Oleh: Abd. Mukti, S.Ag.
Amien Rais, Calon Presiden (capres) 2004 pernah berujar, “Walaupun punya konsep dan integritas yang bagus bagi seorang capres, kalau tidak punya modal besar,rasanya sulit untuk memenangi pemilihan presiden”. Hampir senada juga disampaikan oleh Khofifah Indar Parawangsa, Runer Up Cagub Jawa Timur ini menyatakan, “Di Indonesia ini rasanya sulit untuk berjuang tanpa modal yang banyak”, katanya setelah gugatannya terhadap kemenangan Karsa di Mahkamah Konstitusi ditolak.
Statemen kedua kandidat yang kalah dalam pertarungan pilpres dan pilgub diatas, adalah merupakan ekspresi kegusaran seorang tokoh yang pernah ikut dalam proses demokrasi. Namun karena kurangnya modal, akhirnya kandas di tengah jalan. Bagi siapapun rasanya agak mustahil bila ‘tidak berkantong tebal’ untuk meraih puncak pimpinan negeri ini.
Tahukahn Anda, berapakah dana yang dibutuhkan oleh seorang capres untuk ikut pilpres ?. Trilyunan ! Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Indra J Pilliang menyebut, seorang capres membutuhkan setidaknya Rp.3 trilyun untuk kebutuhan kampanye. (Kompas.com, 26/1).
Bahkan Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy menyatakan setidaknya dua kali lipatnya. “Jadi kalau Cuma 3 trilyun itu terlampau sedikit. Saya duga dua kali lipat atau paling tidak 5 trilyun”, ungkapnya kepada Media Umat.
Uang sebesar itu dipergunakan sejak persiapan hingga hari H pemilihan. Jauh-jauh hari Capres telah diperkenalkan kepada rakyat melalui berbagai sarana. Yang paling besar adalah melalui iklan, terutama di televisi. Iklan dianggap paling efektif karena bisa langsung menjangkau masyarakat banyak di seluruh pelosok negeri. Alokasi untuk iklan konon lebih dari 50 persen dari seluruh anggaran seorang capres.
Di luar itu, capres pun membayar konsultan politik dan mengadakan survei politik untuk meningkatkan elektabilitasnya. Dan ini juga membutuhkan dana yang besar. Sekali survei , ratusan juta rupiah harus dikeluarkan.
Belum lagi, para capres harus mengunjungi masyarakat, memasang poster dan baliho, termasuk membagikan sembako kepada masyarakat. Seorang pengamat menyebut, jika capres ingin memenangi pemilu capres, maka minimal ia harus mengeluarkan dana Rp.7 trilyun dengan perhitungan, capres membagikan sembako kepada 70 juta jiwa—syarat 2/3 jumlah pemilih bagi kemenangan seorang capres.
Pertanyaannya, dari mana uang itu. Mungkinkah uang pribadi? Kalau toh ada, mungkin jumlahnya sedikit. Lagi pula berdasarkan laporan kekayaan pejabat negara, tidak ada capres yang beredar saat ini memiliki kekayaan sebesar itu. Paling rata-rata hanya milyaran.
Memang ada sekitar 50 orang Indonesia dengan kekayaan lebih dari Rp 3 triliun. Peringkat 50 orang terkaya Indonesia memiliki US$ 390 juta, yaitu Sutjipto Nagaria (Tribunnews.com, 22/112013).
Dari daftar orang terkaya itu hanya ada satu orang yang memiliki kekayaan di atas Rp triliun yang ikut dalam bursa capres, yaitu HT dengan kekayaan US$ 1,35 miliar. Itu pun cuma mencalonkan diri sebagai calon wakil Presiden. Sedangkan ARB yang masuk 50 besar daftar orang terkaya pada 2013 namanya terlempar dari daftar itu. Namun banyak orang percaya bahwa uangnya masih di atas Rp 3 triliun.
50 orang superkaya Indonesia itu semuanya adalah pengusaha. Karakter pengusaha adalah selalu memutar sebagian besar uangnya yang banyak itu untuk ditanamkan kembali sebagai modal usaha. Sehingga, apabila mereka mencapres maka kemungkinan tidak mau “membuang dana” sampai sebesar itu. Kecuali, mereka “orang gokil.”
Jalan yang paling logis adalah dari partai pengusung dan para cukong/pengusaha. Partai adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan jika jagonya menang. Karena prinsip dalam demokrasi, siapa yang menang, maka dapat semua. Dalam konteks inilah, partai akan berjuang mengumpulkan pundi-pundi uang.
Sumber pundi uang itu tentu tidak mudah dari jalan yang ‘halal’, alias bukan dari gerogoti anggaran negara. Modusnya beragam. KPK menemukan setidaknya 18 modus. Inilah jalan untuk menggerogoti uang rakyat alias korupsi.
Kebutuhan uang yang begitu besar bisa juga didapatkan dari sponsor. Mereka adalah cukong yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan negara. Mereka mencari payung hukum bagi usahanya. Mereka adalah para pemilik modal. Ada yang langsung bergabung dengan partai politik menjelang pemilu tapi ada juga yang tetap berada di luar arena.
Para pemilik modal inilah yang bergerak untuk mendapatkan kompensasi dari dukungan dana yang diberikan kepada para capres dan tim suksesnya. Kompensasi itu bisa berupa kebijakan, izin, dan kemudahan lainnya.
Maka tidak heran jika presiden terpilih cara ini untuk mengumpulkan amunisi bagi kampanyenya akan tersandra oleh para pemilik modal. Presiden itu nantinya tidak akan leluasa membuat kebijakan karena adanya kompensasi yang sudah dijanjikan kepada para kapitalis tersebut.
Jadilah penguasa itu seolah hanyalah boneka saja. Apalagi jika yang menguasainya adalah kapitalis asing yang memiliki sumber daya dana yang sangat besar. Penguasa seperti ini akan hanya menjalankan keinginan dan kebijakan titipan dari pengusaha besar itu.
Dampaknya, sistem demokrasi akan melahirkan lingkaran kerusakan. Demokrasi mendorong lahirnya korupsi di semua lini baik oleh partai politik dan juga individu yang berambisi menjadi penguasa.
Demokrasi juga melahirkan kebijakan yang tidak pro rakyat karena para penguasanya telah tersandra oleh para pengusaha. Kondisi ini menyebabkan harapan rakyat bagi kehidupan yang lebih sejahtera dan baik, sulit diwujudkan.
Sistem demokrasi pun melanggengkan praktik tirani minoritas atas mayoritas. Bagaimana pun demokrasi hanya menguntungkan sebagian orang.Dan kepentingan sebagaian orang inilah yang dilayani oleh penguasa/negara. Posisi rakyat yang mayoritas hanya sebatas penggembira saat pesta demokrasi dilangsungkan.
Lingkaran setan demokrasi ini akan terus berlangsung. Minoritas yang menguasai mayoritas
akan terus mempertahankan posisinya. Apalagi, sudah menjadi prinsip demokrasi bahwa yang kuat modal-lah yang akan memenangi pertarungan. Walaupun seorang capres dan cawapres mempunyai konsep dan integritas yang baik, tapi karena kurang modal, sulit rasanya untuk menang dalam pilpres.
Apa solusinya ? Ganti sistem demokrasi itu dengan sistem buatan Tuhan, syariah Islam. Sistem ini menjamin pergantian penguasa dengan sangat murah dan efisien. Lagi pula, dia hanyalah menjalankan hukum Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan membawa kepentingan pribadi dan golongan.
Maka korupsi dapat dicegah. Kongkalingkong bisa dihilangkan. Dan lingkaran setan bisa dihancurkan. Indah bukan?
*Pemerhati Sosial Keagamaan.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-capres-3-trilyun_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar