Nurul Fahmy, S.S. |
Oleh: Nurul Fahmy, S. S.*
Panitia seleksi Komisi Informasi Provinsi Jambi sudah mengumumkan 15 nama calon anggota yang bakal diuji kelayakan dan kepatutannya sebagai komisioner KIP di DPRD Jambi. Namun celakanya, sebagai lembaga yang akan menjalankan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, proses seleksi yang dilakukan oleh pansel justru tidak mencerminkan keterbukaan informasi publik yang akan diselenggarakan di negeri ini.
Meski pansel bukan bagian dari Komisi Informasi, namun sebagai penyelenggara, mereka seharusnya patut menjadi tongkat, hulu, dan cermin bagi calon anggota KIP dalam menerapkan prinsip transparansi di berbagai bidang. Pansel dibentuk setelah lahir UU NO 14 Tahun 2008.
Sebagai sebuah lembaga non permanen yang perannya sangat vital, panitia seleksi KIP Provinsi Jambi dengan demikian juga musti taat dan patuh terhadap amanat Undang-Undang tersebut. Sebab saya katakan, ketertutupan informasi, utamanya dari lembaga negara atau badan publik, merupakan pembangkangan terhadap hak asasi dan konstitusi yang jelas-jelas termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945.
Apalagi, ketua pansel KIP adalah Kepala Biro Humas Setda Provinsi Jambi. Sebuah lembaga resmi yang dinaungi oleh sistem pemerintahan yang oleh lembaga survei Indonesia Governance Index (IGI) pada 2012 lalu, ditempatkan diurutan keempat secara nasional sebagai lembaga pemerintah yang transparan, karena telah menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik dengan baik. Namun dalam soal ini, pansel justru tidak mencerminkan sama sekali hasil survei yang membanggakan itu. Panitia seleksi yang terdiri dari perwakilan berbagai elemen ini tidak menunjukkan niat baik dalam proses transparansi publik.
Bagaimana tidak, sejak awal proses seleksi administrasi, pansel tidak mencantumkan keterangan apa dan mengapa pelamar yang bersangkutan tidak lulus dalam seleksi administrasi. Ada sekitar 66 orang pelamar yang terdaftar secara online, yang identitasnya hanya dapat diketahui oleh panitia seleksi. Tanpa mengumumkan kepada publik dimana letak kekurangan sebagian calon anggota itu, pansel kemudian mewartakan pilihan mereka dalam bentuk pariwara di media, dan tersebutlah 36 orang dari 66 peserta pelamar itu yang harus menjalani tes tertulis, sebagai betuk terpilihnya dia dalam seleksi kelengkapan bahan oleh pansel.
Ketiga puluh enam orang calon anggota yang lolos bahan itu harus dan musti ikut tes tertulis, jika ingin masuk dalam tahap seleksi selanjutnya. Persoalan pertama ini muncul, para calon anggota, baik yang lulus secara administrasi maupun yang tidak, telah “dikebiri hak-nya untuk tahu", tentang apa dan mengapa gerangan mereka terpilih atau tidak terpilih oleh pansel dalam seleksi itu. Tidak sedikitpun pansel menyatakan mukadimah alasan mereka saat menyatakan 30 orang peserta lainnya tidak bisa ikut tes tertulis atau gagal pada seleksi awal.
Kita bisa pahami, seleksi bahan dapat dengan mudah dibuktikan dengan cara membeberkan ketidaklengkapan persyaratan peserta oleh pansel. Tapi, soal yang mudah ini saja tidak serta merta dilakukan oleh pansel, meski di forum terbatas sekalipun, di hadapan para peserta yang telah bersusah payah memasukan bahan mereka ke pansel. Memang, dalam syarat dan ketentuan bagi para pelamar dicantumkan kalimat semacam argumen pansel, sebagai tameng, jika nantinya hasil keputusan mereka dinilai tidak obyektif. Kalimat itu berbunyi, "Keputusan Pansel Calon Anggota Komisi Informasi Provinsi Jambi periode 2013-2017 tidak dapat diganggu gugat”. Meski itu hak pansel, namun bagaimanapun kalimat tersebut sama sekali tidak mencerminakan prinsip-prinsip demokrasi, bahkan cenderung otoritarian, mengingat helat atau seleksi ini bukan diadakan oleh korporasi, kantor swasta atau perkebunan partikelir, tapi oleh sebuah lembaga pemerintah, badan publik yang sepenuhnya harus taat kepada azas transparansi dan pelibatan publik (partisipasi).
Dalam sebuah kesempatan, sebelum ujian tertulis, seorang calon anggota bertanya kepada ketua pansel yang saat itu dijabat oleh Asvan Deswan. Dia bertanya mengapa tidak ada keterangan atau pernyataan tentang 30 orang anggota lainnya yang tidak lulus bahan itu. Dan apakah artinya, 36 orang yang akan ikut ujian tertulis, data-data adminsitrasi berserta segala portofolionya benar-benar memenuhi syarat?
Pada dasarnya, keberadaan 36 orang peserta yang lulus ujian bahan itu adalah jawaban untuk pertanyaan kedua. Namun, dalam prinsip-prinsip keterbukaan atau transparansi, yang diperlukan bukanlah kesimpuan atas sebuah kondisi atau situasi, tapi jawaban yang formal dan praktis dapat dipertanggungjawabkan. Lacurnya, ketua pansel saat itu hanya mengatakan, dengan duduknya 30 orang itu sebagai peserta tertulis, maka artinya bahan-bahan mereka lengkap dan memenuhi syarat. Betulkan demikian?
Memang, ada upaya pansel menyediakan ruang bagi publik untuk terlibat dalam pengawasan seleksi itu. Pansel menyediakan ruang aspirasi bagi masyarakat untuk memberi masukan kepada mereka atas rekam jejak para pelamar. Namun sejauh ini, ruang itu hanya menjadi semacam formalitas atau kotak hitam, yang tidak diketahui sama sekali apa isinya. Siapakah yang telah memberi masukan tentang apa, dan terhadap siapa. Tidak ada sama sekali, hingga terpilihlah 30 orang anggota yang lulus tes tertulis.
Proses ini, lagi-lagi dilakukan oleh pansel tanpa niat yang sungguh-sungguh mencerminkan penerapan UU No 14 Tahun 2008. Bagaimana tidak, pansel hanya mengumumkan 30 nama yang lulus ujian tertulis, yang artinya 6 orang lainnya dinyatakan tidak lulus. Tapi apakah ukuran ketidaklulusan tes tertulis itu? Dan berapa nilai yang pantas dinyatakan untuk lulus dalam ujian itu, tidak pernah diketahui. Sebagai peserta tes, yang sudah mengeluarkan waktu lama, prosedur yang panjang plus ribet, serta duit untuk mengurus kelengkapan bahan, saya, dan mungkin juga sebagian besar peserta pelamar calon anggota KIP, kepingin tahu capaian yang sudah dilakukan dalam sebuah tes. Berapakah nilainya? Siapakah yang beroleh nilai tertinggi? Dan berapa nilainya. Termasuk siapakah yang beroleh nilai rendah? Dan berapa nilainya sehingga dia tidak lolos.
Demikianlah, proses seleksi calon anggota lembaga yang harus mengemban amanah UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi ini, jelas-jelas secara nyata hanya menempatkan kami, para peserta sebagai objek seleksi yang tidak memiliki hak sama sekali untuk tahu. Termasuk juga dalam proses psikotes, wawancara, diskusi kelompok, dan wawancara makalah yang cukup melelahkan. Hak kami untuk tahu perolehan nilai sama sekali tidak dipenuhi dan bahkan diabaikan. Sehingga pada suatu hari di penghujung Juli 2013, lebih sebulan sejak tahapan tes ketiga dan keempat kami lakukan, disiarkanlah 15 nama peserta yang lolos seleksi tahap ini.
Sedemikian tertutup dan ketatnya penilaian proses seleksi itu, sehingga pansel membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang dari biasanya untuk mengambil keputusan melalui pleno. Proses yang lama namun tertutup itu jelas telah menimbulkan banyak spekulasi, kecurigaan dan prasangka atas netralitas dan independensi pansel dalam menentukan peserta yang lolos. Belum lagi hembusan kabar angin--yang sumber dan kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan--yang menyatakan ada titipan bapak ini atau bapak itu atas beberapa orang pelamar.
Proses yang terasa cukup janggal juga adalah soal makalah. Bisa jadi pansel memiliki kriteria sendiri dalam menilai sebuah makalah. Namun, seperti yang disebutkan dalam persyaratan pelamar, makalah yang disodorkan oleh para pelamar harus dinyatakan sebagai karya pribadi. Artinya bukan buatan orang lain atau hasil plagiasi dari karya orang lain. Meski pansel mensyaratkan pernyataan keaslian makalah dengan mencantumkan materai 6.000 diatasnya, bisakah pansel membuktikan bahwa pernyataan itu adalah benar dan sebenarnya? Dan bagaimana caranya? Apa metode yang dilakukan oleh Pansel dalam membuktikan itu? Di sini pansel harus menguji dan mengumumkanya kepada khalayak, sebab bagian ini adalah bagian yang cukup penting karena menyangkut hasil pemikiran, kemampuan menulis, hak cipta, dan karya ilmiah seseorang.
Baiklah, hari ini sudah terpilih 15 orang calon anggota yang akan berhadapan dengan DPR untuk diuji kepatutan dan kelayakannya. Tahniah! Namun tulisan dan pertanyaan saya ini sama sekali bukan bermaksud mengecilkan atau meragukan kompetensi, integritas serta kapasitas 15 orang yang terpilih ini. Bagi saya, tidak jadi soal siapa 15 orang tersebut, sebab sedari awal, kami, para peserta, setidaknya saya sendiri, sudah merasa senasib dan sepenanggungan dengan seluruh peserta. Siapa saja yang terpilih sebagai komisioner KIP Provinsi Jambi, kami akan terima. Tapi yang dituntut di sini adalah transparansi panitia seleksi dalam proses tersebut. Bagaimana pansel bekerja dan bagaimana pansel memberikan penilaian, dan berapa nilainya. Kalau pakai angka, kami, dan juga publik perlu tahu. Jangan sampai, pansel yang notabene penyelanggara seleksi komisi yang yang musti menjalankan UU Keterbukaan Publik, justru tidak menerapkan, bahkan nyaris tertutup dalam gelap. Jika demikian, pansel ibarat "tongkat pembawa rebah". Tongkat yang sedianya untuk bertopang, justru membawa rebah orang yang ditopangnya.
Selanjutnya kepada teman-teman yang akan ber dan dihadapkan dengan DPR, tetaplah semangat dan dengan tidak mengurangi daya kritis terhadap soal ini, soal keterbukkan dan transparansi ini. Sebab, di tangan saudara-saudaralah nanti, soal prinsip-prinsip keterbukan di negri ini diamanatkan dan dipikulkan. Bagaimana kita mau menjalankan prinsip-prisip keterbukkan publik, jika dalam proses pemilihan ini sendiri kita tersandera oleh kegelapan, dan selalu saja meraba-raba tanpa tahu bagaimana kita terpilih dan dipilih.
*Wartawan
Tidak ada komentar :
Posting Komentar