Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
(Soal Ikon Pluralis)
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum.*
Ada beberapa Partai Politik yang berlabel Islam di Indonesia yang menjadi peserta hajatan demokrasi pemilu 2014. Sebut saja, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai-partai tersebut mengklaim berazas Islam. PPP bahkan berani mengklaim sebagai partai di Indonesia yang satu-satunya konsekuen terhadap azas keislamannya.
Meski demikian, konsekuen atau tidak pada azasnya, merupakan persoalan lain lagi bagi partai politik di era pasar bebas politik. Dimana daulah kepentingan lebih berkuasa untuk mendulang suara pada saat pemilu. Lebih daripada itu adalah bagaimana daulah kepentingan ini menopang secara signifikan eksistensi partai politik. Kondisi ini berlaku pada semua partai politik, tanpa terkecuali. Inilah yang tak luput dari gerutuan sebagian kader-kader lama partai politik dengan idealismenya yang tak kuasa melawan daulah kepentingan.
Demi kepentingan tersebut, maka tidak heran partai politik dituntut bekerja keras mengumpulkan suara, memenangkan kuota, dan menjaga eksistensi partai politik. Berbagai cara dikerahkan, salah satunya dengan banyak membuat gimmick politik. Sepertihalnya pada pemasaran barang dan jasa dimana gimmick diperlukan untuk meraup untung sebanyak mungkin dengan mengkreasikan produk sedemikian rupa pada hal yang bukan esensial dari produk, yang penting konsumen dapat dibuat tertarik dan tergila-gila pada produk terlepas dari bagaimana mutu serta kualitas produk yang sebenarnya.
Begitu juga dalam pemasaran politik. Gimmick politik dipasang agar alam bawah sadar konstituen tergerak secara dangkal untuk tertarik meluangkan partisipasinya pada ajang pemilu. Banyak gimmick telah digunakan dalam pemasaran politik, sebut saja pada musim banjir seperti saat sekarang ini, pemberian bantuan kepada korban banjir, kunjungan ke pengungsian, dan kampanye memerangi banjir adalah sebuah gimmick yang given by nature (diberikan oleh alam) secara cuma-cuma, partai politik dan calon yang diusungnya tinggal mengkreasikan gimmick tersebut dengan berbagai pose keprihatinan sedemikian rupa.
Pada partai politik berlabel Islam, penulis tertarik mencermati, bagaimana kemudian sebagian dari partai politik tersebut merubah haluan mencitrakan diri menjadi partai politik yang terbuka terhadap semua golongan, cenderung nasionalis. Terlepas bagaimana konsep pluralisme yang mereka pegang teguh dalam bingkai azas keIslamannya, tiba-tiba banyak yang memasang ikon pluralis pada partainya. Sejumlah tokoh yang bukan dari organisasi berbasis Islam, dan bukan beragama Islam, tiba-tiba hadir dalam bursa pencalonan legislatif maupun eksekutif.
Contoh teruptodate dapat kita lihat pada hebohnya PKB memasang Rusdi Kirana yang merupakan boss Lion Air. Pada sejumlah sumber berita, Rusdi mengatakan bahwa ia memilih dan tertarik dengan PKB karena mengidolakan tokoh Gusdur yang terkenal dengan pluralismenya. Hal inipun sempat menjadikan bentrok yang kesekian kalinya antara PKB dengan pihak keluarga Gusdur yang tidak rela gambar Gusdur atau namanya dibawa-bawa oleh PKB, kemudian lebih memilih merelakan gambar dan nama Gusdur digunakan oleh PPP.
Pada partai politik selain PKB sebenarnya juga banyak ditemui bagaimana ikon pluralis ini dipajang, entah sebagai kader atau sebagai calon yang diusung, atau hanya sebagai partisipan. Tetapi PPP melalui beberapa kadernya, mengklaim bahwa hanya PPP yang konsekuen mengusung calon legislatif maupun eksekutif dan mengambil kader hanya dari orang Islam, dengan tegas tidak memasukkan yang bukan Islam sebagai kader, partisipan, maupun calon legislatif dan eksekutif.
Tidak disadari, ikon pluralis yang dipajang pada partai politik Islam ini kemudian berubah menjadi gimmick politik yang digandrungi untuk mendulang suara guna memenuhi kuota dan kepentingan eksistensi partai politiknya menjelang pemilu. Penggunaan gimmick politik dengan ikon pluralis tersebut seolah ingin mencitrakan bahwa partai politik berlabel Islam tersebut ramah terhadap minoritas, menaungi semua golongan. Terlepas pada kenyataannya, masalah minoritas dan intoleransi terhadapnya masih menjadi batu sandungan sepanjang pembangunan politik dikedalamannya, dan belum ada satupun partai politik yang berlabel Islam mampu memberikan solusi dengan baik. Alih-alih malah sebagian organisasi masanya, dan sejumlah tokohnya mengamini dan ikut mendukung diskriminasi minoritas dan perlakuan intoleransi yang berkepanjangan dan sangat merisaukan terhadap keseimbangan pembangunan politik dan keutuhan kehidupan bangsa, yang sampai sekarang belum terselesaikan dan menunjukkan gejala yang kian parah.
Konsep pluralisme sebenarnya lebih daripada konsep kerukunan semata yang biasa dipajang oleh partai politik berlabel Islam. Pluralisme beda dengan hal yang semata-mata hanya berdampingan dalam perbedaan. Kita semua hidup berdampingan dalam perbedaan, menampakkan kerukunan, tetapi belum tentu esensi dari pluralisme mengena didalamnya dimana yang berbeda tersebut dimaknai sekaligus dipahami bukan sebagai “yang lain”, sebagai yang jauh terasing, yang punya standar keberadaban dan kebaikan yang asing satu sama lainnya dan sepihak saling mengklaim lebih benar. Tetapi sebagai satu kesatuan yang jalin menjalin membentuk warna kehidupan yang indah.
Menurut penulis, hematnya partai politik berlabel Islam tidak perlu repot-repot melemparkan gimmick politik dengan ikon pluralisnya kepasaran politik. Menambahkan ikon pluralis sebagai gimmick politik partai menjelang pemilu, hanya akan menambah gambaran inkonsistensi serta kaburnya ideologi partai politik. Apalagi ternyata ikon pluralis tersebut sebenarnya terpilih hanya karena dukungan finansialnya dan status sosialnya sebagai jutawan, atau milyader, tidak lebih daripada itu.
Jikapun partai politik berlabel Islam tersebut ingin mengusung konsep pluralisme dalam pergerakannya, juga ingin mencitrakan diri sebagai partai politik berlabel Islam yang peduli terhadap isu-isu pluralisme, tentu bisa diwujudkan dalam gerak nyata pada masyarakat, bahwa program-program kerjanya yang terkait dengan kebijakan pemerintah dapat dirasakan manfaatnya bagi semua golongan, kemashlahatan yang digerakkannya memang untuk semua manusia demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan secara substansial maupun prosedur.
*Wakil Ketua II, dan Dosen Tetap Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota PELANTA.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-12127-gimmick-politik-pada-partai-berlabel-islam.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar