(Refleksi Kritis Peringatan 85 Tahun Peringatan Hari Sumpah Pemuda)
Oleh: Asad Isma*
SEPERTI biasa, setiap tanggal 28 oktober kita akan selalu memperingati hari sumpah pemuda. Pada tahun 1908, 85 tahun yang lalu, para pemuda Indonesia mendeklarasikan sumpah Pemuda, sebagai manifestasi rasa nasionalisme yang kuat, dan sebagai bentuk perlawanan terhadap politik pecah belah (devide it impera) yang dipraktek Belanda untuk mengikis semangat nasionalisme kaum Muda Indonesia.
Sebuah peringatan akan perjuangan para tokoh pada masa lalu, adalah sebagai upaya membangkitkan dan menumbuhkan kembali rasa nasionalisme kaum muda dalam rangka memelihara rasa persatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya seremoni peringatan sumpah pemuda bersifat positif, ditengah dugaan banyak kalangan, bahwa kaum muda Indonesia sedang mengalami krisis karakter dan melemahnya semangat nasionalisme ditengah arus perubahan dunia yang semakin kompleks dan tanpa arah.
Achmad Fedyani Saifuddin, pengajar pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (2008: 23) menjelaskan aspek teoritis perjuangan pemuda, bahwa semangat kepemudaan 1928, 1945 hingga 1980an berada dalam masa positivistik, dan semangat kepemudaan setelah 1980an berada dalam masa konstruktivistik, dengan segala cirinya. Dengan memposisikan kedua mode semangat itu, diharapkan kita dapat membaca secara lebih jernih, seperti apa semangat kepemudaan kita pada masa kini, dan pada masa depan, serta bagaimana rasa nasionalisme kaum muda Indonesia di tengah kepungan arus hedonisme yang sedang melanda kehidupan kaum muda
Dua Model Semangat Kaum Muda
Pertama model semangat Positivisme. Positivisme adalah peimkiran teori sosial yang menekan pembacaan realitas dari atas kebawah. Teori atau model menjadi sentral karena fungsinya sebagai pedoman bagi membaca realitas yang dihadapi. Karena posisi model yang superior itu, maka posisi manusia yang dipelajari menjadi inferior, manusia di posisikan sebagai obyek yang dapat dikendalikan sesuai dengan kehendak model. Menurut Ahmad Fedyani (2008;27) salah satu isyu populer yang melekat pada bekerjanya mode pemikiran positivistik adalah “Pembangunan”.
Pembangunan selalu dimulai dari premis perkembangan masyarakat, dari terbelakang menjadi maju, dai sederhana menjadi kompleks, dari kurang beradab menjadi beradab. Pertanyaannya adalah siapa yang membangun, dan siapa yang di bangun? Dalam positivisme jawabannya cukup jelas, otoritaslah yang membangun dan rakyatlah yang dibangun, dan dari sinilah dikenal paadigma pembangunan dari atas kebawah.
Karena Pembangunan bercorak dari atas, maka negara memegang peranan sentral, dan keragaman aspirasi dan masyarakat harus tunduk dibawah pengendalian Negara. Termasuk didalamnya konstruk positivisme ini bekerja dengan baik sejak tahun 1970an, dengan tetap terjaganya persatuan dikalangan kaum muda. Terbukti KNPI sebagai instrumen negara, berhasil menjadi wadah berhimpun dan mengendalikan dinamika politik kaum muda. Namun dalam konteks ini, kaum muda hanya sebagai obyek yang dikendalikan negara, bukan manusia sebagai subyek yang memiliki kreatifitas dalam mengembangkan kehidupannya.
Kedua, Model Semangat Konstruktivisme. Pada era 1970, dunia mengalami perubahan, terutama di negara negara eropa dan Amerika. Di satu sisi terjadi lonjakan jumlah dan kualitas penduduk, pasar global, penggunaan teknologi dan sebagainya, di sisi lain menyebar isu demokrasi, hak azazi manusia, kesetaraan gender, masyarakat marjinal daan lain lain. Fenomena ini mempengaruhi resfon masyarakat, dan mendorong masyarakat meninggalkan posisinya , dari obyek menjadi sumbyek.
Walau belum terasa pengaruhnya, namun isu isu modernisasi menjadi alternatif pilihan dalam mengembangkan masyarakat. Pergeseran sosial, dan berubahnya posisi masyarakat sebagai subyek, membuka ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan kreasi, inovasi dan reproduksi. Manusia bukan hanya sebagai pelestari kebudayaan, namun manusia juga mampu merevisi, memodifikasi, bahkan merumuskan cara baru dalam mengembangkan kebudayaan.
Semangat yang dilandasi pemikiran berbasis konstruksivisme mendorong sikap kritis masyarakat untuk mengevaluasi pendekatan pembangun yang menjadikan negara sebagai sentral dan mendorong partisipasi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Pada masa era akhir 1980an dan 1990an muncul berbagai wadah baru bernama Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok kajian sebagai wadah alternatif untuk pemberdayaan masyarakat sipil, dan pada era inilah KNPI sebagai wadah tungggal tempat berhimpunnya kaum muda mulai meredup, dan kaum muda mulai beralih berhimpun dikelompok kelompok sipil baru bernama LSM dan Ormas baru.
Gerakan Reformasi 1998 dan penerapan otonomi daerah pada tahun 1999, mengubah secara radikal pendekatan pembanguan di Indonesia. Ootonomi daerah memberi kewenangan besar bagi daerah untuk menetapkan pilihannya dalam pelaksanaan pembangunan. Namun di era otonomi pula muncul semangat kedaerahan yang kuat dan isu isu primordialiem yang berbasis agama maupun suku. Dalam konteks ini timbul anggapan, rasa nasionalisme sudah mulai luntur, dan menguatnya rasa kedaerah dikalangan kaum muda.
Hedonisme
Era demokrasi yang berwajah hadirnya kebebasan individu, bersinggungan dengan berkembanganya teknologi informasi yang berdampak banjirnya informasi yang masuk dan mempengaruhi pola hidup masyarakat. Pola dan gaya hidup seperti fashion, food chiken dan free sex (pergaulan bebas) tambah memperkuat gaya hidup hedonisme dalam masyarakat Indoensia. Melemahnya rasa nasionalisme dan gaya hidup hedonisme inilah yang mengepung kehidupan kaum muda Indonesia.
Pekerjaan Rumah
Persoalan persoalan yang telah di uraikan di atas, harus menjadi catatan penting dalam peringatan sumpah pemuda yang ke 85 kali ini. Untuk menjawab persoalan tersebut, maka agenda masa depan adalah bagaimana mengeluarkan kaum muda dari kepungan hedonisme dan membangkitkan kembali semangat nasionalisme. Walau demokrasi sudah menjadi pilihan, namun ternyata belum memberi jawaban dalam menyelesaikan masalah yang melanda masyarakat.
Ada dua agenda yang bisa dijadikan alternatif untuk memandu perjalanan kaum muda, yakni mendukung berlangsungnya pendidikan karakter menjadi agenda nasional yang bersifat massif. Termasuk juga memodifikasi penataran P4 dengan pola baru, sebagai pintu alternatif membangkitkan kembali rasa nasionalisme dan menambah porsi pendidikan agama di sekolah dan perguruan tingi untuk mengeluarkan kaum muda dari kepungan gaya hidup hedonisme. Semoga.
Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN STS jambi dan Wakil Koordinator KOPERTAIS Wilayah 13 Jambi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar