Suyadi, S. Pd., M.A. |
Oleh: Suyadi, S.Pd., M.A.*
Gombal mukiyo, sebuah idiom yang memiliki arti sebagai sebuah sifat atau pun sikap dari seseorang yang suka maunya sendiri, tak memedulikan acuan etika serta agama, dan keranjingan mengoleksi barang yang tak berguna dan dengan liar dia sendiri yang merusaknya. Idiom ini merupakan serangkaian omong kosong yang dipakai buat meyakinkan orang lain agar bisa memetik kesenangan, tak peduli yang dirayu jadi korban, yang kemudian layak untuk dicampakkan (Beni Setia, 2013) dalam Kompas.
Penulis sangat tertarik untuk ‘mempermasalahkan’ idiom gombal mukiyo ini ke dalam ranah perpolitikan kita saat ini, dimana kita sama-sama merasakan betapa dunia perpolitikan negeri ini semakin jauh meninggalkan makna hakiki dari politik itu sendiri. Politik itu, setidaknya digunakan sebagai alat bagi individu, sekelompok orang ataupun suaut bangsa guna meraih tujuan hidup bernegara yang lebih baik lagi. Dengan alat berupa politik tadi, sebuah bangsa dapat menggerakkan rakyat untuk sama-sama berjuang merebut, meraih, memperbaiki dan menggapai cita-cita bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Akan tetapi, makna itu sudah jauh melenceng, politik saat ini diumpamakan sebagai suatu alat guna meraih kebaikan, kenyamanan, keamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan individu dan kelompok tertentu saja. Rakyat hanya dimanfaatkan ketika mereka membutuhkannya demi memuluskan jalan mereka dalam menggapai tampuk kekuasaan. Rakyat diposisikan sebagai objek ‘rayuan’ dalam mencapai tujuan para politikus yang bermental gombal.
Rayuan gombal
Menjelang tahun 2014, ‘rayuan gombal’ akan sering kita dengar, kita saksikan dipentas dengan resolusi yang terang benderang. Rayuan gombal itu dengan terang benderang dipertontonkan dihadapan publik lewat media kampanye yang juga bombastik. Partai politik dan para politikusnya membungkus setiap kegiatan dengan tebar bantuan yang benar-benar menyentuh rakyat yang membutuhkannya. Dengan cara ini tentulah rakyat diyakini akan terbuai dengan rayuan yang ditebar dengan siklus limatahunan itu. Setelah itu, tentulah kita semua telah sama-sama ketahui mereka meninggalkan rakyat tanpa kata, pergi dalam diam, tanpa peduli lagi nasib rakyat setidaknya untuk empat atau lima tahun kemudian.
Sayangnya, rakyat kita mengidap penyakit ‘hilang ingatan’ yang akut! Meskipun periode-periode pemilu sebelumnya mereka dibohongi, toh, mereka tetap memilih mereka lagi bila para politikus itu memberi ‘sesuatu’. Alasannya cukup sederhana, rakyat mendapat sesuatu dan politikus mendapat sesuatu; layaknya sebuah barter dalam perpolitikan kita. Penyakit barter seperti ini cukup akut terjadi di negeri yang mengaku demokratis ini. Ia terjadi sejak bergulirnya reformasi yang dilencengkan oleh penumpang gelap reformasi yang genap berusia 15 tahun saat ini. Seharusnya kita semua bertanggungjawab untuk mengubah mental berdemokrasi transaksionis seperti itu.
Gelombang Perubahan
Gelombang pertama yang harus mengubah mental politik transaksionis itu adalah mereka yang tergabung dalam partai politik itu sendiri. Mereka seharusnya yakin bahwa ideologi partai yang mereka usung adalah ideologi kerakyatan yang mengedepankan kepentingan rakyat, mulai dari pengurus DPP hingga pengurus anak ranting mempunyai keyakinan yang sama untuk menyejahterakan rakyat. Seharusnya mereka juga yakin bahwa mereka yang tergabung ke dalam partai politik adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menyejahterakan rakyat, dalam memberikan rasa aman, dalam mencerdaskan rakyat dan mengayomi rakyat dengan hati nurani kerakyatan yang mendalam. Dengan demikian ketika mereka berniat untuk mencalonkan diri baik untuk eksekutif maupun legislatif, mereka tidak perlu lagi menghambur-hamburkan uang sebagai pemikat agar rakyat memilih mereka.
Gelombang kedua yang sangat berperan dalam mengubah mental politik transaksionis adalah pihak eksekutif. Peran serta mereka dalam membina rakyat untuk benar-benar berdemokrasi sebagaimana mestinya tidak bisa disepelekan. Setidaknya dimulai dari penerimaan pegawai negeri sipil maupun penerimaan pegawai honorer disemua level pemerintahan jangan sampai ada praktik transaksional; ada uang ada kerja. Transaksional seperti tidak bisa dipungkiri masih terjadi di negeri ini. Meskipun berbagai usaha telah dilakukan untuk transparan dalam penerimaan pegawai di instansi pemerintah, namun praktik transaksional masih terjadi. Keberanian pemerintah untuk memutus praktik-praktik transaksionis seperti itu akan memutus mata rantai tindak korupsi di negeri ini dan diyakini akan berdampak pada bersihnya pemerintahan dan tercapainya kesejahteraan rakyat yang merata. Setelah itu, pelayanan publik pun harus bersih dari praktik-praktik percaloan.
Gelombang ketiga yang sangat berperan dalam memutus mata rantai demokrasi transaksionis adalah rakyat itu sendiri. Rakyat semestinya berani mengatakan tidak kepada para calon pemimpin maupun calon anggota legislatif yang membayar mereka agar mau memilih mereka dalam pesta demokrasi yang akan datang. Keberanian rakyat mengatakan tidak akan memberi dampak yang signifikan bagi para calon itu sendiri untuk mengubah perilaku transaksionis dalam pemilihan umum. Bagaimana pun rakyat memiliki andil yang besar dalam memuluskan jalan demokrasi kita untuk menuju kepada demokrasi yang sesungguhnya. Rakyat yang pintar adalah rakyat berani menentukan pilihan tanpa harus dibayar oleh kandidat, bukan sebaliknya, justru merasa pintar ketika uang semua kandidat diambil tapi hanya memilih mereka yang memberi uang lebih banyak. Itu bukan kepintaran berdemokrasi akan tetapi lebih kepada kebebalan berdemokrasi.
Partai politik, eksekutif, dan rakyat merupakan tiga pilar pelaksana demokrasi yang saling berkaitan, ketiganya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi akan bangkitnya demokrasi kita di masa yang akan datang. Kita masih punya banyak waktu untuk merubah demokrasi kita menuju ke arah yang lebih baik lagi, bersediakah anda menuju ke arah itu?
*Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Padang Anggota PELANTA.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar