Mungkin politik pencitraan adalah kata yang cukup familiar (terkenal) di kalangan politisi atau masyarakat yang mengikuti perkembangan politik saat ini. Tak heran, politik pencitraan saat ini sudah menjadi trend (budaya) baik yang dilakukan politisi maupun partai politik (parpol). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata citra memiliki arti gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk, oleh karena itu, politik pencitraan dapat diartikan sebagai gaya politik yang menonjolkan gambaran mengenai pribadi atau organisasi (dalam hal ini partai politik atau politisi) atau dapat disimpulkan bahwa politik pencitraan hanya memperlihatkan ‘tampilan luar’ sehingga figuritas dapat menjadi nilai mutlak.
Ada tiga kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin dari sekadar figuritas, yakni pertama niat baik. Tentu setiap pemimpin harus memiliki ini untuk dapat mensejahterakan masyarakatnya, bukan untuk melindungi kepentingan golongan dan atau pribadi, dan dalam menjalankan visi misinya, juga harus dilakukan dengan cara yang benar dan jujur. Jadi, tak hanya niatnya saja yang baik, melainkan caranya juga baik. Kedua, pemimpin harus memiliki sikap keberanian dalam hal mengambil keputusan, serta ketiga integritas yakni pribadi pemimpin yang tercermin dalam pribadinya, di kelompok serta partai pendukung (M Yulianto, 2011).
Lantas banyak kalangan bertanya-tanya, apakah ada keuntungan (dampak) yang muncul dari politik pencitraan tersebut. Disamping itu, asumsi banyak pihak juga muncul, melaksanakaan politik pencitraan tersebut juga membutuhkan biaya (kost) politik yang tinggi (mahal).
Sedikit mengutip dari pernyataan analisis politik M Yulianto, dimana pencitraan berhasil jika kondisi masyarakat 60 persen lebih masih paternalistik. Patronnya adalah media dan pencitraan, sedangkan kliennya konstitusi pemilih. Kalau kondisinya begini, maka sedikit-dikit curhat. Selanjutnya, tingkat melek politik dan melek media masyarakat masih sangat rendah. Kalau ada kondisi itu, maka pencitraan bisa berhasil, karena masyarakat bias diterpa, dicocok dan dihipnotis pencitraan. Artinya, jika kita analisis pernyataan tersebut, dimana menggambarkan bagaimana dan kepada siapa politik pencitraan itu bermain.
Bagaimana dengan perkembangan politik pencitraan untuk di Provinsi Jambi ? Jika kita tarik pada agenda politik 2013 ini, ada dua daerah yang telah melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), yakni Kabupaten Merangin dan Kota Jambi. Secara jujur, pasangan kandidat yang memenangkan pesta demokrasi pada dua daerah tersebut bermain dengan politik pencitraannya. Ternyata, dengan strategi politik pencitraan tersebut menghasilkan dampak yang positif bagi kandidat.
Selain itu, dalam momentum jelang Pemilu 2014, kembali sebagian politisi melakukan politik pencitraan. Gaya ini tak jauh beda juga apa yang dilakukan pasangan kandidat yang berhasil memenangkan Pemilukada, khususnya pada dua kabupaten tersebut. Artinya, gaya politik pencitraan yang dilakukan oleh SBY tersebut ternyata juga di melek, termasuk juga untuk gaya politik pencitraan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi).
GAYA POLITIK PENCITRAAN
Memang tak salah jika politik pencitraan tersebut sudah dijadikan trend saat ini. Dalam mengimplementasikan politik pencitraan ini, setiap politisi dan parpol memiliki gaya berbeda-beda. Termasuk juga dengan memanfaatkan kondisi dan situasi yang terjadi, saya sedikit mencontohkan gaya politisi bermain politik pencitraan tersebut. Misalnya, pada suatu daerah (lokasi) terjadi kebakaran. Peristiwa kebakaran tersebut menjadi sorotan seluruh media massa, hal ini dikarenakan tidak adanya satu rumah yang tersisa untuk satu kampung.
Hampir setiap harinya pemberitaan kebakaran tersebut diterbitkan. Jelas ini menjadi perhatian masyarakat dan konsentrasi masyarakat tertuju dengan pemberitaan kebakaran tersebut. Momentum inilah yang terbaca bagi politisi dan parpol dalam menjalankan politik pencitraan. Apa yang dilakukan, misalnya dengan meninjau korban kebakaran dan memberikan bantuan. Disamping itu, juga mendirikan posko-posko bagi korban kebakaran tersebut berikut dengan beberapa atribut politisi dan parpol.
Disini para politisi dan parpol rela menggelontorkan biaya yang besar dengan alasan melakukan kegiatan sosial. Tak salah memang, tapi jika kita mencermati secara politis, ini jelas pemanfaatan politik pencitraan. Dengan cara ini, politisi mendapatkan image baik sebagai politisi yang masih memikirkan dan peduli kepada masyarakat yang tertimpa musibah.
Nah, dari contoh gaya politik pencitraan tersebut, saya berharap kita semua bisa mengerti dan memiliki pandangan tentang sebuah arti dari politik pencitraan. Politik pencitraan sah-sah saja dilakukan asalkan dengan cara yang tidak berlebihan dan dilakukan pada waktu-waktu yang tepat agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Kalau hal tersebut berorientasi kepada hal-hal yang positif , mengapa harus ada larangan. Akan tetapi, jika hal tersebut dilakukan atas dasar kepentingan pribadi dan golongan saja, tugas kita adalah memberi kritik agar kegiatan tersebut berjalan semestinya.
BIAYA MAHAL
Politik pencitraan juga tak sedikit mengeluarkan anggaran (biaya). Disamping secara langsung melakukan silaturahmi dan sosialisasi ditengah-tengah masyarakat, ternyata politik pencitraan tersebut juga dilakukan dua cara, yakni melalui alat peraga serta publikasi dan dokumentasi. Dan disinilah membutuhkan biaya yang tinggi.
Pertama, dengan menggunakan politik pencitraan melalui alat peraga. Misalnya, pembuatan leftlife, baliho dan atau spanduk, buku biografi, striker, kartu nama, mainan kunci, gelas, dan sejenis alat peraga lainnya yang memunculkan seorang politisi atau parpol. Dari informasi yang saya terima, jelang Pemilu 2014 ini, ada beberapa calon legislatif (caleg) yang telah menyiapkan anggaran ratusan dan bahkan hingga miliaran rupiah. Sebut saja, untuk pembuatan baliho dengan ukuran yang besar. Dengan rincian untuk menyewa tempat pemasangan baliho dan billboard beserta konstruksi, digital printing dan hingga pengurusan izin pajak iklan indoor dan outdoor. Ini saja membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Selain mempersiapkan kebutuhan alat peraga, ternyata tampilan luar seorang politisi dan parpol juga ikut mengembangkan (politik pencitraan) melalui publikasi melalui media massa (cetak dan elektronik). Disini, para politisi maupun parpol dan bahkan perusahaan media juga sama-sama melirik kebutuhan dalam pengembangan politik pencitraan tersebut, Artinya, politisi dengan melalui publikasi tersebut bisa mengharapkan dampak politik pencitraan yang mengakar, serta perusahaan media dengan konsep bisnisnya (simbiosis multualisme).
MASYARAKAT HARUS MELEK
Permainan politik pencitraan umumnya hanya bisa dilakukan oleh politisi dan parpol yang memiliki kost politik yang besar. Secara kasat mata, kita bisa melihat saat ini para politisi yang ‘berduit’ yang mampu bermain dengan politik pencitraan tersebut hanya untuk mengejar tingkat popularitas.
Sementara, para politisi yang memiliki biaya pas-pasan (jangan) harap bisa bermain untuk politik pencitraan tersebut. Atau paling tidak bisa dilakukan, tapi juga hasilnya pas-pasan.
Permainan politik pencitraan yang hanya menampilkan sosok luar, bisa membuat masyarakat selaku konstituen atau pengguna suara tergoda dengan figuritas politisi atau parpol tersebut.
Untuk itu, sebagai Negara yang masih belajar berdemokrasi dan meskipun sudah menunjukkan dampak yang positif, tapi dengan permainan politik pencitraan tersebut, masyarakat hendaknya juga harus melek atau jangan tertipu dengan permainan trend politik pencitraan tersebut.
Sebagai gambaran saja, dampak dari permainan politik pencitraan tersebut. Artinya, dimana politisi dan atau parpol yang tidak begitu memiliki kost politik banyak, tapi memiliki program-program dan visi misi yang bagus akan tersingkir. Untuk itu, melalui pendidikan (edukasi) politik yang cerdas akan melahirkan demokrasi dan pemimpin yang cerdas, termasuk juga bagi masyarakatnya.
Tapi, inilah kondisi dan faktanya pada setiap ajang perebutan kekuasaan, berbagai cara dan upaya dilakukan. Jika, politisi akan bermain tanggung-tanggung, maka hasilnya juga tanggung. Tapi, jika bermainnya penuh dan melakukan segala cara dengan menyekesampingkan aspek demokrasi, itulah yang memiliki peluang. Ingat, politik cerdas akan melahirkan masyarakat yang cerdas.
*Penulis adalah Wakil Ketua PW GP Ansor Provinsi Jambi
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-trend-politik-pencitraan-bagi-politisi-dan-parpol.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar