Drs. H. Navarin Karim, M.Si. |
Dalam sebuah status penulis di face book meminta tanggapan kepada facebooker. Kalimatnya sebagai berikut: ada empat laki-laki terpopuler di Indonesia sejak bulan Februari hingga Mei 2013. Di bulan Februari (Aceng Fikri), di bulan Maret (Joko Susilo), di bulan April (Eyang Subur) dan di bulan Mei (Achmad Fathonah). Kata-kata apa yang pantas untuk mereka? Mereka sebenarnya hampir sama dengan pemerkosa, karena nikah bukan berdasarkan cinta, tapi terdesak dengan umpanan materi. Dari macam-macam komentar, ada komentar yang menarik dari salah seorang teman anggota Pelanta (Forum Komunitas Penulis Jambi) yaitu Bung Musri Nauli. Komentar beliau: Nafsu yang dikemas dalam bentuk yang keren. Inilah menimbulkan inspirasi penulis untuk membuat breakdown lebih lanjut.
Ada lagi guyonan (gojekan) rekan penulis dari Solo dia kemukakan bahwa di dunia ini ada tiga orang berinisial AF, yaitu Aceng Fikri, Achmad Fathonah dan Alex Ferguson (manager club sepakbola terkenal: Manchaster United). Jika yang terakhir bergelar “Sir”, maka dua sebelumnya dapat sebutan “syur”. Kejadian perilaku yang menyimpang ini, mengingatkan penulis terhadap Segmund Freud dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia (Tulus, 1995: 9) mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang agresif, penuh nafsu dan ceroboh). Walaupun keempat orang terpopuler kebejatannya ini telah mengemas secara apik dan ekslusive perilakunya, namun tetap saja bau busuk itu tercium oleh KPK dan media, ternyata setelah penulis coba identifikasikan mendekati kebenaran dari apa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
Agresif
Rayuan maut dengan memberikan hadiah yang tidak tanggung-tanggung, seperti Achmad Fatonah memberikan jam tangan harga Rp. 70 juta, mobil seharga ratusan juta rupiah. Aceng Fikri mengawini wanita secara siri hanya dalam waktu 4 hari, Joko Susilo berhasil menikahi wanita Solo yang masih muda belia dengan memberikan rumah mewah. Ketiga orang ini modus agresifitasnya hampir sama yaitu mendapat wanita dengan pola pancingan harta/uang. Materi yang diperoleh dengan cara korupsi dan agar di rekening tidak ketahuan gendut, maka di distribusikanlah kepada wanita-wanita cantik dalam bentuk jam tangan, mobil dan rumah. Terminologi yang populer sekarang adalah pencucian uang, kelebihan uang dihambur kepada wanita cantik yang tidak ada hubungan family dengannya. Supaya tidak gampang dilacak KPK. Lain lagi modus Eyang Subur dengan melakukan intimidasi dengan cara-cara magic sehingga mampu menaklukkan tujuh orang wanita cantik menjadi istrinya.
Penuh Nafsu
Korupsi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang penuh nafsu, selalu merasa tidak puas dengan yang diperolehnya tetapi ia tidak mampu mendapatkan tersebut dengan kerja keras, akhirnya dengan cara pintas (short cut) yaitu praktek korupsi. Jika uang sudah banyak dan tidak mampu memanage secara baik, maka biasanya orang tersebut akan terjebak dalam kehidupan hedonisme, yaitu mencari kenikmatan sebanyak mungkin. Seharusnya dalam kehidupan orang mengejar kebahagian hidup, seperti mampu berbuat terhadap sesama, mengejar prestasi yang membanggakan. Inilah kebahagian yang hakiki, tapi jika oriantasi hedonisme, maka habis kenikmatan yang satu ia akan mencari kenikmatan baru lainnya, seperti dua orang yang berinisial AF, Joko Susilo dan Eyang Subur sudah punya istri cantik, masih cari yang lain lagi.
Ceroboh
Kasus Achmad Fathonah ketika ditangkap KPK di hotel sedang bersama wanita cantik di hotel. Ada yang mengatakan sedang apes saja, tapi sebenarnya beliau ceroboh : sudah tahu anggota legislatif yang selalu diawasi masyarakat koq begitu cerobohnya masuk ke kamar hotel dengan mahasiswi yang bukan muhrimnya. Aceng Fikri kecerobohannya adalah mengurung wanita yang dinikahi siri selama empat hari, beliau mengunci wanita tersebut dari luar. Hal ini diketahui keluarga dan tetangganya dan media.
Kesimpulan.
Mereka yang tidak mampu mengendalikan diri inilah dimaksud Sigmund Freud sebagai binatang yang agresif, penuh nafsu dan ceroboh. Setiap manusia memang diciptakan punya nafsu (basic instinc), tetapi harus dapat dikendalikan jika tidak mau mendapat sebutan negative Sigmund Freud. Kalau dibuat pelesetannya pengendalian itu berasal dari kata pengen, tetapi harus dengan kendali. Bukankah hakekat penataran P4 yang diajarkan ketika Orba : adalah pengendalian diri. Mari kita tingkatkan praktek syariat agama dan hidupkan lagi sosialisasi Pancasila, sehingga dapat mengeliminir manusia-manusia berwatak binatang.
*Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi, Ketua Pelanta (Forum Komunikasi Penulis Jambi) dan Pengampu mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar