Noprizal, S.H.I. |
(Uang Bukan Segalanya)
Oleh: Noprizal, S.H.I.*
Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Provinsi Jambi, Hasan Basri Agus, sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah Provinsi Jambi telah menyiapkan rumah sakit jiwa dengan fasilitas lengkap. Hal itu untuk membantu Calon Anggota Legislatif (Caleg) di Jambi yang sakit jiwa akibat gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat, provinsi atau pun kabupaten/kota.
Pernyataan itu memang keluar dari mulut orang nomor satu di Provinsi Jambi dengan nada berseloroh. Terlepas dari berseloroh atau tidak, namun pernyataan ini patut menjadi perhatian serius, dan memang perlu diseriusi.
Pasalnya caleg yang terkena penyakit jiwa setelah kalah bertarung pada pemilu legislatif memang tidak sedikit jumlahnya. Hal itu dibuktikan dengan tingginya perhatian sejumlah pihak, termasuk untuk mengambil langkah antisipasi terhadap caleg gila pasca Pemilihan Legislatif April 2014 mendatang.
Bukan hanya Pemerintah Provinsi Jambi yang berpikir demikian, Menteri Sosial Salim Segaf Al Djufri pun mengaku khawatir terhadap caleg kalah pasca Pemilu 09 April mendatang. Bahkan Kemensos akan memberikan penanganan dan pemulihan secara manusiawi dan profesional bagi caleg-caleg yang depresi karena kalah dalam pemilu.
Ongkos yang Gila
Salah satu penyebab caleg yang gagal menderita gangguan kejiwaan adalah tingginya ongkos politik yang telah dikeluarkan, sementara kursi yang diidamkan menjadi milik pesaing. Memang untuk saat ini tidak murah untuk bisa duduk menjadi legislator, namun jika bisa disiasati uang tentu bukan segalanya.
Di negeri yang telah membudayakan uang sebagai alat kampanye ini tentu sangat sulit untuk menghilangkan pengaruh uang, itulah penyebabnya ongkos politik saat ini sangat tinggi. Bahkan untuk bisa duduk menjadi anggota legislatif, seorang caleg bisa saja menghabiskan uang ratusan juta rupiah bahkan menyebut angka miliaran.
Apalagi kampanye pada tahun 2014 ini masa sosialisasi terbilang cukup panjang yaitu 1 tahun, berbeda dengan tahun 2009 yang hanya beberapa bulan saja. Secara otomatis, waktu yang cukup panjang ini menyebabkan pembengkakan ongkos politik sang caleg.
Kepercayaan caleg terhadap ungkapan ‘’Yang tidak punya modal sulit bersaing’’ sepertinya juga masih melekat kepada pribadi caleg, sehingga menyebabkan mereka berlomba-lomba untuk merebut simpati masyarakat dengan mengeluarkan modal yang tidak sedikit, dengan mengharapkan masyakarat menganggap sang caleg memiliki modal yang banyak untuk menjadi legislator.
Caleg dadakan di sebuah daerah pemilihan tentu akan menghabiskan ongkos politik yang lebih tinggi dari pada caleg yang sudah dikenal di dapil tersebut. Apalagi dengan turun hanya menjelang Pemilu. Salah satu cara mensiasati ongkos politik yang tinggi adalah selalu turun ke tengah masyarakat secara terus menerus, bukan hanya menjelang Pemilu saja. Itu semua pasti mampu menekan ongkos politik karena sudah dikenal oleh masyarakat pemilih.
Pemilih Harus Berperan
Pemilih harus ikut serta menekan angka caleg gila pasca Pemilihan legislatif 09 April 2014 mendatang. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh pemilih adalah dengan tidak memberikan kesempatan kepada caleg untuk melakukan politik uang kepada pemilih.
Jika pemilih sudah berani menolak pemberian tersebut, maka peran pemilih untuk membantu menekan jumlah caleg gila sudah sangat besar, namun sebaliknya jika pemilih masih menerima uang dari caleg, maka saja dengan menjebak caleg agar menjadi orang gila pasca pesta demokrasi mendatang.
Jadi Caleg Harus Ikhlas dan Dewasa
Menjadi caleg harus siap menang dan siap pula untuk kalah dengan segala konsekuensi yang melekat kepada keduanya, caleg yang kalah dituntut untuk ikhlas.
Semua caleg harus memegang prinsip hidup ikhlas agar terhindar dari stres pasca tidak berhasil berkompetisi merebut kursi wakil rakyat tersebut. Caleg harus berpikir positif dengan mengikhlaskan semua ongkos politik yang telah dikeluarkan untuk membantu masyarakat.
Caleg juga tidak semuanya dewasa dalam berpolitik, banyak yang mengeluarkan duit dalam jumlah besar, menggadaikan harta kekayaan, dan tidak sedikit pula dengan modal pinjaman. Ketika isu-isu kecurangan dalam pemilu mengemuka mereka semakin emosi dan jiwanya semakin labil, disitu lah nampak kondisi kejiwaan caleg, ada yang kuat, sedang, dan lemah. Bagi yang kuat hal ini tentu tidak akan mendatangkan masalah.
Sepertinya, caleg gila bukan omong kosong saja, melainkan benar-benar terjadi. Bahkan diperkirakan 50 persen caleg yang gagal akan terguncang jiwanya? Sampai saat ini memang belum, tetapi diyakini setelah dilakukan penghitungan hasil pemilu legislatif harap-harap cemas akan berganti dengan stres tingkat tinggi.
Mereka yng gagal dipastikan akan menemukan pelbagai persoalan seperti malu dan hutang di mana-mana, meski nantinya tidak sampai terganggu jiwanya minimal akan mengalami stres dengan berbagai jenis.
Caleg yang dewasa dalam berpolitik tentu menerima kekalahannya dengan lapang dada. Kekalahannya tidak akan diartikan dengan harus menghentikan perjalanan karir politik pesaingnya yang berhasil menduduki kursi yang diidam-idamkannya, tetapi tetap berjuang dengan di jalur politik meski tidak duduk di legislatif.
Kita semua berharap dan mengajak masyarakat untuk menghargai dan memberikan apresiasi kepada para caleg yang gagal tersebut. Karena mereka telah mengikuti Pemilu dan mengorbankan banyak hal, keluarga, teman dekat, tim sukses maupun simpatisan yang harus memberikan bantuan moril dan dukungan. Kalah dan menang itu adalah resiko dari sebuah pertandingan. Semua wajib sepakat dan merekomendasikan kepada caleg yang gagal untuk tidak memperkeruh suasana dengan memprovokasi massa untuk berbuat anarkis.
Pemilu kali ini diharapkan mampu dan harus menjadi pelajaran bagi caleg yang hanya bermodalkan uang. Rakyat sudah pandai dan kritis. Jika uang sudah bukan segalanya, Pemilu pasti lebih berkualitas caleg yang memiliki konsep, gagasan, dan kepribadian lah yang dipilih masyarakat.
*Anggota KDC dan Pelanta, tinggal di Jambi.
Dimuat di Opini Harian Jambi Independent, Rabu, 19 Februari 2014
Tidak ada komentar :
Posting Komentar