Oleh: Agus S Nugroho*
Jeff Hayness (2000) membagi pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan penerapannya. yaitu demokrasi formal, demokrasi permukaan dan demokrasi substantif. Penerapan yang paling kentara pada demokrasi substantive bahwa rakyat dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara salah satunya melalui saluran legislative dan partai politik dan dilaksanakan melalui pemilu.
PEMILU calon legislatif 2014 semakin dekat tinggal menghitung hari, geliat politisi dan partai politik pun semakin gencar menawarkan (menjanjikan) perubahan hidup lebih baik bagi setiap konstituennya. Dan yang selalu tidak ketinggalan kita amati adalah pembentukan citra diri (image building) berupa kampanye, yang pasti akhir dari proses ini adalah merebut kursi kekuasaan. Dari beberapa opini publik yang mengemuka terlihat kondisinya, publik bisa dikatakan mulai merasa jengah dengan tingkah politisi yang berbalik 180 derajat ketika mereka sebelum dan setelah menjadi anggota legislative. Dengan fenomena seperti ini, akhirnya, rakyat lebih bersikap dengan menjadi penonton yang pasif melihat tingkah pola anggota legislative atau menjadi golongan putih (golput) tidak aktif dalam pemilu.
Dari pemilu ke pemilu rakyat sering menjadi “korban” oleh banyak caleg yang bermoto kejujuran dan kesolehan abstrak, tanpa ada visi dan misi jelas terhadap apa yang diperjuangkan ketika duduk diparlemen nanti. Maka untuk mengatasi efek salah pilih tersebut, digaungkanlah konsep pemilih cerdas disetiap pemilu, yang nampaknya sama di pemilu 2014. Ini akan menjadi bagian dari perbaikan bagi para caleg dan pemilih sendiri, bagi pemilih dengan logika yang sehat (waras) serta ditunjang dengan referensi yang berasal dari informasi dan rekam jejak (track record) calon, pemilih paham dan sadar betul akan pilihannya.
Kondisi yang berbeda mungkin menanggapi jika konsep pemilih cerdas, mungkin bagi sebagian caleg dianggap sebagai ancaman, karena munculnya pemilih yang cerdas dikhawatirkan akan mengurangi elektibilitas yang bersangkutan, karena secara jelas pemilih mengetahui track record sang calon. Maka semua kembali kepada bagaimana niat dan tujuan calon maju dikancah politik, apakah murni demi kepentingan rakyat pribadi atau golongan tertentu semuanya itu harus ditunjang oleh kapasitas intelektual, investasi sosial selama berada ditengah masyarakat dan platform politiknya yang konkret dan terukur yang ditawarkan kepada konstituen.
Dengan fakta seperti ini, peran pendidikan politik seharusnya pada partai politik dan caleg, tetapi yang terjadi malah sebaliknya sebagian caleg dan parpol secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak telah membentuk pola masyarakat (konstituennya) menjadi pemilih yang irasional, fanatik/ ikut-ikutan, taklid buta pada partai atau lambang partai/ embel-embel agama, menjual ketokohan orang lain, dan secara tidak langsung membentuk pemilih menjadi materialistik musiman, mengintimidasi serta hal-hal lain sehingga menciptakan pemilih irasional. Hal itu dilakukan bisa jadi dikarenakan ketakutan para caleg, ketika rakyat sudah cerdas dirinya tidak akan dipilih.
Para caleg yang membentuk pemilihnya menjadi irasional dapat diindikasikan caleg yang memiliki kapasitas intelektual tinggi namun menjadikan konstituennya berintelektual rendah dengan mengkaburkan atas makna diri, dikarenakan berlebihannya pembentukan citra, kemudian belum atau memang tidak pernah ada investasi sosial kepada masyarakat baik berupa sifatnya charity atau pemberdayaan, kurang peka pada kepentingan sosial lebih mengutamakan kepentingan pribadi (indivitualistik).
Dengan kondisi dan proses yang berkembang sekarang, maka wajar memunculkan politisi karbitan (instant), bentuk perilaku yang kentara yakni memanfaatkan pemilihnya hanya untuk keuntungan dan kepentingan jangka pendek, jika sudah mendapatkan apa yang diinginkan (kekuasaan) setelah itu apa yang dijanjikan layak untuk dilupakan, lantas muncullah istilah “ibarat kacang lupa dengan kulitnya”.
Sebaliknya caleg yang memiliki political will yang baik, dengan kemampuannya menciptakan pemilih cerdas dan rasional dalam menentukan pilihan, yang jelas mereka akan memberikan pencerdasan politik kepada konstituen, dengan tidak memunculkan adanya pengkultusan pada caleg-caleg tertentu yang harus dipilih. Pemilih diberikan kebebasan memilih dan menilai caleg-caleg yang lebih tepat. Namun pertanyaan besarnya adalah apakah ada caleg seperti itu ? sementara mereka juga harus berkompetisi dengan sesama caleg dalam satu partai dan caleg dari partai yang lain. Dengan segala cara dan upaya memenangkan pertandingan pemilu.
Dari penjelasan diatas motif seseorang, untuk maju kedunia politik praktis (legislative) sampai hari ini masih menarik untuk dikaji, apakah memiliki perbedaan dari masa pemilu legislative kemarin 2009 atau tidak. Ada beberapa catatan sederhana terhadap tipologi caleg yang nampaknya masih relevan hingga pemilu sekarang, Pertama: mereka yang mencari prestise dari jabatan sebagai wakil rakyat. Harus diakui bahwa duduk sebagai anggota legislataif tetapi masih dianggap sebagai jabatan yang membanggakan dan meneguhkan identitas sosialnya dimasyarakat. Kedua: mereka yang meneruskan tradisi klan atau dinasti kekuasaan baik dari sistem keluarga dan partai politik. Ketiga: dengan duduk dibangku legislative agar bisa menentukan kebijakan demi kepentingan pribadi dan golongannya, Ketiga: caleg yang menjadikan pemilu sebagai ajang untuk mencari pengalaman dan coba-caba peruntungan termasuk didalamnya, ajang mencari pekerjaan (job seekers) yang mengharapkan gaji dan tunjangan semata tanpa ada dedikasi dan kemampuan intelektual termasuk visi politik yang jelas untuk melakukan perubahan. Keenam: caleg yang memang mempunyai kapasitas dan kompetensi intelektual yang memadai, nyata memberikan bukti investasi sosial kepada rakyat, dan berambisi untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Dari beberapa catatan tipologi caleg dapat diambil hipotesis, bahwa butuh banyak perbaikan terhadap motif personal untuk maju kedunia politik ini terkait dengan kompetensi dan kualitas pribadi, yang dibutuhkan tidak sekedar kepintaran secara intelektual, modal ketenaran dan finansial yang cukup tetapi kehadirannya secara personal merupakan paket lengkap intelektual, moral dan sosial. Perjuangannya digedung dewan benar-benar sebagai perwakilan rakyat yang memiliki strategi platform politik yang jelas sungguh-sungguh memperjuangkan apirasi rakyat melalui produk hukum yang prorakyat, bukan sebaliknya eksistensinya menjadi beban apalagi sampai menjadi problem maker masyarakat. Dibalik keraguan yang ada terhadap kapasitas dan motif caleg ikut pemilu, sebagai publik awam sampai saat ini tetap masih yakin adanya caleg yang jujur, aspiratif dan merakyat, semoga.
*Pemerhati Komunikasi dan Media Dosen STISIP NH Jambi.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-12612-tipologi-caleg.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar