Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 03 Maret 2014

Islamic Banking and Social Responsibility

Suwardi, S.E.Sy.
(Merubah Paradigma dan Menggugat Peran)
Oleh: Suwardi, S.E.Sy.
Preface Islamic Banking
Bank syariah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam, khususnya yang bebas dari bunga (riba)  (MN. Shiddiqi, 2004) bebas dari kegiatan spekulatif non produktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), berprinsip keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal dan menghindari dari sifat eksploitatif.

Memahami bank Syariah sebagai lembaga intermediary sangat elok  bilamana kita menghubungkannya dalam konteks sosial ekonomi dan lingkungan yang menjadi ruh lembaga perbankan syariah dalam perspektif peran dan fungsinya yang sosial.

Sosio-oriented
Orientasi aktivitas lembaga perbankan syariah yang demikian ini sebenarnya berdasarkan kepada keyakinan dan ajaran dalam Islam sendiri, yakni hidup di dunia ini hanya sementara dan akan ada kehidupan setelah kematian. (Mansoor Khan & M. Ishaq Bhatti, 2008) Yang kemudian menjadi ideologi ekonomi syariah termasuk perbankan syariah di dalamnya yakni menjujung tinggi keadilan, kejujuran, persaudaraan, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw ketika pertama kali memimpin negara Madinah, di Jazirah Arab.

Bank syariah dikembangkan sebagai lembaga bisnis keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam. Tujuan ekonomi Islam bagi bank Syariah tidak hanya terfokus pada tujuan komersil, tetapi juga mempertimbangkan perannya dalam memberikan kesejahteraan secara luas bagi masyarakat. Kontribusi untuk turut serta dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut merupakan peran bank syariah dalam pelaksanaan fungsi sosialnya. Yang diharapkan akan memperlancar alokasi dan distribusi dana sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang membutuhkan. (M. Asro & M. Kholid,2011).

Hal ini dikarenakan tanggung jawab sosial dalam Islam bukanlah merupakan benda asing, ia sudah ada dan diamalkan sejak 14 abad yang silam. Dalam al Qur”an pembahasan mengenai CSR sangat sering disebutkan. Al Qur”an selalu mengkaitkan antara kesuksesan bisnis dan pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh moral pelaku bisnis dalam menjalankan kegiatan ekonomi.

Adapun terhadap lingkungan, al Qur”an memberikan perhatian yang amat serius untuk selalu menjamin keharmonisasian dan kelestarian lingkungan hidup. Pada sisi kedermawanan dan kebajikan, Islam sangat menganjurkan kedermawanan sosial kepada orang-orang yang membutuhkan dan kurang mampu dalam berusaha melalui shadaqah, zakat dan pinjaman kebajikan (qardhul hasan).

Dalam konteks kesejahteraan masyarakat berdimensi upaya untuk merubah mustahik menjadi muzakki, memberdayakan masyarakat miskin dan menciptakan pemerataan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Program CSR tidak boleh menjadi topeng keinginan untuk mendapatkan legitimasi dalam beroperasi disatu kawasan.(Rizk, et all, 2008) Atau untuk mengejar keuntungan secara maksimal (The Economist, 2005).
Dalam kurun waktu dekade terakhir, kata CSR menjadi sangat populer yang kemudian menjadi tolak ukur yang sangat mendominasi untuk menilai tingkat keberhasilan sebuah perusahaan dalam mengoperasionalkan kinerja bisnisnya di perusahaan di seluruh kawasan yang meliputi Asia, Afrika, Amerika dan Eropa. (Cristine A. Mallin, 2009).

Akan tetapi, dalam praktiknya masih banyak Bank Syariah yang semata-mata lebih mengutamakan keuntungan maksimal, sebagaimana bank-bank konvensional selama ini. Seharusnya mereka menyertakan komponen tanggung jawab sosial dalam kegiatan operasionalnya sebagai tujuan akhir dalam masyarakat secara utuh.(Ahmad K, 2000).

Merubah Paradigma
Orientasi utama pendirian sebuah korporasi adalah untuk memperoleh keuntungan, pertumbuhan ekonomi korporasi dan keberlangsungan usaha. Perolehan keuntungan tergambarkan dalam bentuk penerimaan dividen bagi para pemegang saham. Dan itu menjadi konsekuensi logis dari bisnis yang dijalankan. (Frank Knight, 1964).

Secara konseptual, mencari keuntungan sebagai tujuan korporasi muncul bersamaan dengan lahirnya sistem ekonomi kapitalisme dalam masa industrialisasi. Pada saat mengerjakan proyek-proyek komersial pada awal industrialisasi di Inggris, dan di Amerika, korporasi bermetamorfosis menjadi lembaga privat yang mencari keuntungan semata. Segal gerak geriknya hanya untuk mengumpulkan kekayaan. (Lee Drutman,tt).
Terkait dengan tujuan perusahaan, pendapat Adolf Berle pada tahun 1930 an di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, tujuan utama korporasi adalah mencari keuntungan untuk kepentingan pemegang saham bukan untuk pihak lainnya. Sehingga ia menekankan adanya perlindungan hak pemegang saham dari kecurangan para direksi (machianation). (Marjorie Kelly Citizen,tt).

Dalam perspektif demikian, sangat jelas jika aktivitas Bank Syariah sebagai sebuah perusahaan yang di dalamnya terdapat unsur pemegang saham (shareholders), sudah pasti akan memikirkan aspek-aspek teknis dalam upayanya memperoleh keuntungan yang besar, dengan berupaya menghapuskan bagian-bagian kompetisi bisnis dengan perusahaan (baca : Bank Syariah) lainnya. Sehingga, menjadi besar dengan perhitungan profit margin perusahaan yang signifikan menjadi orientasi mutlak perbankan syariah sebagai konsekuensi logis pertanggungjawaban manajemen kepada shareholders.

Oleh karena itu, dimensi bisnis yang berlandaskan kepada at-tauhid (teologis-etis) yang menjadi filosofi Bank Syariah, harus merubah paradigma kapitalis yang hedonistis yang selama ini mengakar kuat dalam tubuh korporasi, dan setingkatnya. Yakni, mengumpulkan, mencari dan mendulang keuntungan bagaimanapun caranya (baik halal atau haram) untuk kemajuan bisnis dan pertumbuhan perusahaan. Dan menjadi perusahaan yang beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitar melalui pendayagunaan modal dan kemampuan leader bank Syariah dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera melalui program-program pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk Comunity Development maupun pemberdayaan melalui ekonomi kerakyatan lainnya.

Dengan demikian, terjadilah pergeseran orientasi yang lebih mengedepankan aspek kesalehan sosial dalam tubuh bank Syariah. Jika tidak, bank Syariah yang mendeklarasikan diri sebagai bank bebas bunga dan pro rakyat kecil hanya bagian dari kampanye gelap kapitalis berbaju syariah dengan ekspektasi bisnis berorientasi hedonis dan materialis. Oleh sebab itu, perlu didesak dengan memberikan argumentasi yang kuat kepada para bankir syariah, dan shareholders – nya untuk memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab sosial bank Syariah terhadap lingkungan, masyarakat dan pemerintah.

Menggugat Peran Bank Syariah
Sebagaimana fungsi lembaga lainnya dan telah terang di muka, jika bank Syariah adalah lembaga intermediary. Maka sudah saatnya bank Syariah tidak sekedar mengumpulkan pundi-pundi kekayaan shareholders dan management semata. Namun, sudah selayaknya memikirkan kesejahteraan para stakeholders, peduli lingkungan dan peka terhadap kondisi para mustahik yang kian bertambah jumlahnya. Dengan cara memperbesar ruang kepedulian perbankan Syariah terhadap isu-isu kemanusiaan, kemiskinan dan pendidikan.

Sebab, sebagaimana kita ketahui angka kemiskinan masih begitu tinggi, dalam laporan BPS, penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta (13,33%) mengalamai penurunan sebesar 1,51 juta dari 2009 yang memiliki jumlah kemiskinan sebesar 32,53 juta orang atau (14,15%). Bahkan jika penurunan jumlah kemiskinan pada tahun 2010 dibandingkan dengan 1996 yang berjumlah 34,01 juta (17,74%) di saat sebelum krisis terjadi,, maka penurunan jumlah kemiskinannya hanya sebesar 2,99 juta (4,41%). Ini menunjukkan bahwa, secara absolut tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat besar dan upaya mengatasinya berjalan lambat.

Oleh karena itu dibutuhkan semua elemen bangsa termasuk di dalamnya perusahaan berbasis perbankan syariah untuk turut serta melibatkan diri dengan berperan terhadap pembangunan ekonomi, kemanusiaan dan kesejahteraan dengan memberikan perhatian lebih terhadap kaum marginal (mustadh”afin) secara ekonomi.
Tuntutan besar terhadap bank Syariah sangat beralasan jika kita mengacu kepada peraturan pemerintah mengenai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan masyarakat seperti tertera pada UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pasal 74 ayat 1, 2, 3, dan 4, mengenai peraturan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Selain itu, dimensi at-tauhid (habluminallah) dan society (habluminannas) menjadi sandaran utama keberadaan bank Syariah yang menjadikannya berbeda dengan bank konvensional. Artinya, spirit bank Syariah adalah lembaga keuangan yang ingin tumbuh bersama dengan kaum marginal (mustadh”afin) dan berorientasi kesejahteraan bersama (welfare state) dalam bingkai ketuhanan (teologis), persamaan (equal), keadilan (fairness), dan persaudaraan (partenership).

Indikasi yang demikian dapat ditilik sejauh mana bank Syariah memberikan kesadaran beragama dalam konteks bisnis terhadap lingkungan dengan memberikan bimbingan, binaan dan pendampingan kepada masyarakat ekonomi lemah melalui penyaluran zakat produktif, pembiayaan qardh al hasan. Agar masyarakat ekonomi lemah dapat tumbuh dan berkembang, maju secara ekonomi dan keluar dari zona mustahik zakat menuju zona muzakki, yang endingnya adalah mengurangi angka pengangguran, kemiskinan, kebodohan serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat muslim Indonesia.  

Terakhir penulis ingatkan, Coporate Social Responsibility sejalan dengan ajaran Islam seperti kewajiban membayar zakat, shadaqah, dan filantropis lainnya untuk kaum marginal/mustahik. Sehingga tidak ada alasan bank Syariah untuk tidak berpihak kepada kaum marginal (mustadh”afin) secara ekonomis. Wassalam. . .

*Wakil Direktur FiSTaC, Anggota Pelanta.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-13297-islamic-banking-and-social-responsibility.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2