Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Jumat, 28 Februari 2014

Masyarakat Jangan Mau Jadi Tumbal

Bahren Nurdin, S.S., M.A.
Oleh: Bahren Nurdin, S.S., M.A.*
Tulisan ini merupakan ‘warning’ detik-detik menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) yang beberapa bulan lagi segera dilaksanakan di negeri ini, khususnya bagi masyarakat Jambi. Peringatannya sederhana; jangan mau jadi tumbal kepentingan politik (siapa pun, partai apa pun). Tumbal dalam arti menjadi korban kepentingan politik seseorang atau sekelompok orang yang bisa saja mengatasnamakan kepentingan Bangsa dan Negara. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan kata tumbal berarti kurban (persembahan dsb) untuk memperoleh sesuatu.

Melalui tulisan ini saya juga ingin mengajak masyarakat Indonesia khususnya rakyat Jambi untuk cerdas menyikapi berbagai kepentingan (baik tersirat mau pun ‘tersurat’) yang dapat dipastikan akan menimbulkan berbagai ekses di tengah masyarakat. Sebagaimana telah diketahui bersama saat ini ada ribuan calon anggota dewan dari daerah (DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi) hingga nasional (DPR-RI), ditambah lagi calon DPD yang siap bertarung habis-habisan untuk memperoleh kursi sebagai wakil rakyat. Secara otomatis akan banyak cara dan taktik yang akan mereka lakukan untuk memperoleh suara rakyat.

Tidak ubahnya sebuah kompetesi, kemenangan adalah goal akhir yang akan mereka capai. Maka dari itu, masyarakatlah yang harus terus dibina dan diberi kesadaran agar cerdas menyikapi, menghadapi, mengikuti, dan menjadi bagian dari proses demokrasi negeri ini. Masyarakat harus tahu bahwa mereka tidak boleh dimanfaatkan atau ditunggangi oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun selain kepentingan Bangsa dan Negara. Jika tidak, masyarakat amawamlah yang akan menjadi korban kepentingan-kepentingan tersebut.

Paling tidak ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat agar tidak menjadi tumbal kepentingan politik pada Pemilu April mendatang. Pertama, Memiliki kebijaksanaan berpolitik. Kebijaksanaan menempati derajat yang tinggi bahkan di atas kecerdasan intlelijensia (IQ) dan ilmu pengetahuan. Bahnyak orang berilmu tetapai tidak bijaksana sering sekali terjerumus dalam ‘kejahatan’ yang semestinya tidak dilakukannya. Kebijaksanaan berpolitik dalam makna bahwa masyarakat harus arif dalam menentukan pilihan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan siapa pun. Artinya, orang yang bijaksana dia tau yang terbaik untuk bangsanya. Dia tahu siapa orang-orang yang pantas menjadi pemimpinnya di negari ini.

Hal ini sangat penting dimiliki oleh masyarakat karena, jika pilihan itu diambil setelah melalui pertimbangan yang bijaksana maka apa pun hasilnya dia akan menerima dengan lapang dada. Kalah atau menang orang yang dia pilih tidak akan menimbulkan kekecewaan karena murni pilihannya sendiri. Disamping itu, dia tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang di luar ketentuan hukum yang berlaku. Sekali lagi, bijaksanalah dalam menentukan pilihan.

Kedua, hindari panatisme. Mendukung bahkan menjadi anggota parpol, mendukung salah satu caleg, menjadi tim sukses, silahkan saja karena semua itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi itu sendiri. Masyarakat dijamin oleh Negara untuk mentukan hak konstitusi masing-masing. Hak untuk memilih dan dipilih. Namun yang harus diingatkan jangan sampai memiliki panatisme yang berlebihan terhadap partai atau calon tertentu sehingga mengabaikan hak-hak konstitusi itu sendiri. Mengabaikan rasionalitas.

Sering sekali konflik yang terjadi dalam kasus-kasus pemilu selama ini adanya panatisme masyarakat yang terlalu tinggi sehingga dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok tertentu untuk memuluskan tujuan mereka sendiri. Masyarakat yang memiliki panatisme yang terlalu tinggi akan sangat mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum. Seseorang yang sangat panatik biasanya tidak rasional, bahkan bisa saja membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Mereka juga mengetahui yang salah dan yang benar, namun karena terlalu panatik semuanya diabaikan begitu saja.

Ketiga, hindari politik transaksional; jual beli suara. Sekilas nampaknya memang sangat menguntungkan dan menggiurkan. Satu suara mungkin bisa mencapai seratus ribu rupiah  atau lebih. Ada uang ada suara. Namun logika berpikir seperti ini sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bangsa ini. Coba bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk seorang caleg untuk memperoleh dua ribuan suara demi memperoleh satu kursi di legislatif? Milyaran rupiah! Setelah mereka terpilih menjadi anggota dewan legislatif maka tujuan utama mereka diyakini tidak akan mewakili rakyat tetapi mencari cara mengembalikan modal yang telah dihabiskan.

Ada pula kesadaran yang dibangun di tengah masyarakat saat ini dengan fameo ‘ambil uangnya, jangan pilih orangnya’. Hal ini juga tidak baik dan tidak bijaksana. Ungkapan ini mengajarkan masyarakat untuk berbohong dan menanamkan mental korup. Yang paling tepat adalah, ‘jangan ambil uangnya, jangan pilih orangnya’. Ini cara mengabaikan mereka. Ini hukuman sekali gus pendidikan bagi sang caleg. Saatnya masyarakat mendidik caleg-caleg yang ‘calak’!  

Akhirnya, hanya masyarakat yang memiliki pemahaman dan kesadaran berdemokrasi yang baiklah yang akan selamat dari berbagai ‘tindak kejahatan’ yang mungkin saja terjadi dan dilakukan oleh orang-orang atau golongan-golongan tertentu demi kepentingan tertentu selain kepentingan Bangsa dan Negara  pada pemilu mendatang. Intinya ‘Jangan Mau Dikorbankan!

*Dosen IAIN STS Jambi, Sekjen Pelanta, dan Devisi Kajian CEPP Jambi.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-13085-masyarakat-jangan-mau-jadi-tumbal.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2