Oleh: Abd. Mukti*
Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang lima tidak hanya merupakan
ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa, tetapi juga sebagai ibadhan
maliyah ijtima’iyah. Yaitu ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan
dan sosial kemasyarakatan. Ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya harus
ada kekuatan yang mendorong, mengerahkan dan mengarahkan supaya tujuan
zakat dapat tercapai sesuai dengan ketentuann dan hukum Islam.
Namun dalam prakteknya dikalangan umat Islam masih banyak yang
beranggapan, bahwa zakat itu merupakan urusan orang perorang atau
pribadi. Artinya pelaksanaannya diserahkan kepada pribadi masing-masing.
Para muzakki (wajib zakat) cukup menyerahkan kepada mustahiq(berhak
penerima zakat)-nya di tempat tinggal masing-masing, tanpa menghiraukan
pengelolaan yang lebih baik melalui badan amil zakat.
Anggapan ini jelas kurang tepat, sebab tidak hanya tidak sesuai dengan
apa yang telah dicanangkan oleh Rasulullah SAW, tetapi juga tidak
memberikan manfaat optimal dalam pembinaan umat.
Beberapa Kendala
Zakat sebagai salah satu rukun Islam wajib dilaksanakan oleh stiap
Muslim yang memenuhi syarat sesuai dengan syariat Islam yang disebut
muzakki (wajib zakat). Muzakki adalah semua Muslim yang telah dewasa,
sehat pikirannya dan memiliki harta benda yang telah mencapai nisabnya
dengan pemilikan yang sempurna.
Namun dalam pengelolaannya ada beberapa kendala, yaitu antara lain yang
cukup dominan, Pertama, rendahnya tingkat kesadaran umat Islam dalam
menunaikan kewajiban zakat.Banyak orang kaya yang punya tabungan ratusan
juta dan bahkan milyaran rupiah, belum semua sadar untuk membayar
zakatnya. Hal ini disebabkan secara kodrati manusia itu memiliki sifat
kikir dan selalu berkeluh kesah. Karena itu dalam firman Allah SWT
secara tegas menyatakan bahwa pemungutan zakat itu dapat dilakukan
dengan cara paksa.
Mengenai sifat manusia cenderung kikir dan keluh kesah itu,firman Allah menyatakan: ”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
dan kikir”.(QS.al-Ma’arij : 19). Mereka, tidak menyadari bahwa di dalam
hartanya tersedia bagian tertentu yang merupakan hak bagi orang miskin
dan orang yang tidak mempunyai apa-apa, sebagaimana firman Allah :”Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.Yang
diperuntukkan bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (sekalipun tidak mau meminta-minta). (QS.al-Ma’arij :
24-25).
Kedua,rendahnya tingkat kepercayaan para muzakki terhadap pengelola
zakat,baik yang berasal dari masyarakat maupun dari aparat pemerintah.
Hal itu terkait dengan kondisi tingkat integritas dan kejujuran aparat
pemerintah yang masih rendah. Para muzakki masih meragukan mental dan
perilaku aparat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi di
negeri ini. Akibatnya berimbas pada rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kejujuran aparat pemerintah yang ditugasi mengelola
zakat.
Ketiga, Masih terdapat silang pendapat diantara Ulama dalam zakat
profesi. Sebagian Ulama berpendapat wajib dan sebagian lainnya
mengatakan tidak wajib. Bagi Ulama yang menyatakan wajibnya zakat
profesi adalah diqiyaskan dengan zakat pertanian. Begitu pertanian panen dan telah memenuhi nishabnya wajib berzakat,tanpa harus menunggu haul(tahun).
Sementara Ulama yang menyatakan zakat profesi tidak wajib
berargumentasi tidak ada dalilnya. Padahal potensi hasil dari zakat
profesi ini cukup besar.
Sejatinya, walaupun zakat profesi itu tidak wajib, namun hasil atau gaji
dari kalangan profesional itu masuk dalam kategori zakat mal yaitu
zakat harta benda yang nishabnya disamakan dengan emas/perak. Namun
demikian harus menunggu haul/satu tahun waktunya.
Walaupun adanya silang pendapat dalam zakat profesi itu,namun ada
solusinya yaitu dimasukkan dalam kategori zakat mal, tapi wacana ini
sedikit banyak berpengaruh terhadap tingkat kesadaran para kalangan
profesional yaitu : PNS, dokter,pengacara,DPR,konsultan, dan profesi
lainnya. Kalangan ini cukup potensial untuk digerakkan agar sadar dan
mau mengeluarkan zakatnya yang jumlahnya tentu tidak sedikit di
bandingkan dengan muzakki lainnya.
Solusi Efektif
Untuk memecahkan persoalan diatas, maka solusi yang paling efektif
adalah kita merujuk kepada Kitab Allah dan Hadits Rasul. Antara lain
firman Allah :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka; dengan zakat
itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesunggguhnya dia karena itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah mendengar lagi mengetahui” (QS.at-Taubah : 103).
Hadits Rasulullah SAW mempertegas :” Allah mewajibkan zakat diambil dari
mereka yang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin”.
Dari kedua landasan hukum diatas, maka solusi yang efektif adalah dengan cara
dipaksa untuk membayar zakat. Permasalahannya sekarang adalah, siapa
yang berani dan berwenang mengambil zakat itu ? Ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah Ulama dan kemungkinan kedua adalah Umaro’.
Bagi Ulama hal ini sangat kecil kemungkinannya, sebab secara filosofis
seorang Ulama tak akan mau bertindak dengan cara kekerasan. Jika demikian halnya, tiada pilihan lain kecuali Umaro’; karena secara yuridis formal Umaro’ mempunyai kekuasaann yang bersifat memaksa.
Sekaitan peran Umaro’ atau pemerintah dalam pengelolaan zakat, kiranya
kita perlu merujuk pada sikap Rasulullah SAW dan Khalifah yang begitu
tinggi komitmennya dalam mengelola zakat. Ketika Rasul mengutus Muadz
bin Jabal untuk menjadi qadhi di Yaman, Rasul tidak lupa mengingatkan
kepada Muadz agar menyampaikan kewajiban untuk membayar zakat. Pesannya,
: “sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda
meraka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang miskin di antara mereka….” (HR. Bukhari)
Bahkan ketika Abu Bakar RA menjabat sebagai Khalifah, beliau dengan
tegas memberikan ultimatum kepada para pembangkang wajib zakat. Katanya
:” Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat
dan zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan
Nasa’i).
Disamping kedua landasan syar’i tersebut diatas, kini Pemerintah sudah
mempunyai perangkat perundang-undangan sebagai pijakan bertindak. Yaitu
UU No..23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,namun implementasinya
belum optimal sebagai landasan operasional dalam upaya mensukseskan
gerakan zakat. Untuk itu, sudah seharusnyalah komitmen Pemerintah dalam
pengelolaan zakat perlu senantiasa ditingkatkan sebagai amanah untuk
mensejahterakan rakyat. Posisi Pemerintah dalam hal ini bisa sebagai
pelaksana, penanggung jawab, pengelola atau sekaligus sebagai penekan
para wajib zakat. Hal ini tergantung pada kondisi wilayah setempat,
apakah peran Pemerintah diperlukan sangat vital atau hanya sebagai
regulator atau pembimbing dalam pengelolaan zakat.
Tegasnya, jangan sampai pelaksanaan zakat itu dibiarkan menggelinding
dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang
mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang
kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat
tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa.
Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya.
Selanjutnya yang perlu mendapat atensi dari kita adalah dalam soal
pengelolaan hasil penerimaan dan pendistribusian zakat kepada para
mustahiqnya.Sebagai Amil, harus benar-benar transparan dalam
administrasi pencatataan hasil zakat, sehingga dapat dipertanggung
jawabkan baik kepada masyarakat maupun kepada Allah SWT nanti di
akhirat.
Untuk mencapai hasil yang lebih optimal lagi dan sebagai solusi adanya
silang pendapat tentang zakat profesi dan hal-hal lain yang urgen, maka
perlu adanya suatu gerakan secara massal dan terarah untuk memberikan
arahan dan sosialisasi kepada masyarakat. Untuk itu, peran institusi
terkait perlu senantiasa ditingkatkan,baik dari kalangan Ulama, tokoh
masyarakat, para cendekiawan Muslim, maupun Umaro’ sebagai pelopor dan
motivator dalam pengelolaan zakat. Nasrun Minallah Wa Fathun Qorieb.
*Muballigh di Kuala Tungkal
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-optimalisasi-pengelolaan-zakat.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar