Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum*
Martir demokrasi, begitulah sebutan bagi mahasiswa yang pada saat peristiwa reformasi memuncak di negeri ini, mereka tumbang oleh hantaman peluru panas dari aparat keamanan negara yang diutus untuk menstabilkan desakan gelombang gerakan mahasiswa menuntut reformasi dari rezim otoriter orde baru. Saat itu, mereka adalah martir bagi tegakknya demokrasi yang diimpikan selama lebih tiga puluh dua tahun orde baru berkuasa, dan selama itu pula hak rakyat akan kehidupan demokrasi yang semestinya dibungkam dan dikangkangi oleh keotoriteran orde baru bersama sistem kekuatan militernya.
Gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa itu tidak terelakkan lagi pada masa orde baru, pasca dinyatakan terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia ditahun 1998, dan semakin memasukkan kroni-kroni dan dinasti politiknya pada susunan kabinet yang dibentuknya. Disamping itu, kekerasan atas nama stabilitas politik semakin masif diberlakukan kepada rakyat dengan menafikkan hak asasi manusia. Dibidang ekonomi, kesenjangan juga semakin menunjukkan wajahnya antara kondisi-kondisi yang semakin tidak menguntungkan, tidak berpihak dan tidak mensejahterakan rakyat, melainkan keberpihakkan lebih kepada klien-klien orde baru yang dimonopoli oleh borjuasi lokal dan pihak asing. Pembangunan sebagai konsep ketahanan orde baru menghisap begitu banyak darah rakyat dan menggelembungkan kapitalis, bukan rakyat.Sejarah gerakan mahasiswa di negeri ini telah berlangsung beberapa dekade, pada masa kemerdekaan, hingga reformasi. Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari penguatan civil society dalam domain antara subkultur kekuasaan yaitu negara, subkultur ekonomi yaitu pihak swasta, dan subukultur sosial yaitu rakyat. Respon mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik terhadap kondisi disekitar mereka merupakan suatu kesadaran yang dibangun oleh kelas mereka untuk mengawal ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakberpihakkan subkultur kekuasaan yang seharusnya melayani rakyat sebagai subkultur sosial yang mendukung kekuasaan bersama dengan kelas menengah terdidik tersebut.
Jika subkultur sosial dalam hal ini masyarakat dihubungkan dengan kekuasaan sebagai konstituen dan konsumen yang rentan terhadap ketidakberdayaan, maka mahasiswa yang merupakan kelas menengah dimana pendidikan yang mereka peroleh merupakan wujud keberdayaan mereka dan posisi tawar mereka berhadapan dengan kekuasaan. Kelas menengah mahasiswa ini merupakan penentu opini-opini yang berkembang disekitar kekuasaan dan isu-isu kekuasaan yang dibawa mengalir kepada subkultur sosial yang rentan terhadap ketidakberdayaan tersebut.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa disebut sebagai gerakan politik nilai yang merupakan versus dari gerakan politik praktis. Gerakan politik nilai yang termanifestasi didalam gerakan mahasiswa merupakan manifesto idealisme mahasiswa untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang orientasi utamanya adalah menegakkan kebenaran, keadilan, intelektualitas, dan profesionalitas berhadapan dengan kekuasaan negara. Sebaliknya, gerakan politik praktis adalah sebuah gerakan yang dilakukan dengan orientasi kepada kekuasaan, dan biasanya termanifestasi didalam lembaga-lembaga politik dan kelompok kepentingan lainnya yang memiliki orientasi sama.
`
Reformasi telah berlalu, belasan tahun sudah sejak 1998 beberapa tragedi yang terjadi untuk mengusung tegaknya nilai-nilai demokrasi yang lebih berpihak kepada rakyat dalam hal negara mengelola kekuasaannya diruang publik. Saat itu, kondisi yang otoriter memungkinkan idealisme gerakan mahasiswa berhadapan dengan kekuasaan masih terlihat murni, idealis, dan tidak berpretensi menumbuhkan jejaring keuntungan pribadi bagi kepala gerakannya maupun peserta gerakannya. Kondisi dan lingkungan disekitar gerakan mahasiswa juga belum terlalu parah mengidap pragmatisme.
Berbeda dari sekarang, dimana demokrasi telah bertumbuh menjadi bola liar yang bernama liberalisme dan neoliberalisme, lingkungan pendidikan tempat mahasiswa bertumbuh sebagai kelas menengah, telah terkooptasi dengan kepentingan pragmatis. Seiring dengan itu, kemajuan pesat nilai kapitalisme global telah melenakan fungsi keberadaan mereka diperguruan tinggi yang kian bertumbuh. Orientasi lembaga pendidikan yang saat ini sangat pro terhadap pasar dari bentuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menyulap jiwa-jiwa mahasiswa yang sampai pada perguruan tinggi menjadi tumpul terhadap kondisi disekitar mereka, perguruan tinggi sangat menginginkan mahasiswa menjadi anak manis yang membawa nama baik lembaga. Kondisi-kondisi sosial politik tidak lagi menekan kelas mereka sekejam pada masa orde baru berkuasa. Kekuasaan merubah kebijakan mereka berhadapan dengan mahasiswa, yaitu lebih lunak dan kooperatif. Berbagai pihak kini melihat gerakan mahasiswa adalah suatu objek potensial yang dapat dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu, apalagi pihak-pihak yang sakit hati terhadap kekuasaan dan tidak mendapatkannya.
Pola gerakan mahasiswa yang tampil adalah pola untuk merajut jejaring sosial mereka setelah nantinya mereka lulus sebagai alumni dari perguruan tinggi. Setidaknya, rasionalisasi dari idealisme yang diusung oleh gerakan mahasiswa sekarang sulit untuk dipisahkan, apakah idealisme itu corong dari kepentingan yang mengkooptasi mereka ataukah benar-benar idealisme murni yang independen karena kesadaran mereka sebagaimana pendahulu mereka diawal. Terkadang mahasiswa sendiri tidak menyadari apakah yang mereka usung diruang publik dalam bentuk-bentuk demonstrasi dapat ditakar dengan rasionalitas yang sehat dengan background yang menggerakkan mereka, memfasilitasi mereka.
Bangsa ini sangat membutuhkan figur gerakan civil society yang kuat, yang tumbuh bertunas pada gerakan yang tidak rentan untuk diberdayakan oleh pola-pola kekuasaan dan tidak terlena oleh sifat kooperatif kekuasaan. Gerakan mahasiswa sebagai tumpuan bagi gerakan diluar mahasiswa untuk menguatkan tumbuhnya civil society yang kuat dalam pilar domain negara. Jika gerakan mahasiswa sudah terkooptasi sedemikian rupa, lalu bagaimana dengan gerakan disekitarnya, dimana setelah menjadi alumni perguruan tinggi terkadang mereka meneruskan pola gerakan diluar.
*Wakil ketua II, dan dosen tetap program studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-gerakan-mahasiswa-pasca-reformasi_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar