Suwardi, S.E.Sy. |
Oleh: Suwardi, S.E.Sy.*
Ritual demokrasi lima tahunan (baca : Pemilu) Indonesia memasuki masa paripurna. Ritual demokrasi yang diikuti oleh Partai Politik dengan latar belakang ideologi yang berbeda turut serta dalam penghambaan diri terhadap sistem pemerintahan yang mengaku Demokrasi. Sistem politik yang multi partai sekelas Indonesia, memang memiliki magnet yang luar biasa untuk memaksa dan mengajak rakyat Indonesia untuk turut serta ikut dalam pesta lima tahunan ini. Lihat saja, data yang didasarkan kepada DCT oleh KPU menunjukkan jika jumlah Caleg secara Nasional berjumlah sampai dengan hampir dua ratus ribuan Caleg.
Jumlah tersebut mungkin masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang sejatinya memiliki hasrat yang kuat untuk berpartisipasi dalam ritual Demokrasi tersebut, namun gagal oleh seleksi administrasi yang diatur oleh Undang-undang Pemilu. Akan tetapi bukan keinginan penulis untuk mengurai dan atau mengkaji lebih jauh perbandingan rakyat Indonesia yang ingin dan yang telah terdaftar sebagai Caleg pada Pemilu 2014 saat ini. Namun, kesempatan ini penulis ingin mengurai sejauh mana kemapanan individu selaku calon Legislator.
Sebagaimana kita mafhumi bersama dalam ritual Demokrasi lima tahunan ini, ada tiga tingkatan pemilu legislatif yaitu DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara rinci, jumlah daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 77 dapil dengan 560 kursi. DPD terdiri dari 33 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan 132 kursi. DPRD provinsi ada 259 dapil dengan 2.112 kursi. Lalu terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.102 dapil dengan 16.895 kursi. Maka yang diperebutkan (secara nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan. Jumlah calon (secara nasional) lebih kurang 200 ribu orang.
Jumlah 200 ribu – an orang tersebut dengan latar belakang pendidikan yang beragam pula, mulai dari lulusan SMA sampai dengan Doktor (S3) bahkan juga Guru Besar (Professor). Yang sudah pasti memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda pula sebelumnya, mulai dari birokrat, aktivis sosial, profesional, petani, buruh dan sebagainya.
Memang benar jenjang pendidikan tidak menjadi sarat mutlak dalam Pemilu di Indonesia, meski ada beberapa Partai Politik yang mensyaratkan para Caleg-nya agar minimal berpendidikan S1. Hal itu dilakukan, agar partai tersebut dapat dikatakan partai yang mempersiapkan kader pemimpin yang berkualitas, berpengetahuan dan berpendidikan dan berwawasan luas, sehingga mampu menyelesaikan persoalan bangsa yang kian pelik.
Akan tetapi, tidak sedikit juga partai politik yang tidak membatasi diri terhadap jenjang pendidikan para Caleg-nya, mulai dari SMA – S3, bahkan ada juga yang hanya lulusan Paket C dan sejenisnya. Bagi penulis apapun latar belakang pendidikannya dan jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh para caleg tidaklah menjadi persoalan, yang dipersoalkan oleh penulis dan juga mungkin para pemilih lainnya adalah sejauhmana wawasan dan pengetahuan para caleg yang akan bertarung dalam pemilu 9 April 2014 mendatang.
*****
Semaraknya ritualitas demokrasi kali ini juga dimanfaatkan oleh stasiun televisi swasta di Jambi yang menggelar dialog dan debat para kandidat calon anggota legislatif, baik dalam bentuk sarasehan politik, diskusi, dan debat visi – misi. Yang jelas, acara yang digarap dengan baik, menyuguhkan pemandangan yang oleh penulis sendiri menganggapnya baik untuk pendidikan politik dan demokrasi kita ke depan.
Dengan dialog dan debat yang disuguhkan di layar kaca, dapat kita lihat, caleg mana yang benar-benar ingin memperjuangkan aspirasi masyarakat, atau hanya sekedar mencari jabatan politik untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi ironi selama ini yang penulis perhatikan dari mayoritas caleg yang bertebaran di muka bumi Provinsi Jambi ini adalah mereka yang miskin wawasan. Sebagai contoh dalam sebuah dialog di TV Swasta, moderator bertanya tentang platform partai yang mengusung isu-isu perubahan kepada sang caleg, tidak satu pun jawaban yang diberikan masuk akal, dan sesuai dengan platform partai.
Dari kasus kecil ini, penulis ingin mengajak kepada kita semua selaku pemilih dan yang akan menentukan wakil di legislatif untuk lebih memahami siapa yang akan kita pilih. Sebab, hemat penulis, ketika caleg saja tidak memahami platform atau ideologi atau bahkan visi dan misi partai bagaimana ia bisa memahami kondisi masyarakat sekitar ? kondisi rumahnya saja tidak tahu, bagaimana mungkin ia memahami masalah dan kondisi rumah yang besar bernama negara.
Kenapa bisa demikian ? penulis memiliki beberapa alasan, kenapa mayoritas Caleg kita miskin wawasan. Pertama, caleg yang direkrut oleh partai politik selama ini bukanlah murni kader partai, tetapi mereka yang memiliki banyak uang dan mampu menyokong pendanaan besar sehingga ia diletakkan di nomor urut jadi (alias satu). Tidak menjadi soal, apakah caleg tersebut berpendidikan, berwawasan kebangsaan, murni akan memperjuangkan aspirasi masyarakat, tidak pernah menjadi perhatian dan tujuan utama partai.
Kedua, kaderisasi di tubuh partai tidak berjalan dan bahkan cenderung melakukan sistem perekrutan politisi jalanan. Lihat saja, menjelang pendaftaran peserta Caleg oleh KPU, hampir mayorutas Parpol mengiklankan diri bahwasanya mereka membuka kesempatan bagi putra-putri daerah untuk menjadi Caleg dari partai A misalnya. Sistem demikian inilah yang mengindikasikan jika Parpol gagal dalam melakukan pengkaderan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan politisi-politisi kutu loncat, politisi ambisius yang hanya akan mengejar jabatan politik tanpa harus mengukur kemampuan diri dan tanggungjawab yang akan diembannya kelak.
Ketiga, banyak Caleg yang melakukan pencitraan dengan cara – dompleng nama besar tokoh nasional dan pahlawan kemerdekaan. Artinya, mereka tidak mampu mem-branding diri sendiri, dan bahkan tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki, yang sudah pasti memang mungkin dirinya tidak memiliki kemampuan yang layak untuk dapat diusung sebagai Calon Legislator. Sehingga rakyat terbuai dengan dirinya, dan seolah dirinya lah yang layak untuk mejadi wakilnya kelak di legislatif, meski mereka sejatinya tidak tahu, jika Caleg tersebut tidaklah cakap dari sisi keilmuan dan wawasan.
Ketiga alasan inilah yang menurut penulis memiliki andil tidak berkualitasnya Caleg kita hari ini, mungkin juga seterusnya. Sebab, sistem demokrasi prosedural yang dipertontonkan hari ini adalah sistem politik yang sangat rusak yang pernah ada di Indonesia. Politik hanya bagi mereka yang berkuasa secara uang dan cenderung menghalalkan segala cara, money politic dsb.
Disebabkan hal yang demikian inilah Partai Politik sejatinya memiliki tanggungjawab moral yang besar jika para Caleg yang terpilih nantinya adalah mereka yang tidak memiliki wawasan terhadap kondisi dan masalah yang dihadapi oleh daerahnya sendiri, yang pada akhirnya, tidak akan ada yang mereka perjuangkan nantinya di legislatif, mereka hanya akan menganggukkan kepala, hadir untuk rapat dan absen kehadiran saja. Soal kerja, aspirasi masyarakat ? itu soal staf ahli dan kebijakan partai.
Penulis sering berkata kepada teman-teman penulis. Jika si A terpilih apa yang akan diperjuangkannya ? apa yang akan dikerjakannya kelak di Dewan ? padahal si A sendiri tidak memahami secara benar Partai yang di bernaung di dalamnya. Tidak hanya itu si A pun tidak tahu problem sosial yang mesti ia perjuangkan untuk dicari solusinya. Si A ikut menjadi Caleg hanya karena orang tuanya yang menyokong secara financial.
Oleh karenanya penulis mengajak kepada kita semua untuk benar-benar melihat Caleg yang akan kita pilih dengan mengenalnya, program perjuangannya dan seterusnya. Jangan sampai kita terbuai dengan pencitraan yang begitu membabi buta dan cenderung materialis dan hedonis yang akhirnya perubahan bangsa, pembangunan ekonomi tidak pernah terwujud hanya karena kita salah wakil rakyat. Wallahu alam
*Wakil Direktur Forum for Studies of Islamic Thaught and Civilization, anggota Pelanta
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-14020-ketika-caleg-miskin-wawasan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar