Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum.*
Indonesia dalam kancah internasional telah berhasil menuai sanjungan sebagai negara yang paling demokratis dalam melaksanakan hajatan demokrasi pemilihan umum pasca reformasi hingga sekarang. Tetapi sanjungan tersebut didalam negeri berhadapan dengan fakta, bahwa semakin kesini, pemilihan umum yang digelar diwarnai dengan menurunnya tingkat partisipasi pemilih. Hal ini semakin kentara pada hajatan pemilihan kepala daerah yang kerap digelar, dimana lebih dari separuh pemilih tidak mempergunakan haknya untuk memberikan suara baik karena kesalahan tekhnis atau pendataan, sengaja dengan berbagai ragam pertimbangan rasional untuk memilih tidak mempergunakan hak memilih, sengaja bertindak agresif datang sebagai pemilih tetapi pada faktanya ketika dibilik pemungutan suara melakukan aksi perusakan surat suara.
Kondisi tersebut alhasil memunculkan golongan putih atau golput sebagai pemenang disetiap hajatan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang digelar. Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem politik yang berjalan dalam kehidupan politik bersama. Golongan putih secara langsung atau tidak, akan merongrong legitimasi kekuasaan yang bersandarkan konsep pemujaan demokrasi.
Beberapa pihak berpendapat bahwa penurunan partisipasi pemilih ditengarai karena menurunnya kadar kepercayaan politik terhadap institusi politik. Kita tahu bersama bahwa akhir-akhir ini, institusi politik terutama partai politik sebagai kendaraan utama pengusung wakil rakyat dalam mekanisme sistem politik yang kita anut, cenderung melaju tanpa kendali dan mengalami insiden amoral, cacat etika, korupsi dan lain-lain. Disatu sisi pencitraan masif pada produk-produk politik semakin gencar, tetapi hanya mampu menghadirkan kemasan bukan kedalaman serta harapan-harapan yang tidak pernah sesuai dengan kenyataan, sehingga hal ini mengakibatkan kejenuhan menghinggapi pemilih, sebagai konsumen produk politik yang dijajakan.
Ibarat produk barang senyatanya, produk politik apakah itu calon legislatif atau eksekutif sekalipun adalah permen politik yang dijajakan dalam sistem pemasaran massal politik. Permen ini bervarian rasa ideologi, dan dibungkus sedemikian rupa dengan packaging kepentingan yang diembannya, iklan politik kemudian menyambutnya untuk mempromosikan dari segi citra yang akan dibentuk agar dapat ditangkap kesan dan pesannya secara singkat, dan simpel oleh pemilih.
Tentunya selama ini, pemilih adalah konsumen yang menjadi objek pemasaran permen politik tersebut. Sebagaimana pemasaran barang dan jasa, pemasaran politik juga ternyata menjumpai kejenuhan pasar bagi produk-produknya yang berupa penurunan partisipasi pemilih. Meskipun berinovasi dengan menggelar cashback politik yang semakin menggiurkan jumlahnya menjelang detik pemilihan umum, namun itu tidak menjamin perolehan keuntungan mendulang suara, mengingat saat ini konsumen politik tersebut punya pilihan sikap apatis dan pragmatis ketika menghadapi permen politik yang disodorkan kepadanya.
Untuk itu diperlukan perubahan dalam memperlakukan pemilih sebagai konsumen politik. Jika produk consumer good telah mengenal kiat pemasaran “tahu apa yang konsumen mau”, atau “lebih dekat kepada konsumen”, maka tidak salahnya juga hal ini diterapkan kepada manajemen pemasaran politik untuk menjajakan permen politik tersebut. Kiat ini adalah upaya untuk mengenal pemilih lebih dalam, sehingga dapat diketahui produk politik seperti apa yang paling diinginkan oleh konsumen politik selaku pemilih.
Dalam upaya ini, pemilih diperlakukan sebagai subjek yang berusaha untuk dikenali dan dimengerti kemauannya seperti apa terhadap produksi permen politik yang akan diluncurkan nanti menjelang pemilihan umum. Penelitian dan pengetahuan terhadap apa yang sedang terjadi diarena pasar politik, dan permen politik yang seperti apa yang paling dicari oleh konsumen politik perlu dilakukan. Ini juga demi target partai politik untuk memenuhi ambang batas pemenuhan kuota suara. Sehingga, partai politik meskipun susah untuk diharapkan berubah dalam waktu dekat, setidaknya dapat mengubah produk politiknya yang sesuai dengan apa yang dimaui oleh pemilih.
Kiat ini memang memerlukan proses dan energi yang tidak seinstan jika pemilih seperti selama ini diperlakukan sebagai objek yang telah siap berhadapan dengan produk politik. Tetapi setidaknya dapat memberikan dampak pada pemberdayaan pemilih secara tidak langsung untuk mengarahkan perilaku mereka kepada kesadaran nalar berpolitik. Karena dari penggalian terhadap apa yang diinginkan, dimaui, dan dibutuhkan mereka terhadap produk politik yang akan diluncurkan, akan diketahui sejauh mana perspektif kesadaran berpolitik mereka, dan upaya-upaya apa yang dapat diambil untuk mengatasi kejenuhan mereka. Disamping itu juga, meskipun dalam tataran industri massal politik yang cenderung sama seperti selama ini, dapat memunculkan produk politik yang unik, bervariatif, dan selalu baru, dengan mengikuti logika berpikir pemilih selaku konsumen politik terhadap situasi dan kondisi politik yang terjadi.
Pada akhirnya, sebagaimana produk barang dan jasa senyatanya, yang kini banyak berpegang kepada selera konsumen, mengapa tidak jika pada industri massal politik juga menerapkan kiat yang sama. Fenomena jokowi yang paling seru, dapat dilihat sebagai contoh, bahwa dalam aspek tertentu, konsumen politik cenderung mengalihkan seleranya kepada produk politik yang selama ini terkesan sama dan tidak punya keunikan karena diproduksi secara massa. Kedepan jika kiat ini dipertimbangkan untuk mengambil simpati pemilih, kita akan melihat, akan muncul produk atau permen politik seperti apa lagi dari segi packaging dan inovasi rasanya.
*Wakil Ketua II dan dosen tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, dan anggota PELANTA NIA: 201307015.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar