yang terjadi sebagai alasan untuk menentukan pendapatnya, bukan rujukan agama. Bukan sebaliknya, yaitu penomena sosial yang memperkuat logika agama.
Hak Tuhan, Hak Anak dan PerceraianJika ditelusuri kasus perceraian sejumlah “idola?” masyarakat selama ini, maka yang terlihat adalah pentingnya Hak Azazi Tuhan diperhatikan ketika usia mendekati tua, atau mati. Namun sebagian diantara mereka mulai merasakan pentingnya untuk menyelamatkan anak dari neraka. Ibu dan ayah akan menyalamat anaknya dari neraka jika dia tidak diberikan pelajaran agama yang dianut ayah atau ibunya.
Adakalanya ibu memaksakan anaknya untuk mengikutinya ke Gereja, sementara ayahnya memaksanya ke Masjid, atau sebaliknya. Masing-masing tanpa sadar memasung hak anak mereka karena memikirkan tanggung jawab adanya Hak Tuhan. Adalah Hak Tuhan untuk memasukkan salah satu atau semua mereka/kita ke neraka atau surga.
Ketika masing-masing merasa akan atau telah gagal memainkan peran untuk tujuan menyelamatkan pasangannya berpindah ke agamanya, maka seringkali munculnya Hak Veto bahwa Hak Tuhan lebih utama dari hak pasangan atau anak, “keluarga, anak, istiri adalah nomor satu ... tetapi aku lebih menomorsatukan Yang Nomor Satu (Tuhan), (demikian Jamal Mirdad 2013). Di sinilah hak anak untuk hidup nyaman di bawah asuhan orang tuanya terabaikan oleh mereka yang tadi memperjuangkan Hak Azazi Manusia. Namun terlihat di atas semua hak itu ada Hak Azazi Tuhan.
Jalan KeluarBarangkali pilihan terbaik adalah hidup berpasangan tanpa nilai agama dengan tidak mempunyai keturunan dan buanglah sejauh-jauhnya istilah Tuhan dan dosa. Dalam Universal Declartion of Human Rights 1948 itu tidak ada konsep Tuhan dan Dosa. Namun jika mempunyai keturunan hampir dapat dipastikan akan menghadapi persoalan pilihan agama anak.
Istilah dosa berkaitan erat dengan kematian. Karena itu pilihan ini seharusnya juga mengabaikan istilah kematian, atau keyakinan bahwa roh yang berpindah dari jasatnya akan berhadapan dengan Tuhan yang akan meminta pertanggungan jawaban hidup di dunia ini. Karena itu pula, maka Tuhan juga tidak perlu lagi ada dalam pemikirannya.
Pilihan lain, pastikan sepenuhnya bahwa dirinya tidak begitu yakin dengan agama yang dianut dan akan siap berpindah agama tanpa peduli orang tua dan anak-anak anda. Jika suatu hari pasangannya berhasil meyakinkan dan membujuk salah satunya, ini sudah disadari sebelumnya. Mungkin masing-masing perlu membuat pernyataan di atas kertas, sehingga masing-masing punya pegangan.
Seharusnya sudah disiapkan pula berjanjian bahwa anak yang lahir dari kedua meraka nanti akan memeluk agama apa. Namun begitu kedua pasangan ini membuat pernyataan itu, maka sesungguhnya sudah melanggar HAM calon anaknya. Dengan pilihan ini pula berarti, ada anggapan bahwa anak keturunannya tidak akan lebih cerdas dari ayah dan ibunya.
Kemungkinan pilihan lain adalah pindah ke negara lain yang tidak mempunyai kolom agama pada formulir identitas kewarganegaraan. Kesadaran agama juga tidak ada lagi dalam masyarakatnya. Tetapi ingat mendaftarkan ikatan perkawinan tetap saja diwajibkan di negara manapun di dunia ini.
Pilihan terakhir dan mungkin lebih arif, jika sekiranya anda tidak memenuhi alternatif di atas, maka sebaiknya anda tidak bergaul dengan penganut agama lain, apabila anda tidak mampu menahan diri ketika dirayu oleh lawan jenis baik atas dasar nafsu, kecantikan/kegagahan, jabatan dan kekayaan materi lainnya.
Dengan logika ini sesungguhnya persoalan penting dalam KBA bukanlah persoalan hukum, tetapi lebih banyak pada persoalan kekeluargaan dan sosial. Bisa saja sebuah fatwa agama melarang tetapi argumen sosialnya menyatakan boleh atau mungkin, maka itulah yang dilakukan oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya, boleh saja sebuah fatwa agama membolehkan/menghalalkan, tetapi argumen sosial melarangnya, maka keputusan itulah yang mungkin lebih baik diambil oleh seseorang.
*Direktur Eksekutif CSCIIS Jambi dan Ketua Forum Dekan Fakultas Ushuluddin se Indonesia. Tulisan ini pendapat pribadi.
Sebagai contoh Jamal Mirdad (Islam) - Lidya Kandau (Kristen) bercerai setelah 26 tahun menikah. Jelas cerai atas alasan agama. Ira Wibowo (Islam) - Katon Bagaskara (Kristen) bercerai setelah 17 tahun menikah, Yuni Sara - Henry Siahaan (17 tahun), Dewi Sandra - Glenn Fredly (4 tahun), Deddy Corbuzier - Kalina (8 tahun), dan yang sekarang sedang menempuh proses perceraian Tessa Kaunang - Sandy Tumewa sedang proses cerai 2014.
PemicuTerlepas dari dorongan “cinta” atau “nafsu”, mereka yang kawin beda agama tentu menggunakan logika sekuler Universal Declartion of Human Rights 1948 sebagai dasar hukumnya, yaitu Hak Azazi Manusia, bukan agama. Mereka yang memilih pasangan sesama jenis (lesbian dan humoseks) juga menggunakan deklarasi ini, khususnya pasal 16 tentang kebebasan memilih pasangan dan pasal 18 tentang kebebasan memilih agama.
Peristiwa KBA kemungkinan besar disebabkan oleh intensitas pertemuan diantara calon pasangan dalam profesi/pekerjaan sehari-hari. Tidak juga tertutup kemungkinan sebuah strategi dakwah/missionari untuk menggaet calon pasangan berpindah agama yang didahului oleh ikatan pernikahan. Ini tentu hanya berlaku bagi agama ekspansif dimana menambah menganut dari agama lain adalah tugas suci. Artinya bukan karena sebuah kebetulan an sich. Hal ini menjadi mirip dengan yang menjadi anggota legislatif dan olahragawan dan profesi yang memerlukan intensitas pertemuan melebihi jam kerja biasa. Pekerjaan yang menyita waktu nyaris tanpa batas ketika dikejar jam tayang, masa sidang, pertandingan atau sejenisnya.
Penomena MenarikSesungguhnya seseorang yang mau menikah dengan seseorang yang berbeda agama dapat dipandang tidak lagi mementingkan agama, tetapi “cinta”. Mungkin yang diperlukan adalah pengakuan di hadapan umum bahwa mereka serumah di atas ikatan legalitas hukum, bukan cinta/nafsu semata.
Namun yang terlihat menarik bahkan terasa aneh, mereka tetap meminta fatwa agama. Akan semakin menarik kemudian ketika yang diminta fatwa memberikan jawaban atas penomena yang terjadi sebagai alasan untuk menentukan pendapatnya, bukan rujukan agama. Bukan sebaliknya, yaitu penomena sosial yang memperkuat logika agama.
Hak Tuhan, Hak Anak dan PerceraianJika ditelusuri kasus perceraian sejumlah “idola?” masyarakat selama ini, maka yang terlihat adalah pentingnya Hak Azazi Tuhan diperhatikan ketika usia mendekati tua, atau mati. Namun sebagian diantara mereka mulai merasakan pentingnya untuk menyelamatkan anak dari neraka. Ibu dan ayah akan menyalamat anaknya dari neraka jika dia tidak diberikan pelajaran agama yang dianut ayah atau ibunya.
Adakalanya ibu memaksakan anaknya untuk mengikutinya ke Gereja, sementara ayahnya memaksanya ke Masjid, atau sebaliknya. Masing-masing tanpa sadar memasung hak anak mereka karena memikirkan tanggung jawab adanya Hak Tuhan. Adalah Hak Tuhan untuk memasukkan salah satu atau semua mereka/kita ke neraka atau surga.
Ketika masing-masing merasa akan atau telah gagal memainkan peran untuk tujuan menyelamatkan pasangannya berpindah ke agamanya, maka seringkali munculnya Hak Veto bahwa Hak Tuhan lebih utama dari hak pasangan atau anak, “keluarga, anak, istiri adalah nomor satu ... tetapi aku lebih menomorsatukan Yang Nomor Satu (Tuhan), (demikian Jamal Mirdad 2013). Di sinilah hak anak untuk hidup nyaman di bawah asuhan orang tuanya terabaikan oleh mereka yang tadi memperjuangkan Hak Azazi Manusia. Namun terlihat di atas semua hak itu ada Hak Azazi Tuhan.
Jalan KeluarBarangkali pilihan terbaik adalah hidup berpasangan tanpa nilai agama dengan tidak mempunyai keturunan dan buanglah sejauh-jauhnya istilah Tuhan dan dosa. Dalam Universal Declartion of Human Rights 1948 itu tidak ada konsep Tuhan dan Dosa. Namun jika mempunyai keturunan hampir dapat dipastikan akan menghadapi persoalan pilihan agama anak.
Istilah dosa berkaitan erat dengan kematian. Karena itu pilihan ini seharusnya juga mengabaikan istilah kematian, atau keyakinan bahwa roh yang berpindah dari jasatnya akan berhadapan dengan Tuhan yang akan meminta pertanggungan jawaban hidup di dunia ini. Karena itu pula, maka Tuhan juga tidak perlu lagi ada dalam pemikirannya.
Pilihan lain, pastikan sepenuhnya bahwa dirinya tidak begitu yakin dengan agama yang dianut dan akan siap berpindah agama tanpa peduli orang tua dan anak-anak anda. Jika suatu hari pasangannya berhasil meyakinkan dan membujuk salah satunya, ini sudah disadari sebelumnya. Mungkin masing-masing perlu membuat pernyataan di atas kertas, sehingga masing-masing punya pegangan.
Seharusnya sudah disiapkan pula berjanjian bahwa anak yang lahir dari kedua meraka nanti akan memeluk agama apa. Namun begitu kedua pasangan ini membuat pernyataan itu, maka sesungguhnya sudah melanggar HAM calon anaknya. Dengan pilihan ini pula berarti, ada anggapan bahwa anak keturunannya tidak akan lebih cerdas dari ayah dan ibunya.
Kemungkinan pilihan lain adalah pindah ke negara lain yang tidak mempunyai kolom agama pada formulir identitas kewarganegaraan. Kesadaran agama juga tidak ada lagi dalam masyarakatnya. Tetapi ingat mendaftarkan ikatan perkawinan tetap saja diwajibkan di negara manapun di dunia ini.
Pilihan terakhir dan mungkin lebih arif, jika sekiranya anda tidak memenuhi alternatif di atas, maka sebaiknya anda tidak bergaul dengan penganut agama lain, apabila anda tidak mampu menahan diri ketika dirayu oleh lawan jenis baik atas dasar nafsu, kecantikan/kegagahan, jabatan dan kekayaan materi lainnya.
Dengan logika ini sesungguhnya persoalan penting dalam KBA bukanlah persoalan hukum, tetapi lebih banyak pada persoalan kekeluargaan dan sosial. Bisa saja sebuah fatwa agama melarang tetapi argumen sosialnya menyatakan boleh atau mungkin, maka itulah yang dilakukan oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya, boleh saja sebuah fatwa agama membolehkan/menghalalkan, tetapi argumen sosial melarangnya, maka keputusan itulah yang mungkin lebih baik diambil oleh seseorang.
*Direktur Eksekutif CSCIIS Jambi dan Ketua Forum Dekan Fakultas Ushuluddin se Indonesia. Tulisan ini pendapat pribadi.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-17986-kawin-ham--vs-cerai-hak-azasi-tuhan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar