Suwardi, S.E.Sy. |
(Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Daerah Perspektif Syariah)
Oleh: Suwardi, S.E.Sy.*
Permasalahan pembangunan ekonomi di daerah sejatinya adalah permasalahan implementasi jaminan sosial ekonomi (social economic security), kesejahteraan (welfare state), dan pemerataan pembangunan ekonomi masyarakat di satu daerah. Atas dasar itulah, maka dirasakan perlu dilakukannya kebijakan sosial (social policy) untuk terwujudnya cita-cita masyarakat yang sejahtera lepas dari problem ekonomi dan meratanya pembangunan yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Ide-ide tentang hak ekonomi rakyat dan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh tumbuh dan berkembang seiring sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya hak asasi manusia yang diperjuangkan di berbagai belahan dunia (Barat – Timur), yang kemudian melahirkan The Bill of Right di Inggris, yang didukung oleh Revolusi Perancis pada tahun 1789, yang dikenal dengan semboyan egalitee, freternity dan libertie. Serta klimaksnya adalah lahirnya The Universal Declaration of Human (1949).Oleh: Suwardi, S.E.Sy.*
Permasalahan pembangunan ekonomi di daerah sejatinya adalah permasalahan implementasi jaminan sosial ekonomi (social economic security), kesejahteraan (welfare state), dan pemerataan pembangunan ekonomi masyarakat di satu daerah. Atas dasar itulah, maka dirasakan perlu dilakukannya kebijakan sosial (social policy) untuk terwujudnya cita-cita masyarakat yang sejahtera lepas dari problem ekonomi dan meratanya pembangunan yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Dari kontekstualitas diskusi dan isu atas hak dan kesejahteraan ekonomi rakyat tersebut di atas dapat di-mafhumi jika keduanya tidak bisa saling dipisahkan antara satu dengan lainnya dan merupakan wujud dari satu kesatuan etika pembangunan dan kebijakan politik yang pro rakyat.
Negara Sejahtera, antara Konsep dan Kritik
Ide dasar Negara Kesejahteraan muncul dari abad ke – 18 ketika Jeremy Bentham (father of welfare states, 1748 – 1832) mempromosikan ide bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (baca : welfare) of the greatest number of their citizens. Pada saat itu, Bentham menggunakan istilah utility untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Menurutnya aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.
Akan tetapi dalam praktik dan perjalanannya kemudian hari kritik atas kebijakan welfare state. Yakni, diberlakukannya pajak tinggi untuk dapat menanggung beban terhadap pelaksanaan jaminan sosial ekonomi (social economic security), selain itu akibat dari sistem yang demikian inilah timbul problem financial negara berupa krisis finansial, yang diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang bergerak lamban, laju inflasi yang membumbung tinggi, biaya produksi yang meningkat tidak terkendali yang kesemua itu sudah pasti menimbulkan kaselerasi ekonomi biaya tinggi. Kondisi peta ekonomi yang demikian berimbas kepada kondisi ekonomi yang tidak stabil, pengeluaran negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tinggi yang ending nya adalah mengancam terjadinya defisit anggaran. Problem ekonomi yang ditimbulkan demikian inilah yang mengaibatkan pesona welfare state menjadi pudar hilang tanpa pesona.
Francis Fukuyama dalam bukunya, State-Building : Governance and World Orderin the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperbesar jumlah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menylut konflik sosial dan perang sipil. Menurutnya kesejahteraan tidak mungkin tercapai jika tidak diimbangi dengan negara yang kuat, begitu juga sebaliknya, negara tidak akan bertahan lama jika tidak dihadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah konsepsi welfare state yang demikian ini akan mengakibatkan kuatnya sebuah negara ? hemat penulis, teori tersebut di atas sangat relevan dan tidak memiliki nilai yang kurang, namun, apabila konsepsi pajak tinggi yang dibebankan kepada warga negara dan hanya akan menimbulkan defisit anggaran hal itu sama saja akan menumbangkan kekuatan negara yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesulitan ekonomi rakyat secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu dicarikan sebuah jalan keluar dengan konsep yang dilahirkan dari ajaran yang al – haq (baca : Islam).
Negara Sejahtera, Konsep Islam
Islam menetapkan prinsip-prinsip Jaminan Sosial secara Jelas yang teraplikasi dalam bentuk yakni, jaminan antar individu dengan sendirinya, dan antara individu dengan masyarakat. Bahkan, jaminan sosial dalam Islam juga menetapkan jaminan antara sesama umat, secara timbal balik (Sayd Qutb, 1994)
Salah satu sarana yang digunakan dalam menetapkan prinsip jaminan sosial tercermin melalui instrumen zakat sebagai jaminan individu untuk dirinya. Waris sebagai jaminan individu untuk keluarga, serta wakaf, infak dan sedekah sebagai jaminan individu untuk masyarakat secara timbal balik. Prinsip inilah yang membedakan dengan secara jelas antara welfare state system yang memberlakukan pajak progresif yang secara etis sangat memberatkan, selain itu pemberian bantuan secara menerus hanya akan menimbulkan mental-mental pemalas di kalangan masyarakat dibandingkan dengan ajaran Islam yang hanif, yang mengajarkan konsepsi keadilan dan pemerataan dalam memberikan wilayah kesejahteraan bagi masyarakat.
Keadilan Distribusi sebagai Kebijakan Utama
Terminologi keadilan dalam al – Quran disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd atau variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya. Setelah kata ‘Allah’ dan ‘pengetahuan’, keadilan dengan berbagai terminologinya merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam al – Quran (P3EI UII dan BI, 2012).
Dari berbagai makna adil dan keadilan, serta implementasinya di atas, dipahami bahwa keadilan dalam distribusi, merupakan satu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi, sehingga menciptakan keadilan merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam ekonomi Islam. Keadilan dalam distribusi diartikan suatu distribusi pendapatan dan kekayaan, secara adil sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal. Keadaan sosial yang benar ialah keadaan yang memprioritaskan kesejajaran, yang ditandai dengan tingkat kesejajaran pendapatan (kekayaan) yang tinggi dalam sistem sosial. Serta memberikan kesempatan yang sama dalam berusaha, dan menjamin terwujudnya aturan yang menjamin setiap orang mendapatkan haknya berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya ialah memastikan bahwa struktur produksi harus menjamin terciptanya hasil-hasil yang adil, (Syed Nawab Haidar Naqvi, 1994) agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat, menjamin terciptanya pembagian yang adil dalam kemakmuran (Ruslan Abdul Gafur, 2011).
Dari konsepsi tersebut di atas, timbul pertanyaan untuk kita semua. Apakah cabang-cabang produksi di daerah sudah difungsikan secara maksimalkan untuk kesejahteraan rakyat di daerah ? apakah telah terpunhi konsepsi keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga ? pertanyaan-pertanyaan demikian kerap kita suguhkan dalam diskusi di ruang publik. Namun, jawaban sumir terkadang lahir dari semua upaya gugatan rakyat kecil – elit pinggiran di negeri ini. Sebab, pemerintah terkadang dengan berbagai dalih angka-angka statistika terkadang akan mengatakan jika keadilan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan pembangunan ekonomi telah terwujud dengan program-program pembangunan yang berkelanjutan - - kilah pemerintah.
Akan tetapi bagaimana dengan hasil penelitian oleh segenap peneliti dan akademisi ? terkadang jauh berbeda dengan angka yang dimiliki oleh pemerintah. Meski tidak penulis cantumkan dalam tulisan singkat ini, namun sudah menjadi rahasia umum jika data yang dimiliki oleh tim pemerintah dengan data yang dimiliki oleh peneliti murni akademisi cenderung berseberangan. Contoh kecilnya adalah soal angka kemiskinan dan pengangguran. Keadilann distribusi yang membangun kesejahteraan dan pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi, dan kemakmuran bisa dilihat dari konsep Islam mengajarkan pemberian dan pemberlakuan filantropi yang konseptual dan dipertanggungjawabkan secara moral etis.
ZISWAF, Konsep dan Aplikasi Kesejahteraan
Zakat, sebagai bentuk tanggung jawab moral etis yang bersifat fardlu ‘ain bagi individu muslim, merupakan konsep pemerataan pendapatan dan kesejahteraan dalam wilayah ekonomi kenegaraan. Namun, pergeseran akan penyaluran zakat sebagai media pertanggungjawaban moral muslim kepada agama dan juga negara, saat ini Zakat dilembagakan dalam bentuk Badan Amil Zakat Nasional (Daerah), yang menghimpun dan menyalurkan kepada para mustahik, jika diwujudkan secara produktif, maka akan mempu memberdayakan ekonomi kerakyatan dari mental pemalas dan pemelas menjadi menjadi mental pemberi muzakki dikemudian hari. Artinya, zakat tidak sekedar sumbangan konsumtif yang habis pakai sekali guna, namun dapat difungsikan dengan berbagai arah melalui pembentukan community Development Program, pendampingan wirausaha berkelanjutan dan sebaginya.
Demikian juga halnya dengan Infak, Shadaqah dan Wakaf. Sudah semestinya negara memainkan peranan yang lebih dalam mendayagunakan peotensi sumber-sumber filantropi Islam tersebut dengan membentuk lembaga negara yang memberikan manfaat lebih dan berdayaguna dalam bentuk produktivitas penyaluran dan penggunaannya, tidak sekedar yang bernuansa konsumtif yang hanya akan melahirkan masyarakat pemalas. Sebagai contoh Bantuan Langsung Tunai, bukan berarti tidak bermanfaat, tetapi hanya akan memberikan beban sosial yang tinggi dikemudian hari, bagaimana jika dana BLT tersebut difungsikan sebagai bentuk alokasi pemberdayaan masyarakat melalui, program-program sejuta wirausahawan dsb. Lebih bermanfaat, dan tidak merendahkan Indonesia dimata bangsa lain.
Oleh karena itu, konsepsi Ekonomi Syariah yang berlandaskan kepada al – Quran dan al – Hadits Nabi saw yang memiliki orientasi at – tauhid, an – Nubuwwah, al – ‘adl, al – Tazkiyah, al – Ma’ad, al – Falah, merupakan konsep ekonomi pembangunan berkelanjutan yang tepat gunan dengan instrumen-instrumen ekonomi dan keuangan serupa ZISWAF tersebut, sebagai sumber filantropi Islam mencapai kesejahteraan bersama. Jika demikian, kenapa tidak kita sadur kebijakan ekonomi Syariah dalam konteks negara ? wallahu A’lam.
*Wakil Direktur FiSTaC, anggota Pelanta.
Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah konsepsi welfare state yang demikian ini akan mengakibatkan kuatnya sebuah negara ? hemat penulis, teori tersebut di atas sangat relevan dan tidak memiliki nilai yang kurang, namun, apabila konsepsi pajak tinggi yang dibebankan kepada warga negara dan hanya akan menimbulkan defisit anggaran hal itu sama saja akan menumbangkan kekuatan negara yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesulitan ekonomi rakyat secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu dicarikan sebuah jalan keluar dengan konsep yang dilahirkan dari ajaran yang al – haq (baca : Islam).
Negara Sejahtera, Konsep Islam
Islam menetapkan prinsip-prinsip Jaminan Sosial secara Jelas yang teraplikasi dalam bentuk yakni, jaminan antar individu dengan sendirinya, dan antara individu dengan masyarakat. Bahkan, jaminan sosial dalam Islam juga menetapkan jaminan antara sesama umat, secara timbal balik (Sayd Qutb, 1994)
Salah satu sarana yang digunakan dalam menetapkan prinsip jaminan sosial tercermin melalui instrumen zakat sebagai jaminan individu untuk dirinya. Waris sebagai jaminan individu untuk keluarga, serta wakaf, infak dan sedekah sebagai jaminan individu untuk masyarakat secara timbal balik. Prinsip inilah yang membedakan dengan secara jelas antara welfare state system yang memberlakukan pajak progresif yang secara etis sangat memberatkan, selain itu pemberian bantuan secara menerus hanya akan menimbulkan mental-mental pemalas di kalangan masyarakat dibandingkan dengan ajaran Islam yang hanif, yang mengajarkan konsepsi keadilan dan pemerataan dalam memberikan wilayah kesejahteraan bagi masyarakat.
Keadilan Distribusi sebagai Kebijakan Utama
Terminologi keadilan dalam al – Quran disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd atau variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya. Setelah kata ‘Allah’ dan ‘pengetahuan’, keadilan dengan berbagai terminologinya merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam al – Quran (P3EI UII dan BI, 2012).
Dari berbagai makna adil dan keadilan, serta implementasinya di atas, dipahami bahwa keadilan dalam distribusi, merupakan satu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi, sehingga menciptakan keadilan merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam ekonomi Islam. Keadilan dalam distribusi diartikan suatu distribusi pendapatan dan kekayaan, secara adil sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal. Keadaan sosial yang benar ialah keadaan yang memprioritaskan kesejajaran, yang ditandai dengan tingkat kesejajaran pendapatan (kekayaan) yang tinggi dalam sistem sosial. Serta memberikan kesempatan yang sama dalam berusaha, dan menjamin terwujudnya aturan yang menjamin setiap orang mendapatkan haknya berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya ialah memastikan bahwa struktur produksi harus menjamin terciptanya hasil-hasil yang adil, (Syed Nawab Haidar Naqvi, 1994) agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat, menjamin terciptanya pembagian yang adil dalam kemakmuran (Ruslan Abdul Gafur, 2011).
Dari konsepsi tersebut di atas, timbul pertanyaan untuk kita semua. Apakah cabang-cabang produksi di daerah sudah difungsikan secara maksimalkan untuk kesejahteraan rakyat di daerah ? apakah telah terpunhi konsepsi keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga ? pertanyaan-pertanyaan demikian kerap kita suguhkan dalam diskusi di ruang publik. Namun, jawaban sumir terkadang lahir dari semua upaya gugatan rakyat kecil – elit pinggiran di negeri ini. Sebab, pemerintah terkadang dengan berbagai dalih angka-angka statistika terkadang akan mengatakan jika keadilan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan pembangunan ekonomi telah terwujud dengan program-program pembangunan yang berkelanjutan - - kilah pemerintah.
Akan tetapi bagaimana dengan hasil penelitian oleh segenap peneliti dan akademisi ? terkadang jauh berbeda dengan angka yang dimiliki oleh pemerintah. Meski tidak penulis cantumkan dalam tulisan singkat ini, namun sudah menjadi rahasia umum jika data yang dimiliki oleh tim pemerintah dengan data yang dimiliki oleh peneliti murni akademisi cenderung berseberangan. Contoh kecilnya adalah soal angka kemiskinan dan pengangguran. Keadilann distribusi yang membangun kesejahteraan dan pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi, dan kemakmuran bisa dilihat dari konsep Islam mengajarkan pemberian dan pemberlakuan filantropi yang konseptual dan dipertanggungjawabkan secara moral etis.
ZISWAF, Konsep dan Aplikasi Kesejahteraan
Zakat, sebagai bentuk tanggung jawab moral etis yang bersifat fardlu ‘ain bagi individu muslim, merupakan konsep pemerataan pendapatan dan kesejahteraan dalam wilayah ekonomi kenegaraan. Namun, pergeseran akan penyaluran zakat sebagai media pertanggungjawaban moral muslim kepada agama dan juga negara, saat ini Zakat dilembagakan dalam bentuk Badan Amil Zakat Nasional (Daerah), yang menghimpun dan menyalurkan kepada para mustahik, jika diwujudkan secara produktif, maka akan mempu memberdayakan ekonomi kerakyatan dari mental pemalas dan pemelas menjadi menjadi mental pemberi muzakki dikemudian hari. Artinya, zakat tidak sekedar sumbangan konsumtif yang habis pakai sekali guna, namun dapat difungsikan dengan berbagai arah melalui pembentukan community Development Program, pendampingan wirausaha berkelanjutan dan sebaginya.
Demikian juga halnya dengan Infak, Shadaqah dan Wakaf. Sudah semestinya negara memainkan peranan yang lebih dalam mendayagunakan peotensi sumber-sumber filantropi Islam tersebut dengan membentuk lembaga negara yang memberikan manfaat lebih dan berdayaguna dalam bentuk produktivitas penyaluran dan penggunaannya, tidak sekedar yang bernuansa konsumtif yang hanya akan melahirkan masyarakat pemalas. Sebagai contoh Bantuan Langsung Tunai, bukan berarti tidak bermanfaat, tetapi hanya akan memberikan beban sosial yang tinggi dikemudian hari, bagaimana jika dana BLT tersebut difungsikan sebagai bentuk alokasi pemberdayaan masyarakat melalui, program-program sejuta wirausahawan dsb. Lebih bermanfaat, dan tidak merendahkan Indonesia dimata bangsa lain.
Oleh karena itu, konsepsi Ekonomi Syariah yang berlandaskan kepada al – Quran dan al – Hadits Nabi saw yang memiliki orientasi at – tauhid, an – Nubuwwah, al – ‘adl, al – Tazkiyah, al – Ma’ad, al – Falah, merupakan konsep ekonomi pembangunan berkelanjutan yang tepat gunan dengan instrumen-instrumen ekonomi dan keuangan serupa ZISWAF tersebut, sebagai sumber filantropi Islam mencapai kesejahteraan bersama. Jika demikian, kenapa tidak kita sadur kebijakan ekonomi Syariah dalam konteks negara ? wallahu A’lam.
*Wakil Direktur FiSTaC, anggota Pelanta.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-politik-ekonomi-syariah_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar