Drs. H. Navarin Karim, M.Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M.Si.*
Pengalaman menarik berikut ini kalau tidak berbagi dengan pembaca rasanya tidak optimal kebahagian yang penulis dapatkan. Bukankan kebahagian dapat diartikan “apabila kita berbuat untuk orang lain?”, minimal dapat mengubah sikap masyarakat berkaitan dengan keberanian menegakkan kebenaran.
Kejadian ini terjadi di sekolah yang sangat terkenal dengan disiplin yang ketat dan siswa diasramakan. Pada hari minggu (pagi, jam 8.00 WIB) adalah kesempatan orang tua diperbolehkan menjemput anak-anak mereka untuk pulang ke rumah, karena selama dua minggu sekali siswa diperbolehkan keluar asrama untuk pulang ke rumah masing-masing hanya sampai sore hari.
Ketika mobil orang tua penjemput ingin masuk gerbang, pintu gerbang tidak dibuka, menurut satpam merupakan instruksi Kepala Sekolah. Konsekuensinya seluruh orang tua yang rata-rata menjemput dengan kenderaan mobil terpaksa parkir mobilnya hingga memakan ruas jalan lalu lintas umum, padahal jalan tersebut merupakan jalan utama Kota Jambi dan Batanghari. Artinya sekolah tersebut ikut memberi sumbangan terhadap kemacetan lalu lintas. Belum lagi resiko tabrakan lebih besar dapat terjadi, karena makin menyempitnya ruas jalan.
Penulis tidak habis fikir, apa benar kepala Sekolah instruksikan mobil tidak boleh masuk pintu gerbang di hari minggu atau akal-akalan dari Satpam, karena kalau hari minggu jika dibuka maka jumlah mobil yang keluar masuk bisa saja mencapai ratusan. Mungkin penjaga pintu gerbang akan kewalahan melayani mobil yang keluar masuk pintu gerbang. Apalagi penjaga tersebut dibebankan pula tugas melayani pencatatan administrasi siswa yang akan pulang ke rumah. Kejanggalan lain yang penulis rasakan, lahan sekolah tersebut sangat luas dan infrastruktur yang tersedia di dalam sekolah tersebut memadai dan mampu menampung mobil yang akan parkir.
Dari sekian banyak orang tua yang menjemput tidak banyak yang complaint terhadap keadaan tersebut. Hanya ada dua orang (include penulis) sendiri. Penulis berfikir dan makin memperkuat keyakinan mencoba membuat semacam anggapan “seolah masyarakat Indonesia sudah semakin tidak berkarakter”. Salah satu ciri orang berkarakter adalah memiliki keberanian (courage) selain itu adalah rendah hati, kejujuran/ketulusan, rasa haru/belas kasihan, humor dan bersemangat (memiliki etos kerja). Kembali kepada keberanian, penulis menemukan jawaban mengapa orang punya keberanian dan mengapa tidak punya keberanian dalam menegakkan kebenaran.
Pertama: Type orang yang sempit wawasan (narrow knowledge). Orang tidak muncul keberaniannya karena keterbatasan wawasan/pengetahuannya terhadap masalah yang terjadi. Pada kasus diatas, penjemput tidak paham bahwa kebijakan yang dilakukan kepala sekolah tersebut bertentangan prinsip membuat aturan. Salah satu prinsipnya adalah tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Dengan dilarangnya masuk mobil di dalam gerbang, maka otomatis pengendara mobil akan mencari tempat parkir lain walaupun harus memakan badan jalan, dust kepentingan masyarakat (umum) yang tidak ada kepentingan dengan sekolah menjadi terganggu.
Kedua: type orang apatis. Kelompok ini beranggapan : saya tidak perlu mengkritisi, akan ada orang lain yang akan mengkritisi keadaan tersebut. Ketiga : type orang tidak berani menanggung resiko/tidak punya nyali. Ada kekhawatirannya kalau dia mengkritisi, maka nasib anaknya di sekolah akan terancam. Kita menyadari bahwa tidak semua orang bisa menerima kritikan secara obyektif.
Keempat: Type keberanian spontan, disamping punya wawasan dia punya nyali. Ketika melihat kejanggalan, secara spontan keberaniannya muncul untuk berjuang bukan berdasarkan pamrih, tapi demi untuk kepentingan umum yang lebih luas. Orang seperti ini akan merasa bahagia jika kebenaran dapat ditegakkannya.
Pertama: berani berbeda pendapat jika dianggapnya tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya.
Kedua: Latihan fisik bersifat menantang alam, seperti terjun payung, arung jeram, panjat tebing/mendaki gunung, dan lain-lain. Kasus mahasiswa di Singapura, mahasiswa yang mengontrak mata kuliah Pengambilan Keputusan diwajibkan mengikuti praktek terjun payung.
Ketiga: telah siap mental menghadapi konsekuensi jika kritikannya harus menghadapi resiko dari pihak yang tidak senang dikritik. Konsekuensi yang dihadapi walaupun harus dicopot jabatan atau efek dominonya berimbas kepada keluarganya. Keempat : mengasah kemampuan dengan memperbanyak diskusi dengan orang lain atau selalu berkomentar dalam seminar-seminar yang diikutinya.
Kelima: “menganggap kritikan sebagai ibadah”. Kritikan yang telah melalui mekanisme obyektif, maka jika kritikannya menjadi suatu keadaan yang lebih baik. Apakah ini bukan amal jariah? Amal jariah tidak hanya sebatas pemberian materi, tetapi dapat juga kontribusi pemikiran bernas.
Keenam: Berani membuat keputusan yang tidak populer yang berakibat akan muncul complaint dari pihak yang tidak senang. Ini harus dihadapi, jangan hanya mau dikritik, tapi tidak mau menghadapi kritik.
Harapan
Setelah membaca opini ini diharapkan keberanian dari masyarakat Indonesia umum semakin meningkat, khususnya dari kalangan dunia akademisi yang punya wawasan. Keberanian yang penulis maksudkan disini bukan keberanian bakar-bakar ban di jalan atau keberanian beradu fisik/berkelahi. Adagium yang menarik di lingkungan akademisi “perang fisik tidak populer”, maknanya adu argumentasi secara ilmiahlah yang harus dikedepankan.
*Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta (NIA 201307002).
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-keberanian_2.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar