Oleh: Abd. Mukti, S. A.g.*
Insya Allah, kita sebentar lagi akan berhari raya idul fitri. Hari kemenangan umat Muslim. Hari yang ditunggu-tunggu umat manusia setelah satu bulan penuh melakukan puasa Ramadhan. Puasa dengan pengendalian hawa nafsu dari makan dan minum, syahwat, perkataan dan perbuatan keji serta hal-hal lain yang haram dikerjakan di siang Ramadhan.
Momentum idul fitri ini tentu akan disambut dengan rasa kegembiraan oleh segenap umat Muslim di seluruh penjuru dunia, termasuk di negeri kita tercinta ini. Terutama bagi umat yang sukses melakukan puasa Ramadhan dengan baik serta ibadah qiyamullail di dalamnya.
Pertanyaannya apa tolok ukur kesuksesan puasa Ramadhan itu ?. Apakah Cuma bergema di bulan Ramadhan itu ?. Sebab, bukan rahasia lagi, tidak sedikit diantara umat Muslim yang tekun beribadah di bulan penuh berkah ini, tapi setelah lebaran grafiknya turun drastis. Saat di bulan Ramadhan rajin shalat berjamaah di masjid, tapi setelah di bulan syawal timbul penyakit malasnya. Begitu halnya ibadah-ibadah yang lain, Ramadhan habis, ibadahpun sepi, alias malas-malasan. Bahkan di saat bulan suci Ramadhan cuti dari korupsi dan suap-menyuap dan perbuatan zalim lainnya, tapi habis Ramadhan kambuh kembali penyakit zalim ini. Profil Shaimien seperti ini apakah akan mendapat ‘piala idul fitri?. Inilah yang perlu kita jawab dalam tulisan ini.
Tolok Ukur Kesuksesan
Inti puasa Ramadhan adalah pengendalian diri dari hawa nafsu untuk dapat melaksanakan syariat Islam secara maksimal. Maka jika kita telah secara sungguh-sungguh mengendalikan hawa nafsu di bulan Ramadhan, sehingga nafsu kita digerakkan oleh iman yang kokoh dapat melakukan hal-hal yang diperintahkan syariat Islam dan mnjauhi dari hal-hal yang dilarang-Nya. Insya Allah kita termasuk “Muttaqien”, sebagai predikat yang dituju oleh puasa Ramadhan, ”La’allakum tattaqun” = mudah-mudahan kamu termasuk orang yang bertqwa.(QS.al-Baqarah : 183).
Bagaimana kalau kita sudah di bulan Syawal dan bulan-bulan selanjutnya ? Apakah kita masih konsisten dengan apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan ? Apakah kita masih dapat mengendalikan diri kita dengan iman yang kokoh ? Apakah kita justru terlena dengan perayaan kemenanangan dengan hiasan-hiasan duniawi yang serba wah yang melalaikan untuk berdzikir Kepada Allah ? Maka kalau demikian halnya, sulit kita mendapat predikat orang yang telah sukses dalam berpuasa Ramadhan. Sulit rasanya untuk menyebut diri kita sebagai orang yang bersyukur kepada Allah. Dan sulit untuk mengkategorikan kita sebbagai “Muttaqien”. Dan sulit rasanya kita akan mendapat ‘piala idul fitri’.
Ukuran sukses dalam berpuasa Ramadhan adalah konsistensi kita dalam beribadah, baik ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa maupun ibadah ghairu mahdhah yaitu ibadah sosial seperti infaq,sedekah, silaturahim, dan lainnya. Walaupun bulan Ramadhan sudah habis, kita masih konsisten dan tekun beribadah dalam rangka menuju ‘taqwallah’. Dan Inilah tolok ukur kesuksesan berpuasa Ramadhan. Shaum dan qiyam yang kita laksanakan sebulan penuh dapat membekas dalam qolbu kita dan menumbuhkan iman yang kokoh, sehingga dapat menggerakkan roda kehidupan kita untuk beribadah kepada Allah “azza majalla, dan ber-ihsan kepada sesama.
Makna Idul Fitri
Sejak Idul Fitri resmi jadi hari raya nasional umat Islam, tepatnya pada tahun II H. kita disunahkan untuk merayakannya sebagai ungkapan syukur atas kemenangan jihad akbar melawan nafsu duniawi selama Ramadhan. Tapi Islam tak menghendaki perayaan simbolik, bermewah-mewah. Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Momen untuk memulai bersemangat untuk tunduk dan taat syariah Islam.
Ada pemandangan paradoks, betapa disaat kita berbahagia ini, saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Masih banyak saudara-saudara kita yang terhimpit kesulitan ekonomi, hidup senin kemis. Sementara saudara-saudara yang lain bergelimpangan dengan harta benda, bermewah-mewahan.Satu pemandangan paradoks di depan mata kita. Dan inilah tugas dan kewajiban kita untuk berdakwah dalam upaya menumbuhkan kesadran ber-‘ukhuwah islamiyah’ diantara sesama umat.
Saudara-saudaraku ! Jangan sampai kita masuk dalam kategori orang yang ‘mendustakan agama’. Siapa mereka itu ? Pendusta agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang-orang miskin.(QS.al-Maaun : 1&2). Acuh tak acuh, walau di lingkungan tempat tingggalnya terdapat saudara-saudara kita yang ‘kurang beruntung’ ini. Wajarlah jika Allah SWT memberikan predikat kepada mereka sebagai ‘pendusta agama’, sebagai predikat jahat yang termaktub dalam al-Qur’an yang sering kita baca, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Disinilah peran dari para Ulama bersama Umaro untuk meningkatkan komitmennya dalam pengelolaan zakat, infaq dan sedekah.Komitmen dari kedua figur ini sangat fital dalam upaya mengentaskan kaum papa yang jumlahnya masih cukup banyak ini agar dapat merasakan nikmat Allah ini.Tanpa kemitmen yang tinggi dari Ulama dan Umaro/pemerintah,keberkahan hidup di negeri ini akan sulit untuk kita raih.
Semoga kita dan saudara-saudara kita dapat berbahagia di hari kemenangan, Idul Fitri ini.
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1434 H , mohon maaf lahir batin.
*Mubalik di Kuala Tungkal
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-tolok-ukur-kesuksesan-puasa-ramadan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar